Follow Us @soratemplates

Friday 30 September 2011

Dia Tampan

22:59 0 Comments

Ada obrolan menarik dengan teman saya ketika kuliah tadi. Teman saya berkata, “Aku pingin punya suami yang kalau udah tua tetep ganteng kayak dokter ini,” kata teman saya sambil menatap dosen yang sedang mengajar di depan kelas.


Teman saya pun melanjutkan, “Kalau menurut X, dokter A itu ganteng. Tapi menurutku nggak. Dia cuma menang cool aja. Gantengan juga dokter ini. Udah tua tapi tetep seger.”

Saya hanya manggut-manggut sambil ikut-ikutan membayangkan dokter A maupun dokter kami yang sedang mengajar.

Semua pasti tahu kalau ganteng atau tidak, cantik atau tidak adalah hal yang sangat subjektif. Bisa jadi menurut kita dia ganteng, tapi bagi orang lain tidak ganteng sama sekali.

Teman saya juga tak habis pikir ketika teman saya yang lain begitu ‘tergila-gila’ pada teman saya yang lain karena kegantengannya. Padahal menurutnya, dia sama sekali tidak ada ganteng-gantengnya.

Yah, ini perkara selera. Semua laki-laki itu ganteng, semua wanita itu cantik. Hanya mata manusia saja yang berbeda dalam menginterpretasikannya. Ada yang menurutnya lebih cantik, ada yang menurutnya lebih ganteng. Tapi intinya sama, pada dasarnya semua cantik dan ganteng.

Seperti dalam hal makanan misalnya. Semua makanan itu enak. Tinggal lidahnya. Bagi orang jawa, mungkin makanan manis lebih disuka. Bagi orang Sumatra, bisa jadi yang pedas lah yang lebih enak dirasa. Walaupun pada dasarnya semua tetap enak.

Jadi ini perkara persepsi saja. Tak ada yang benar ataupun salah. Karena tak ada faktor penilai yang benar-benar valid untuk mendekripsikan variabel cantik dan ganteng.

Ambil saja sisi positifnya. Bagi kita yang merasa cantik atau ganteng, ingatlah bahwa kecantikan atau kegantengan kita ini hanya relatif. Saat ini bisa jadi banyak orang menganggap kita cantik atau ganteng. Tapi lain waktu bisa jadi mata yang memandang kita sudah beralih memiliki persepsi bahwa kita tak cantik dan tak ganteng lagi. Ada kalanya kita akan peyot, keriput. Bahkan tergerogoti oleh cacing-caning di tanah.

Maka, tak ada artinya suatu kebanggan atau kesombongan karena fisik semata.

Bagi yang merasa tak cantik atau tak ganteng, ingat pula bahwa kecantikan atau kegantengan itu hanya relatif. Saat ini bisa jadi banyak orang yang menganggap kita tidak cantik atau ganteng. Tapi lain waktu pasti akan sepasang mata yang memandang kita sebagai makhluk tercantik atau terganteng bagi dirinya.

Maka, tak ada artinya berputus asa atau meratapi fisik yang kita punya.

Syukur. Hanya itu kuncinya. Entah ganteng, entah cantik, syukuri saja semua nikmat yang telah diberikan Allah pada diri kita. Karena hanya dengan syukur itulah, segala nikmat ini akan menjadi suatu hal bermakna.

Sunday 25 September 2011

Doa dan Dosa

22:58 0 Comments

Allah maha kuasa. Allah maha menentukan segalanya. Rasanya sudah hampir bosan saya mengatakan bahwa manusia hanya berhak berkehendak dan Allah lah yang menentukan. Tapi kali ini dalam kasus yang berbeda. Allah berkehendak dalam mengabulkan doa dan Allah berkehendak pula dalam menentukan suatu dosa.

Teman saya berkata, “Ada orang yang kalau berdoa sedikit saja, langsung dikabulkan. Tapi ada juga orang yang kalau salah sedikit aja, langsung ditegur sama Allah. Dan aku tergolong yang kedua.”

Mengapa bisa begitu? Lagi-lagi semata-mata ini adalah kehendak Allah.

