Follow Us @soratemplates

Saturday 31 March 2012

Obsesi Ambisi

19:55 0 Comments
Memiliki keinginan adalah sifat dasar seorang manusia. Tetapi mewujudkan keinginan dengan penuh ambisi, hanya segelintir orang yang melakukannya. Tak sekedar berambisi saja, beberapa bahkan sampai obsesif dengan keinginanannya. Sebagian berhasil meraih impian dengan obsesinya, tetapi tak jarang banyak yang justru gagal meski telah mati-matian berjuang.

Ada yang menarik di sini. Kadangkala sesuatu yang sudah diperjuangkan dengan mati-matian nyatanya justru luput dari harapan. Sebaliknya, suatu keinginan yang kurang diperjuangkan justru banyak yang kesampaian. Aneh?

Seorang teman berkata, “Bukankah kalau kita memiliki impian, maka kita harus berpikir positif terhadap impian itu?” Artinya, jika kita terus memikirkan impian tersebut, mengapa kita gagal? Tetapi, jika kita berpikir negatif atau tidak terlalu memikirkan impian tersebut, mengapa justru berhasil?

Terlepas dari ini adalah rahasia Allah SWT, kejadian yang cukup unik ini memang pantas dijadikan renungan. Bukan berarti kita menggugat keputusan yang Allah berikan, tetapi kita mengambil pelajaran. Jangan-jangan ada yang salah dengan cara ketika kita mengharapkan impian tersebut.

Saya pernah membaca sebuah quote yang kurang lebih isinya begini, “Punya mimpi, punya rencana, dan pasrah. Karena kekuatan terbesar manusia adalah ketika dia pasrah”. Ada yang menarik dari quote tersebut. Kita boleh saja punya mimpi. Kita bisa saja telah mengatur rencana. Tetapi, apakah kita sudah pasrah?

Pasrah mengindikasikan kita tawakal kepada Allah SWT. Ketika seseorang telah pasrah kepada Allah, artinya dia telah menyerahkan segala urusannya kepada Sang Maha Kuasa. Bayangkan, apa yang terjadi pada sebuah impian kecil jika itu diserahkan pada pemilik kekuasaan tertinggi? Bukankah seakan tidak ada apa-apanya dan sangat tak berarti? Betapa mudah Dia membuat mimpi itu menjadi terwujud. Maka, benarlah kiranya bahwa kekuatan terbesar manusia adalah ketika dia pasrah.

Sering kali manusia merasa dirinya hebat. Ketika memiliki mimpi, tak jarang manusia begitu pongah bahwa impiannya itu pasti bisa menjadi kenyataan. Dia pun lantas memikirkan segala rencana dengan sempurna. Lantas dia percaya bahwa dia pasti akan bisa meraih dengan rencana luar biasa itu. Tetapi, siapa yang menjamin? Dirinya. Dan seberapa pengaruh dirinya dibandingkan Yang Maha Kuasa? Maka, bukankah lebih baik jika tetap pasrah? Karena itu sebagai bukti bahwa diri kita tidak congkak dan berlagak.

Memang benar bahwa ketika kita memiliki sebuah impian, maka kita harus berpikir positif tentangnya. Tentu kita mengingat pula bahwa Allah SWT mengikuti perkiraan hamba-Nya. Jika kita memikirkan bahwa kita insya Allah meraih impiah tersebut, bisa saja Allah SWT akan meridhoi dan mewujudkannya. Tetapi, jika kita saja sudah tidak berpikir positif pada impian kita, bagaimana Allah SWT akan percaya bahwa kita layak menggapai impian itu?

Memang benar bahwa bagaimanapun kita tetap harus berpikir positif. Tetapi, berpikir positif yang bagaimana? Apakah berpikir positif berarti kita harus yakin bahwa kita ‘pasti’ mendapatkannya? Tidak. Kita tidak bisa memastikan itu. Berpikir positif yang dimaksudkan adalah berpikir positif bahwa Allah akan memberikan yang terbaik sesuai kebutuhan kita.

Mungkin kita memang ingin impian itu. Mungkin kita sudah menyiapkan rencana hebat demi impian itu. Tetapi, jika itu sebenarnya tidak berguna untuk kita, bukankah akan sia-sia? Masalahnya adalah manusia sering kali tak pandai menerima bahwa apa yang ada pada dirinya memang yang dibutuhkannya.