Apakah selalu berdoa dan dikabulkan lebih baik daripada sedikit berdosa lantas ditegur? Menurut saya, tidak. Kedua hal itu justru sama-sama baik. Itu bukti bahwa Allah sejatinya sangat menyayangi hamba-Nya.
Allah mengabulkan doa hamba-Nya yang senantiasa mau merendah dan meminta pada-Nya. Sungguh ini merupakan bentuk kemurahan yang Allah berikan pada kita. Allah pasti tahu apa yang kita butuhkan, dan Allah pasti tahu apa yang terbaik yang harus Dia berikan pada kita.

Apakah yang berdoa dan tidak dikabulkan berarti tidak disayang Allah? Belum tentu. Karena bagaimanapun Allah memiliki rahasia yang akan berbuah manis pada saatnya. Bisa jadi Allah memenuhi permintaan kita dengan suatu hal yang lebih dari keinginan kita. Namun kita tidak menyadari kalau itu adalah salah satu bentuk pengabulan doa kita. Atau, Allah menyiapkan kemungkinan yang ketiga. Yaitu suatu bentuk rahmat yang akan diberikan di akhirat kelak. Ketika tak ada apa-apa lagi, setiap doa kita akan menjadi berkah sebagai bukti bahwa kita adalah hamba yang selalu bergantung pada-Nya.

Di lain sisi, Allah juga sering kali menegur hamba-Nya jika melakukan sedikit kesalahan. Hal ini juga menandakan bahwa Allah menyayangi kita. Allah tidak ingin kita melenceng dari jalan-Nya. Allah tidak ingn kita terperosok jauh dalam jurang salah dan dosa.

Apakah yang berdosa dan tidak ditegur berarti tidak disayang Allah? Belum tentu. Bisa jadi Allah telah menegur kita , tetapi kita tidak peka. Kita menganggap segala kesialan, keburukan, atau kemalangan kita semata-mata karena takdir saja. Tanpa pernah mereka-reka apakah itu adalah bentuk teguran dari yang Maha Kuasa.

Lalu, yang bagaimanakah yang bisa merasakan semuanya? Merasa menjadi hamba yang beruntung karena doanya selalu terkabul, merasa menjadi hamba yang beruntung pula karena selalu ditegur.

Kuncinya adalah hati. Jika hati bersih, maka hal yang tidak kasat mata ini akan tetap terlihat oleh mata hati kita. Kita akan mudah bersyukur dengan segala bentuk pengabulan doa. Kita akan mudah beristigfar dengan segala bentuk teguran dari Allah Ta’ala. Jika kita banyak bersyukur dan istigfar, hati kita pun akan menjadi makin bersih pula.

Yap, ibarat mata rantai yang tidak ada putusnya. Hati bersih sehingga banyak syukur dan istigfar. Banyak syukur dan istigfar sehingga hati bersih. Kita akan senantiasa merasa bahwa Allah menyayangi kita. Betapa nikmat jika kita termasuk orang-orang di dalamnya. So, mari membersihkan hati. Mari membuat hati kita selalu sadar. Dan mari menyadari bahwa Allah sejatinya sangat menyayangi kita.

Tenggelam di Permukaan

22:54 0 Comments

Ada sebuah percakapan menarik antara saya dan kawan saya tadi siang. Waktu itu kami sedang sama-sama galau mencari tema untuk sebuah karya tulis. Meski berbeda tim, saya asal nimbrung saja. Melihat saya enak-enakan dan malah asyik nimbrung, teman saya berkomentar.

“Pasti karya tulisnya udah selesai.”

Saya hanya menjawab, “Belum kok, masih ngambang di permukaan.”

Teman saya yang lain berkomentar, “Lha kita malah masih tenggelam.”

Saya nyeletuk, “Ya bagus no. Berarti kan mengendap. Ilmunya udah benar-benar mengendap di otak.”

Teman saya tak mau kalah, “Lha dirimu malah udah ngambang. Berarti habis mengendap, ilmunya udah siap di permukaan.”

Selanjutnya, kami pun hanya saling bersilat lidah untuk menentukan mana yang lebih baik antara mengambang dan tenggelam.

Karena obrolan kami ‘tak jelas’, teman saya pun berkomentar, “Yang lebih baik adalah mentas.

Saya langsung membantah, “Kalau dalam hal mengatasi masalah, mentas justru terkesan melarikan diri dari masalah,” Hm…, panjang sudah urusannya.

Oke, saya hanya akan menguatkan argumen saya saja. Tentang mengambang, tenggelam, dan mentas jika dilihat dari sudut pandang masalah.

Jika kita berguru pada teori fisika (duh, sejatinya saya lupa rumusnya) , pada awalnya suatu benda akan mengambang di permukaan. Begitu berat jenisnya lebih berat, dia akan tenggelam. Tetapi suatu waktu, dia akan kembali ke permukaan.

Begitu juga dalam hal menghadapi masalah. Pada awalnya, masalah datang dan mengambang di pikiran kita.  Entah itu berupa perasaan galau, atau sekedar kita tidak ingin terlalu memikirkannya. Lama-kelamaan, bukan tak mungkin masalah yang sekiranya dianggap sepele itu akan menjadi hal yang berat. Mau tak mau, kita pun akan mengendapkan masalah tersebut.

Mengendap di sini bisa memiliki dua makna. Mengendap bisa dalam arti kita benar-benar memikirkan masalah tersebut. Segala aspek kita pikirkan hingga otak dan hati kita benar-benar tercurah untuk menemukan solusinya. Tetapi mengendap bisa dalam arti kita menguburnya dalam-dalam.  Menyembunyikannya dalam lapisan tanah terdalam sehingga masalah tersebut tak lagi Nampak di permukaan.

Jika mengendap dalam arti mengubur, habis sudah perkara. Masalah ‘selesai’. Selesai dalam arti tak terselesaikan. Tapi jika mengendap tadi adalah dalam rangka memfokuskan diri untuk mencari solusi, maka suatu saat kita akan kembali muncul ke permukaan. Untuk apa? Untuk menawarkan solusi kita, untuk benar-benar menyelesaikan masalah kita.

Kalau sudah di permukaan dalam rangka menyelesaikan perkara, selanjutnya bisa saja kita mentas dari samudra masalah. Kita akan melenggang dengan bahagia keluar dari permasalahan yang mendera. Di sini adalah mentas dalam konotasi yang baik. Tapi, mentas juga bisa berarti buruk. Misalnya ketika kita tak menemukan solusi, lalu memilih untuk mentas saja dari samudra masalah. Di sini yang ada justru kesan melarikan diri.

Hm, ini sekedar iseng saja memaparkan bagaimana  sikap manusia ketika harus mengarungi samudra masalah. Apakah tidak menggubrisnya dengan tidak mau terjun alias tetap di permukaan, memilih terjun dan menemukan solusi, memendamnya untuk mengakhiri, kembali ke permukaan untuk menyelesaikan, atau justru lari tanpa solusi. Apapun itu, yang pasti masalah akan tetap datang dan harus dihadapi. Mau menghadapi dengan cara apa, itu terserah Anda.

Thursday 15 September 2011

Merendah Menghindari Cim Cing

22:52 0 Comments

Ada sebuah pelajaran hidup menarik yang saya dapati tadi malam. Semalam, saya menginap di kamar kos teman saya untuk mengerjakan suatu proyek. Ketika saya datang, ternyata teman saya sedang asyik browsing mencari sesuatu. Apa yang dia cari? Tentang cara pesawat jet menghindari radar. Ada beberapa cara bagaimana pesawat jet mampu menghindari pantauan radar. Mulai dari permukaan yang dibuat tidak lurus, panjang api yang diperpendek, dan cara terbang yang diusahakan serendah mungkin.

Cara terakhir ini yang menarik. Pesawat jet yang terbang serendah mungkin ternyata mampu mengecoh radar. Mengapa? Karena pantulan radar dari pesawat yang terbang rendah sulit dibedakan dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Jadi penangkanp radar akan bingung. Ini pesawat atau gedung. Karena bingung itulah, otomatis pesawat jet pun akan lolos dari pantauan radar.

Bagi saya yang tak pernah terpikirkan hal tersebut, informasi ini keren sekali. Dalam sudut pandang saya pun, teman saya ini juga keren sekali karena di sela-sela proyek yang waktunya mepet bisa refreshing dengan mendapat informasi yang menarik. Dan lebih kerennya lagi, teman saya ini bisa membuat analogi yang lagi-lagi belum terpikir oleh diri saya sendiri.