Justru karena kita tak tahu apa yang akan kita capai, maka kita hendaknya bersungguh-sungguh dalam segala hal. Ambisi yang harus ditunjukkan bukanlah obsesi untuk meraih impian itu, tetapi obsesi untuk melakukan yang terbaik dalam impian tersebut. Sekilas memang terlihat sama, tetapi sedikit berbeda.

Obsesi yang pertama hanya memikirkan menang dan kalah. Jika tidak teraih, maka kalah. Demikian sebaliknya. Tetapi obsesi yang kedua lebih menghargai proses. Asal sudah memberikan yang terbaik, maka itulah yang terbaik. Jika menang, maka itu terbaik. Jika kalah, itu pasti juga yang lebih baik.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa obsesi dan ambisi seseorang dalam meraih impian haruslah dibarengi dengan kepasrahan. Pasrah bukan berarti berpikir negatif. Pasrah justru amalan berpikir positif dalam tingkatan paling tinggi. Mengapa begitu? Karena kita berani berpikir bahwa Allah SWT akan turut andil menentukan yang terbaik bagi kita. Luar biasa! Sungguh pikiran positif yang tak akan ada tandingannya. 

Friday 30 March 2012

Menjaga Bukan Melarang

21:45 0 Comments
(dimuat di Majalah Embun LAZiS Jawa Tengah edisi Maret 2012)