Dia menganalogikan pesawat yang terbang rendah untuk menghindari radar dengan seseorang yang sengaja merendah untuk menghindari radar pula. Maksudnya begini. Orang tersebut sengaja merendahkan dirinya sendiri untuk menghindari radar dari musuh maupun kawannya. Dari musuhnya, dalam arti untuk menghindari dari ‘cing’ alias perasaan dimusuhi. Dari kawannya, untuk menghindari ‘cim’ alias ditandai untuk digadang-gadang dalam tujuan tertentu.

Saya pernah mengalaminya. Waktu SMA dulu, secara tidak sadar saya ibarat pesawat jet yang terbang terlalu tinggi. Pada saat yang bersamaan, saya dicim sekaligus dicing. Yang mengecim saya adalah kakak kelas yang memiliki visi dan misi yang sama dalam organisasi. Bagi mereka, saya termasuk orang yang mereka cari-cari untuk meneruskan kaderisasi.  Yang mengecing saya adalah teman-teman satu organisasi, di luar organisasi, bahkan guru-guru yang tidak suka dengan apa yang kami lakukan. Mereka lah yang menjauhi, memusuhi, bahkan mencoba membatasi setiap langkah yang akan kami lalui.

Hm, rasanya memang tidak menyenangkan. Ketika sang kakak kelas berapi-api menyelipkan dogma-dogma untuk ini itu. Membuat kami terbakar dan akhirnya terbang makin tinggi. Di satu sisi, teman-teman lain mulai menjauhi, bahkan guru-guru tak suka sampai-sampai ada guru yang mengurangi nilai segala.

Analogi yang disampaikan teman saya sepertinya ada benarnya. Orang yang terbang terlalu tinggi tentunya akan lebih mudah untuk dipantau. Bagaimana tidak. Dia dengan sendirinya sudah berada di atas permukaan. Tanpa mencari pun, dia sudah terlihat dengan sendirinya. Sedangkan orang yang terbang rendah, memang cenderung aman. Dia terlindung di balik ratusan orang yang lain. Sehingga orang tidak mudah menemukan jika tidak benar-benar mencari dengan teliti.

Dari analogi ini, maupun dari pengalaman saya sendiri, ada sesuatu yang menyadarkan saya. Sejatinya, dalam hidup ini kita selalu diintai oleh dua mata, terlepas dari mata Allah yang memang Maha Melihat. Mata pertama adalah mata yang akan membumbung kita. Melihat kita dari kaca mata positif. Mungkin inilah kaca mata orang yang mengagumi kita. Mata kedua adalah mata yang mencari kejelekan kita. Selalu mencari dan melihat keburukan kita.

Apakah karena mata pertama mencari kebaikan dan mata kedua mencari keburukan maka mata pertama baik dan mata kedua buruk? Bagi saya, tidak juga.

Mata pertama juga buruk karena dia memandang terlalu tinggi. Mata ini cenderung buruk karena dia mengharap kesempurnaan dari pesawat jet yang diintainya, tanpa mau tahu kelemahan dan keburukan yang mungkin ada. Parahnya, ketika ada kelemahan bukan tak mungkin dia akan mencampakkan pesawat jet itu dan mencari pesawat jet lain yang bisa mengusung visi misi lebih tinggi.

Mata kedua juga bisa baik mapun buruk. Buruk jika dia mencari kesalahan demi menjatuhkan. Berusaha agar pesawat jet yang terbang tinggi itu terlihat begitu banyak kekurangan dan turun dengan sendirinya. Tapi jika dilihat sisi positifnya, mata ini juga bisa menjadi bibit yang baik. Dari kacamata pesawat jet, apa yang terlihat buruk bisa menjadi modal untuk terus memperbaiki diri.

Satu yang pasti. Mata memiliki keterbatasan. Dia banyak salah memandang. Sesuatu yang baik belum tentu semuanya baik. Sesuatu yang buruk, tidak selamanya murni buruk. Maka, mari bersifat objektif. Tak perlu terlalu mengagumi, tak perlu terlalu membenci.