Dunia anak adalah dunia menyenangkan dan penuh hiburan. Kebutuhan akan permainan dan tontonan yang menghibur bagi anak-anak seakan tak bisa tergantikan. Rasulullah SAW sebagai sosok yang begitu mengasihi anak-anak sangat memahami kebutuhan tersebut. Dalam beberapa riwayat terlihat jelas bagaimana Rasulullah SAW memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak-anak untuk bisa bermain dan menyaksikan pertunjukan.
Pengertian dan kasih sayang terlukis pada diri Rasulullah SAW ketika bersama Aisyah. Istri Rasul yang belia itu masih begitu lekat dengan permainan kesukaannya sebagaimana gadis kecil seusianya.
Dalam sebuah riwayat Aisyah bercerita, “Pada suatu hari raya, ketika rombongan orang-orang Habasyah memperagakan pertunjukan tari-tarian tombak di halaman masjid, Rasulullah menawariku, ‘Ya Humaira, apakah engkau mau menonton mereka?’ Aku menjawab, ‘Ya’. Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakang beliau, dan beliau merendahkan bahunya agar aku dapat melihat dengan jelas. Kuletakkan daguku di atas bahu beliau sambil kusandarkan wajahku ke pipi beliau, aku menonton lewat atas pundak beliau, dan beliau menyeru yang di depan agar merendah. Beliau berkata kepadaku, ‘Ya Aisyah, apakah engkau sudah puas?’ Aku menjawab, ‘Belum’. (HR. Bukhori dan Muslim).
Kisah di atas menggambarkan bahwa Aisyah adalah gadis kecil yang masih menyukai hiburan dan pertunjukan. Ucapan Aisyah di akhir penuturannya menunjukkan bahwa seorang gadis kecil masih berminat dan menyukai permainan. Beliau teramat senang melihat permainan dan ingin menyaksikannya selama mungkin tanpa rasa bosan, kecuali setelah waktu yang lama.
Rasulullah SAW berusaha memfasilitasi kebutuhan istrinya tersebut. Beliau menanyakan kepada Aisyah apakah sudah puas menonton. Pertanyaan ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW berusaha memberikan kesempatan bagi Aisyah untuk memuaskan dirinya menyaksikan pertunjukan itu. Di sisi lain, pertanyaan yang diajukan Rasulullah SAW juga menjadi salah satu cara beliau untuk menjaga dan mengingatkan Aisyah agar segera berhenti apabila sudah puas sehingga tidak lupa waktu.
Sikap Rasulullah SAW tersebut hendaknya diteladani oleh orang tua masa kini. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi kebutuhan anak-anak akan permainan dan hiburan, namun di sisi lain harus tetap mengingatkan anak-anak agar tidak lupa waktu. Karena waktu adalah harta yang sangat berharga, bahkan Allah SWT bersumpah dalam firmannya, “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian.” (Q.S. Al-Ashr 1-2). Tentunya ini menjadi tanggung jawab orang tua untuk menjaga anak-anak agar tidak menjadi manusia merugi karena lalai terlalu asyik bermain.
Kesibukan dan waktu sempit yang barangkali dikeluhkan oleh kebanyakan orang tua hendaknya bukan menjadi alasan untuk lepas tangan dari tanggung jawab tersebut. Di tengah keterbatasan waktu, orang tua selayaknya tetap memberikan kesempatan dan menjaga kebutuhan tersebut. Rasulullah SAW sebagai sosok yang sibuk dengan tanggung jawab ummat tetap berusaha untuk mengalah dan memberikan waktu bagi anak-anak. Seperti dalam kisah berikut.
Suatu hari ketika Rasulullah SAW berangkat ke masjid, di tengah jalan beliau bertemu dengan sekelompok anak kecil yang sedang asyik bermain. Ketika anak-anak melihat beliau, mereka langsung mengerumuninya dan sambil merengek meminta Rasulullah SAW untuk ikut bermain. Dari satu sisi, Rasulullah SAW tidak ingin menyakiti mereka, di sisi lain beliau harus segera menuju masjid untuk menunaikan shalat. Akhirnya beliau memutuskan untuk bermain sebentar guna membersarkan hati anak-anak. Saat itu, Bilal bin Rabbah keluar dari masjid untuk mencari Rasulullah SAW. Tatkala Bilal melihat Rasulullah SAW ada di tengah anak kecil, ia memahami sebab keterlambatan Rasulullah SAW. Bilal bermaksud memarahi anak-anak itu, tetapi Rasulullah SAW melarang. Rasulullah SAW bersabda kepada Bilal, "Pergilah ke rumah dan bawalah kurma dan walnut kepada anak-anak ini.” Bilal pun mematuhinya dan membagikan kurma dan walnut kepada anak-anak hingga mereka gembira dan Rasul pun bisa meninggalkan mereka dan berangkat ke masjid".
Hadits di atas memberikan penjelasan bahwa Rasulullah SAW sangat memahami pentingnya bermain bagi anak-anak. Bahkan di tengah waktu yang sempit pun, Rasulullah SAW tetap berusaha untuk mendukung kebutuhan tersebut. Beliau sama sekali tidak melarang anak-anak untuk bermain dan menikmati pertunjukan.
Namun bukan berarti Rasulullah SAW tak mempedulikan waktu dan membiarkan anak-anak terus bermain begitu saja. Dalam hadits riwayat Bukhori, Rasulullah bersabda, “Apabila malam mulai gelap (malam telah tiba), tahanlah anak-anak kalian, karena setan saat itu sedang bertebaran. Apabila telah berlalu sesaat dari waktu maghrib, lepaskanlah mereka…” Pelarangan anak-anak untuk bermain dalam hadits ini berkaitan dengan melindungi anak-anak dari penyakit ‘ain.
Dalam hadits di atas Rasulullah SAW memberikan contoh agar tetap menjaga anak-anak supaya tidak bermain pada saat yang tidak tepat dan membahayakan diri mereka. Yang kita lakukan hanyalah menuntun anak-anak dengan cara menjaganya, bukan dengan melarangnya sama sekali.

Monday 26 March 2012

Proporsional Mendidik Anak Shalih

21:44 0 Comments
(dimuat di Majalah Embun LAZiS Jawa Tengah edisi Februari 2012)