Saturday 10 September 2011

Sungguh-sungguh Berhasil

10:10 7 Comments

Kalau Anda membaca Negeri 5 Menara, pasti tahu mantra ‘Man Jadda wa Jada’, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Rasanya, ini memang mantra yang biasa saja. Tapi, kalau diterapkan bisa menjadi mantra yang luar biasa.

Beberapa kasus terjadi karena adanya mantra ini. Ibarat orang amatir dan orang ahli yang pernah saya ceritakan dahulu. Orang amatir yang bersungguh-sungguh bukan tak mungkin akan menjadi orang ahli berikutnya. Sebaliknya, orang ahli yang berleha-leha dan tidak bersungguh-sungguh mengasah kemampuannya, bisa jadi justru menurun kemampuannya dan kalah dari orang yang semula amatir.

Segala hal bisa terjadi jika kita bersungguh-sungguh. Bahkan hal yang mustahil sekalipun. Contohnya kasus yang dialami para penemu. Dulu, menciptakan sebuah lampu adalah hal yang aneh dan rasanya  mustahil. Tapi ketika Thomas Alva Edison terus bersungguh-sungguh memperbaiki hasil percobaannya yang salah, ternyata dia mampu membuat lampu juga. Hingga akhirnya saat ini, lampu bukan menjadi hal yang asing dan sesuatu yang mustahil.

Sepertinya, hal ini sederhana saja. Semua juga pasti sudah tahu kalau siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Cuma masalahnya, bagaimanakah definisi bersungguh-sungguh itu?
Sekedar melakukan usaha, apakah sudah pantas dikatakan bersungguh-sungguh? Sebagai contoh ketika akan ujian dan berlajar dengan sistem kebut semalam. Lalu kita berdalih, “aku udah sungguh-sungguh belajar kok”. Hm, benarkah?

Seperti yang dikatakan dalam novel negeri 5 menara juga, kesungguhan juga harus dibuktikan dengan perjuangan. Ibaratnya seperti iman, yang diakui dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbutan.

Jika kita menginginkan sesuatu, hal yang pertama dilakukan adalah mengakuinya dalam hati. Artinya, kita membuat tubuh kita benar-benar menginginkannya. Kita seolah-oleh memberi dogma pada setiap sel tubuh kita untuk benar-benar menginginkan hal tersebut. Mulai dari hati yang terus merasa ingin meraihnya, dan juga pikiran yang berusaha mengatur cara untuk benar-benar mendapatkannya.

Yang tak kalah penting adalah mengucapkannya dengan lisan. Cara ini hampir sama dengan mengalirkan energy positif pada diri kita. Ilustrasi gampangnya seperti ketika kita berkata, ‘Subhanallah, hari ini indah banget’ secara tidak sadar selama menjalani hari pun kita akan terus merasakan keindahannya. Maka demikian juga. Jika kita terus mengucapkan keinginan kita, baik ketika membayangkan keinginan itu maupun dalam setiap doa kita, secara tidak sadar kita telah memiliki kekuatan ekstra untuk meraihnya.

Dan yang paling penting adalah mengamalkannya. Bagaimana keinginan yang menggebu-gebu akan terwujud kalau kita hanya bermimpi saja tanpa melakukan sesuatu. Maka, bergeraklah, amalkanlah. Bergerak pun bukan sekedar bergerak yang biasa. Jika benar-benar ingin, tak ada salahnya kita bergerak yang luar biasa pula. Misalnya, ketika ingin mendapat rangkin satu. Jika teman kita belajar 1 jam, hal yang wajar saja jika harus belajar 2 jam untuk mewujudkan keinginan tersebut.

So, apakah Anda menginginkan sesuatu? Akui, ucapkan, dan wujudkan. Jika kita bersungguh-sungguh, maka kita akan berhasil. Insya Allah…

Tuesday 6 September 2011

Reporter Repoter

10:08 0 Comments


Apa yang terbayang ketika mendengar kata kuli? Barangkali yang ada di awang-awang adalah orang yang kerja keras ke sana ke mari mengusung barang-barang. Rasanya kata kuli memang identik dengan pekerjaan yang berat. Benar-benar kerja kasar. Nah, kalau kuli tinta? Apakah seberat dan sekasar itu juga?