Memiliki anak yang shalih adalah dambaan setiap orang tua. Untuk mewujudkannya, orang tua memiliki cara yang berbeda-beda. Ada orang tua yang berharap anaknya akan menjadi shalih dengan memberikan banyak aturan. Ada pula yang mengharapkan anaknya menjadi shalih apabila diberikan banyak dorongan dan kebebasan.
Setiap pola didik akan memberikan dampak tersendiri. Adanya pola didik yang berbeda-beda dalam sebuah keluarga akan menghasilkan karakter anak yang berbeda-beda pula. Seperti dalam sebuah hadits, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikan anaknya beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (H.R. Bukhari). Dalam hadits ini ditunjukkan bahwa bagaimana kepribadian anak di masa yang akan datang sangat bergantung pada apa yang diajarkan oleh orang tua..
Untuk itu Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikanlah anak-anakmu, dan didiklah mereka dengan baik.” (HR. Ibnu Majah). Setiap orang tua memang diperintahkan untuk mendidik anak-anaknya. Mendidik yang dimaksud dalam hadits ini bukanlah asal mendidik sesuka hati saja, melainkan sebuah pola didik yang baik.
Lebih lanjut Rasulullah SAW memberi petunjuk dalam sabdanya, “Barangsiapa mempunyai anak kecil, hendaklah ia perlakukan secara proposional.” (HR. Ibnu Askair). Orang tua diharapkan dapat bertindak sesuai dengan porsinya dan tidak berlebih-lebihan ketika menghadapi seorang anak.
 Dalam kitab Tarikh Al-Yaqubi, Imam Muhammad Baqir mengatakan, “Ayah yang paling buruk adalah ayah yang berlebihan dalam menyayangi anaknya karena perbuatan baik yang ia lakukan.”
Namun bukan berarti lantas orang tua sama sekali tidak menghargai apa yang telah dilakukan anaknya. Seperti dalam hadits ke-6 Kitab Al-Kafi dituliskan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah merahmati orang yang membantu anaknya untuk taat kepadanya, menghargai pekerjaannya meskipun sedikit, memaafkan kesalahannya, tidak memaksakannya untuk melakukan pekerjaan di luar kemampuannya, dan tidak menganggapnya bodoh.
Hadits di atas secara jelas menyebutkan bahwa Allah SWT merahmati orang tua yang menghargai anaknya dan tidak menganggapnya bodoh. Salah satu bentuk perilaku mengamalkan hal tersebut adalah dengan melibatkan anak ketika mengambil keputusan dalam keluarga.
Tindakan tersebut telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s. Ketika beliau bermimpi mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail a.s, beliau menyempatkan diri untuk meminta pendapat Ismail. Meskipun Ibrahim meyakini bahwa perintah menyembelih anaknya itu harus dilaksanakan, akan tetapi Ibrahim tetap melakukan dialog bersama putranya untuk meminta pendapatnya.
Barangkali apa yang dilakukan Ibrahim adalah tindakan yang sepele. Namun tindakan ini dapat memberikan dampak besar dalam diri anak. Kebiasaan orang tua yang selalu meminta pendapat anaknya akan memberikan rasa percaya diri yang besar dalam jiwa anak. Ia akan merasa keberadaannya dalam keluarga dihargai dan diperhatikan.
Mendidik secara proporsional juga memiliki arti tetap memberikan sanksi apabila anak melakukan kesalahan. Sanksi diberikan sebagai salah satu bentuk pola didik untuk mengajarkan anak agar berubah dari tindakan buruk. Pemberian sanksi secara wajar juga dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi ra, ia berkata:“Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer telinga saya seraya bersabda: ‘Wahai anak yang tidak amanah’” (HR. Ibnu Sunni).
Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah SAW memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi seorang anak-anak. Meskipun masih anak-anak, beliau tidak membiarkan seorang anak lari dari tanggung jawab amanah yang telah diberikan. Dalam menghukum pun, beliau tidak melakukannya secara berlebihan.
Pola didik yang diterapkan dalam keluarga bukan hanya berkaitan dengan urusan duniawi saja. Hal ini diterapkan pula dalam urusan akhiratnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.”(Shahih Jami’ Ash Shaghir).
Dalam perkara akhirat, orang tua harus bertindak tegas ketika mendidik anak untuk urusan sholat. Rasulullah SAW bersabda,“Perintahkanlah anak-anak untuk mendirikan sholat ketika dia berumur tujuh tahun. Dan ketika dia telah berumur sepuluh tahun, maka pukullah dia kalau dia meninggalkan sholat.” (HR. Abu Daud).
Hadits tersebut mengajarkan pula sikap proporsional menghadapi anak. Ketika anak berusia tujuh tahun, kita masih boleh memberikan toleransi apabila dia tidak mengerjakan sholat. Namun ketika sudah menginjak sepuluh tahun, maka sudah sepantasnya kita bertindak tegas jika anak tetap meninggalkan sholat.
Dengan pola didik yang proporsional antara pemberian kasih sayang dan ketegasan, maka akan terbentuk kepribadian anak yang shalih, yang bukan hanya berakhlak baik dalam hal duniawai, namun juga baik dalam urusan akhirat.


Friday 23 March 2012

Jadi Lebih Baik dengan Piknik

21:41 0 Comments
(dimuat di majalah Embun LAZiS Jateng edisi Januari 2012)

Sebagai orang tua yang sibuk, terkadang kita merasa sulit menciptakan waktu luang. Sekedar untuk beristirahat saja tak ada, apalagi bersenang-senang dengan keluarga. Karena merasa berkewajiban untuk memberi nafkah bagi keluarga, orang tua berusaha sebisa mungkin memanfaatkan waktu untuk bekerja. Padahal kebutuhan keluarga tak hanya materi semata. Sekedar waktu bersama pun merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.

Sekalipun untuk kebutuhan keluarga, orang tua tak semestinya menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja di luar rumah. Rasulullah SAW sendiri tetap memerintahkan kita untuk segera kembali dan memperhatikan keadaan keluarga. Seperti dalam hadits berikut, Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 628 dan Muslim no. 674).

Dalam hadits tersebut dijelaskan agar kita kembali kepada keluarga kita lalu berada di tengah-tengah mereka. Dengan kebersamaan itulah, kita dapat memberikan pelajaran bagi keluarga kita serta memerintahkan keluarga kita untuk berbuat dalam kebaikan. karena waktu bersama dan saling mengingatkan dalam keluarga merupakan salah satu perintah dalam Al-Qur’an. “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (At- Tahrim: 6).

Keinginan memenuhi kebutuhan keluarga dari segi materi memang suatu hal yang wajar. Hidup saat ini terasa begitu berat jika tidak memiliki uang. Namun keinginan yang menggebu-gebu dalam memenuhi segala kebutuhan keluarga bisa jadi membuat kita merasa lelah dengan segala tuntutan kebutuhan tersebut. Pada saat inilah, kita perlu kembali kepada keluarga, meluangkan waktu bersama, dan lebih bagus lagi jika menyempatkan piknik bersama.

Kelelahan hati ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut ini “Setiap amal perbuatan ada masa semangatnya, dan setiap semangat ada masa lemahnya. Barangsiapa yang masa lemahnya menuju pada sunnahku, maka sungguh dia telah mendapatkan petunjuk. Namun barangsiapa yang masa  lemahnya menuju pada selainnya, maka sungguh dia telah binasa (Shahih, riwayat Ahmad, Ibnu H ibban, dan lainnya).

Dari hadits tersebut kita mendapat pelajaran bahwa istirahat dari aktivitas dapat menjadikan kita sebagai orang yang mendapatkan petunjuk. Namun, di lain sisi istirahat kita tersebut juga bisa menjadikan kita sebagai orang yang binasa. Untuk itu, kita perlu berhati-hati dalam memilih cara beristirahat kita, termasuk cara meluangkan waktu bersama keluarga dengan piknik bersama.

Inilah yang disebut dengan piknik Islami, suatu piknik yang kita rancang dengan menyesuaikan syariat Islam, atau minimal dibolehkan secara syariat. Lebih bagus lagi jika piknik kita tersebut justru sesuatu hal yang diperintahkan atau dianjurkan Islam. Jangan sampai piknik atau waktu yang kita luangkan bersama keluarga itu justru menjadi sumber dari laknat Allah.

Piknik ini tidak harus mahal. Kita bisa mengajak keluarga kita sekedar jalan-jalan bersama untuk mentafakuri ciptaan Allah SWT. Ada banyak hal yang bisa kita ajarkan pada keluarga kita dalam jalan-jalan tersebut mulai dari memahami penciptaan langit dan bumi, memahami bagaimana manusia diciptakan dan belajar dari orang-orang terdahulu.

Katakanlah: "Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)" (Ar Rum 42).

Namun yang harus diperhatikan adalah seyogyanya kita memilih tempat-tempat yang jauh dari kemaksiatan. Jangan sampai kita mengunjungi tempat-tempat yang murni maksiat atau penuh dengan syiar kekafiran karena itu adalah pintu yang sangat halus dari setan dan bala tentaranya untuk menggelincirkan manusia dari jalan Allah Ta’ala. Tentunya kita tidak ingin waktu yang berharga bersama keluarga kita tersebut justru menjadi jalan menjauh dari Allah  yang akan membuat kita binasa dan bukan justru mendekatkan kita pada Allah karena kita mendapatkan petunjuk dari kebesaran-Nya.