Saya merasakannya. Sebenarnya saya sudah pernah menjadi reporter waktu SD dan SMP. Waktu SD didaulat sebagai wartawan cilik sekolah. Tugasnya masih ringan saja, malah cenderung menyenangkan. Setiap anak-anak SD mengadakan kegiatan, baik itu kelas berapapun dan kunjungan ke manapun, saya dan teman saya yang jadi reporter pasti diajak. Kami jadi sering jalan-jalan. Tapi tugas kami masih sederhana. Cukup membuat laporan kegiatannya saja, atau sediki wawancara dengan guru yang bertugas sebagai pendamping acaranya. Tentu saja mudah. Toh guru sendiri, kalau salah bisa diedit oleh guru sendiri.

Waktu SMP pun begitu. Saya kepepet jadi reporter bulletin dakwah di salah satu organisasi islam. Tugasnya juga masih ringan saja, mengikuti kegiatan yang ada, menanyai komentar pesertanya, bertanya sedikit pada penyelenggara. Berhubung penyelenggara dan pesertanya juga teman seorganisasi sendiri, wawancara pun menjadi hal yang biasa saja.

Nah, kali ini agar berbeda. Saya mulai sedikit merasakan bagaimana repotnya jadi reporter. Kali ini harus mencari target sendiri, harus menemui sendiri, dan berhubung bukan orang-orang terdekat, kesan wawancaranya pun jadi sedikit berbeda. Belum lagi jika target yang diincar tidak ada, repot mencari target selanjutnya. Cara bertanya pun juga harus diperhatikan, karena tak bisa seenak perut seperti pengalaman sebelumnya. Kalau pertanyaan tak mendalam, info tak teraih. Belum tentu bisa tanya-tanya secara informal untuk melengkapi informasi yang ada. Nah, repot kan.

Tapi sebenarnya kerepotan ini adalah suatu hal yang memang harus dilakukan. Istilahnya adalah perjuangan. Kalau tidak mau repot, pasti infonya yang didapat hanya sedikit. Kalau tidak mau berjuang, jangan menyalahkan jika hasil yang didapat tidak memuaskan.

Bagi saya pribadi, seorang reporter yang repot tak semata-mata hanya terpatri pada diri para kuli tinta majalah, surat kabar, atau berbagai media. Seorang dokter pun sejatinya adalah seorang reporter. Mengapa? Karena hal pertama yang dilakukan seorang dokter ketika pasien datang adalah melakukan anamnesis, sebuah wawancara untuk mengetahui keluhan pasiennya. Kalau dokter tidak mau repot, informasi keluhan belum tentu bisa diketahui semua. Dampaknya, bisa jadi dokter itu salah mendiagnosis. Ujung-ujungnya salah memberikan terapi. Padahal, anamnesis sudah menentukan 70% diagnosis. Nah lo…

Ketrampilan mengorek informasi memang suatu hal yang penting. Sebagai manusia pembelajar pun ketrampilan ini sebaiknya dimiliki. Ketika menerima sebuah ilmu, orang yang cenderung ingin mengorek informasi akan mengejar dengan terus bertanya. Kalaupun tak bisa, ia akan semangat untuk browsing demi memuaskan rasa ingin tahunya. Hm, tak ada bedanya dengan reporter yang repot itu kan.

Begitulah. Rasanya menjadi seorang pengejar informasi atau pengejar ilmu tetap harus melalui proses repot. Ini semata-mata untuk menyempurnakan informasi dan ilmu yang ia peroleh. So, menjadi reporter yang repot(er)? Tak masalah…

Monday 5 September 2011

Serupa Belum Tentu Semakna

10:06 0 Comments

Dalam bahasa Indonesia, kita sering mengenal istilah sinonim atau persamaan kata, sebuah kata yang memiliki arti sama atau hampir sama. Pada dasarnya, mungkin memang benar beberapa kata itu adalah sama. Tak ada masalah jika satu kata diganti dengan kata sinonimnya. Nyatanya, ketika kata itu diubah sedikit saja, maknanya bisa jadi berbeda.