Cara piknik lain yang juga membawa keberkahan yaitu dengan mengunjungi sanak saudara. Dengan aktivitas kita yang padat, bisa jadi berkurang pula waktu untuk saling berkomunikasi dan mempererat tali silaturahmi bersama sanak saudara. Untuk itu, waktu liburan pun dapat dimanfaatkan untuk mengunjungi mereka.

Rasulullah bersabda “Siapa yang ingin rezekinya diperluas dan umurnya panjang maka hendaknya ia bersilaturrahmi” (HR. Bukhari). Dengan bersilaturahmi, kita mendapatkan kebaikan berupa rezeki diperluas dan umur diperpanjang. Kita pun dapat mengenalkan anak-anak kita pada saudara-saudara mereka sekaligus memberikan tauladan untuk saling mempererat saliturahmi.

Dengan piknik yang tepat, kita telah dapat meneladani sunnah Rasulullah. Kita telah kembali pada keluarga dari kesibukan kita, tinggal bersama mereka, mengajari mereka, dan memerintah mereka untuk meneladani sikap kita. Semoga dengan piknik yang islami ini kita dapat melepas penat dari kelelahan aktivitas sekaligus menjadikan kita sebagai orang-orang yang mendapatkan petunjuk.



Saturday 17 March 2012

Aku Penghancur Rumah Tangga

10:56 0 Comments
Aku hanya sanggup menatapnya dari kejauhan. Dia sedang merajut rumah tangganya. Aku? Menyimpan dendam.

Dia asyik bercengkrama, tanpa peduli padaku yang mengintai dari tepian laga. Tak dihiraukannya pula senjata tajam yang tergenggam dalam tanganku. Aku mendekat, mengintai.

Satu sisi rumahnya kuhancurkan. Dia bergeming. Agaknya dia memang kukuh dengan rumah tangganya. Satu pilar rumah tangganya kembali kuhancurkan. Dia goyah, tapi tetap bertahan di dalam rumah, mencoba menjaga apa yang tersisa. Melihat kesetiaannya, aku membabi buta. Kupatahkan pondasi rumah tangganya lagi.

Laba-laba itu pun pergi.



PS: Untuk laba-laba yang terusir karena kuporak-porandakan sarangnya, meskipun dirimu tak baca blog ini, maafkan aku... ^^

Friday 16 March 2012

Wanita Gunung Es

07:03 0 Comments


Dia itu seperti gunung es yang sulit untuk dipatahkan.

Kalimat itu dikatakan oleh seorang teman saya dalam sebuah kesempatan. Sebuah kalimat yang digunakan untuk mendeskripsikan sesosok wanita. Ada yang mengusik di sini. Saya membenarkan, tetapi juga menyangkal.

Mengapa wanita itu diibaratkan gunung es yang terkesan tangguh dan sulit didaki?

Saya menukil jawaban dari ibu saya, "Wanita harus menjadi problem solver". Saya sepakat dengan itu. Seorang wanita sejatinya bukan sebuah gunung es. Dia tetap saja mencair jika matahari begitu garang. Tetapi dia tetap akan terlihat sebagai sebongkah es karena wanita bagaimanapun harus tetap punya pendirian.

Fenomena gunung es sering diibaratkan sesuatu yang nampak sedikit padahal di dalamnya mengandung sesuatu yang besar. Dalam hal ini, analogi inipun bisa dibenarkan. Seorang wanita bisa saja dianggap sebagai gunung es yang tangguh. Tetapi, sadarlah bahwa wanita bersikap demikian justru karena terlalu banyak kelemahan yang dia pendam.

Wanita dengan segala kodratnya sering diartikan sebagai makhluk yang lemah. Lantas, apakah dengan begitu kita akan bersikap lemah saja (sesuai dengan paradigma masyarakat tersebut)? Menurut saya, tidak.

Justru karena seorang wanita lemah, maka dia harus mengenali dirinya dan menguatkan diri di bagian mana dia harus kuat. Sekuat apapun wanita, tetap akan ada sisi yang hanya pria yang bisa menjawabnya. Tetapi, apakah harus terus melemah hingga sang pria ada? Tentu tidak.