Saya menemukan makna berbeda itu ketika menjalani tutorial di kampus pagi ini. Seperti biasa, setiap dua kali seminggu, saya dengan teman-teman sekelompok mengikuti tutorial, sebuah diskusi dengan dipandu seorang dosen sebagai tutor untuk membahas suatu skenario kasus penyakit tertentu. Karena sedang di blok THT, kasus kali ini adalah hidung buntu. Salah satu keluhan yang dirasakan pasien di kasus itu adalah hidung tersumbat.

Seperti biasa, teman-teman saling mengutarakan masalah yang sekiranya dijumpai di dalam kasus tersebut. Kami merunut kata demi kata, lalu kalimat demi kalimat agar tidak ada keluhan yang terlewat. Waktu mendekati keluhan hidung tersumbat, saya spontan nyletuk.

“Ini keluhan hidung tersumbat mau disamakan dengan keluhan hidung buntu atau dijadikan masalah tersendiri?” tanya saya waktu itu.

Beberapa teman sedikit ribut. Ada yang berpendapat sama, ada pula yang menganggapnya sebagai masalah yang berbeda. Melihat kami yang berbeda pendapat untuk urusan ini, tutor kami tertawa.

Beliau berkata, “Buntu sama tersumbat, beda atau sama? Kalau jalan buntu dan jalan tersumbat sama atau beda?”

Kami makin kasak kusuk. Kalau buntu dan tersumbat, cenderung sama. Tapi kalau jalan buntu dan jalan tersumbat kan bisa saja berbeda.

Beliau pun melanjutkan, “Betul dan benar itu sama kan, tapi kebetulan dan kebenaran apakah sama?”

Kompak kami menjawab ‘beda’.

Akhirnya beliau menjelaskan, “Hidung buntu dan hidung tersumbat itu beda, meskipun maknanya sekilas sama.”

Hm, bagi saya ini menarik. Rasanya kata-kata itu remeh temeh belaka, nyatanya maknanya bisa jadi telah berbeda. Seperti kasus kata ‘benar’ dan ‘betul’ di atas. Dua-duanya bisa saja diletakkan di tempat yang sama dan saling menggantikan satu sama lain. Tapi meski sama-sama diberi imbuhan ke-an, maknanya sudah sangat berbeda. Tidak mungkin kan semua kebenaran adalah sama dengan semua kebetulan.

Hal ini mengingatkan saya pada diksi. Yah, bagaimanapun diksi itu ternyata penting sekali. Tak hanya untuk menulis puisi atau karya-karya yang membutuhkan pilihan kata yang mengandung estetika, tapi dalam kehidupan sehari-hari pun diksi alias pilihan kata tetap harus melekat dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam bahasa Jawa misalnya. Sama-sama ingin menyebutkan makna makan saja, kita harus memilih padanan kata mana yang lebih tepat, ‘dhahar’, ‘nedha’, atau ‘mangan’. Kalau salah pilih, tentunya tidak pas di telinga. Kalaupun bagi kita pas, bagi orang lain yang paham dikiranya kita tidak menghormati atau tidak paham bahasa yang seharusnya.

Itulah mengapa dalam bahasa Indonesia juga dikenal syarat mutlak untuk berbahasa dengan baik dan benar. Ya, baik dan benar. Tak hanya baik, ataupun hanya benar. Karena bahasa sangat terpengaruh dengan situasi dan kondisi yang ada.

Misalkan ketika kita sedang bercakap-cakap dengan teman akrab kita. Jika kita memintanya untuk datang ke rumah, rasanya kurang baik jika kita berkata, “Silakan Anda berkunjung ke rumah saya.” Ajakan ini sih benar-benar saja. Stuktur kalimatnya benar. Bahasanya justru bahasa baku yang jelas-jelas benar. Tapi tetap saja kurang baik, mengingat hubungan antara kita dengan teman yang diajak bercakap-cakap itu sudah akrab.

Nah, itulah pentingnya pilihan kata dalam bahasa. Jangan sampai hubungan antar sesama rusak hanya karena salah memilih kata dalam berbahas. So, mari pintar-pintar memilih diksi agar setiap kata yang terucap dan tertuang selalu pas di hati.