Gunung es yang muncul di permukaan tidak harus melemah dan meruntuhkan semua yang ada di dasar. Gunung es yang menyembul di permukaan haruslah bersikap kuat sehingga bagian dasar tak akan berantakan. Itulah wanita. Wanita harus tetap kuat dengan kelebihan yang barangkali hanya sedikit dibanding pria. Bukan berarti wanita harus terus mengalah dan benar-benar kalah hingga akhirnya lemah dan menghancurkan semua kehidupannya.

Apakah itu artinya gunung es tak bisa didaki? Memang, tak ada orang yang kurang kerjaan mendaki gunung es. Tetapi, bukan berarti gunung es tak bisa ditaklukkan. Demikian pula wanita. Setangguh apapun ia, akan ada zona dimana pria hanya bisa melakukannya. Bukan perkara bisa atau tidak, tetapi berani atau tidak.

Maka, wanita memang gunung es yang terkesan tangguh, namun sejatinya mudah luluh hanya dengan matahari yang mungkin hanya sedikit saja menyinari.



Wednesday 14 March 2012

Berbagi Suami

19:42 0 Comments
Bagi para istri atau calon istri, bagaimanakah rasanya jika kelak harus berbagi suami? Perasaan bergolak pastinya akan muncul. Rasa itulah yang dibidik oleh Nia Dinata dalam filmnya yang berjudul Berbagi Suami. Saya memang tidak melihat filmnya, tetapi saya berkesempatan untuk membaca buku skenarionya.

Perasaan orang yang dipoligami bisa bermacam-macam. Pertama adalah pasrah, seakan menerima apa adanya tanpa mau ambil pusing untuk mengurusnya. Kedua, mendukung bahkan saling berbagi satu sama lain dengan istrinya. Ketiga, menghindar dan dalam hati menolak. Termasuk pula perasaan orang yang akan dijadikan istri kesekian. Ada yang menerima dengan lapang dada, ada pula yang menerima dengan terpaksa. Semua warna-warni rasa itu terangkum manis dalam film karya Nia Dinata tersebut.

Film (yang mana saya membaca bukunya) terbagi dalam tiga babak. Babak pertama bercerita tentang seorang dokter yang pasrah dipoligami oleh suaminya yang seorang ustadz. Dokter itu tak mau ambil pusing, bahkan rasa cintanya pada suami berubah menjadi rasa kasihan semata.

Babak kedua bercerita tentang seorang wanita yang berharap disekolahkan oleh pamannya. Tetapi akhirnya justru dinikahi sebagai istri ketiga. Wanita ini dalam hati menolak, hingga akhirnya diceritakan melarikan diri meninggalkan sang suami.

Babak ketiga bercerita tentang seorang gadis yang dinikahi oleh majikannya. Wanita itu menerima dengan senang hati karena mendapat fasilitas lengkap dari majikannya. Tetapi pada akhirnya cinta itu kandas karena sang suami dilarang oleh istrinya.

Semua perasaan itu mewakili kemungkinan perasaan dari semua wanita. Tak ada sedikit pun statement yang memberikan pendapat Nia Dinata mengenai poligami. Semua hanya sebuah paparan dan semua dikembalikan lagi kepada penonton atau pembaca untuk menilai bagaimanakan perasaan jika dipoligami.

Terlepas dari isu poligami itu sendiri, saya lebih mengamati tentang bagaimana penulisan skenario. Ada satu kelebihan penulisan skenario yang saya tangkap jika dibandingkan penulisan cerpen atau novel biasa. Kelebihan itu adalah pendeskripsian yang sangat jelas.

Sebagai contoh, dalam mendeskripsikan ruangan di skenario dijelaskan bagian apa yang dilihat dan kamera mulai diarahkan dari sudut mana. Hanya dengan membaca skenarionya saja, saya sudah bisa membayangkan bagaimana adegan sebenarnya.

Dari sini saya belajar mengenai pendeskripsian. Dalam menulis cerpen atau novel pun seorang penulis harus bisa memberikan detail dengan jelas. Dengan begitu, pembaca seakan-akan dapat melihat sendiri atau bahkan ikut merasa di dalam cerita. Apabila hal ini terjadi, maka cerita pun akan lebih mudah untuk dicerna dan mudah diterima juga.

Dari buku ini saya belajar banyak hal. Belajar mengenal sudut pandang lain mengenai poligami. Dan belajar menuliskan sebauh kisah dengan nyata, senyata menulis sebuah adegan film.