Follow Us @soratemplates

Sunday 20 January 2013

Istikharah, It Works!

19:09 6 Comments


Seorang teman bercerita tentang lawan jenis pujaan hatinya kepada saya. Mendengar ceritanya yang demikian membuat hati saya 'geli', saya pun bertanya, "Sudah mencoba istikharah?"
Dia menjawab sambil tertawa, "Istikharah? Ga lah mbak. Aku belum mau istikharah untuk hal yang tidak pasti"
Saya hanya diam.

Oke, tulisan ini bukan untuk membahas teman saya, tapi lagi-lagi saya hanya ingin menceritakan pengalaman saya.

Pertama, saya sebenarnya tidak sependapat dengan istilah belum mau istikharah untuk hal yang tidak pasti. Dalam kamus saya, justru istikharah itulah yang akan memberikan kepastian. Saya berani berkata demikian karena saya pernah mengalaminya berkali-kali.

Kedua, saya mengatakan bahwa saya pernah mengalami berkali-kali karena bagi saya istikharah tidak hanya semata-mata urusan jodoh. Ada banyak hal di dunia ini yang kita tidak tahu harus memilih apa. Bagi saya, tak ada salahnya jika kita mengistikharohinya. Apakah salah jika kita melibatkan Allah dalam hidup kita?

Memang istikharah bukan urusan yang main-main. Nah, kalau tahu bahwa itu memang bukan untuk main-main sehingga kita merasa bahwa urusan tertentu tidak pantas untuk diistikharahi, lantas buat apa kita membuat perkara main-main. Jelas-jelas perkara main-main itu membuat banyak pikiran. Tidak tahu harus menentukan apa, tapi merasa tak pantas juga jika harus mengistikharahinya. Bingung juga kan?

Terlepas dari itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa istikharah itu benar-benar ampuh. Memangnya ada yang tidak ampuh jika Allah SWT sendiri yang turun tangan?

Saya pernah istikharah ketika akan mendaftar beasiswa perusahaan rokok. Dalam hati saya ingin sekali dapat beasiswa itu, tapi saya istikharah. Jawaban istikharah itu demikian mencengangkan. Tiba-tiba saya ada kendala hingga tidak bisa mengirim aplikasinya. Keinginan yang ada di dalam hati itu juga sedikit demi sedikit sirna. Dan alhamdulillah, saya mendapat beasiswa lain dengan program serupa dan nominal uang yang jauh lebih besar. Persis seperti doa istikharah, "Jika ini tidak baik bagiku, maka jauhkanlah dan berikan yang lebih baik padaku".

Untuk urusan yang mungkin lebih sepele, saya pun kadang melakukan istikharah. Contohnya urusan skripsi. Ketika mendapat pembimbing penguji yang sulit, ketika mengurus ijin penelitian yang demikian menguras hati, saya istikharah demi memantapkan diri. Apakah saya harus lanjut ataukah saya memang harus ganti. Nyatanya, selepas istikharah saya bisa menaklukkan hati pembimbing penguji, plus menaklukkan hati dokter rumah sakit demi memberikan ijin penelitian. Sidang menjadi tidak semenakutkan yang saya bayangkan. Dokter yang semula memaki dan menolak mentah-mentah pun bahkan kemudian membimbing dan banyak memberikan nasihat moral pada saya. Persis seperti doa istikharah, "Jika ini memang baik bagiku (dunia akhirat), mudahkanlah, jadikan memang benar untukku".

Jika untuk urusan sepele ini saja Allah sudi membantu hamba-Nya, mengapa tidak untuk urusan lainnya? Jadi, kenapa ragu untuk menuturkan segala kegalauan hatimu. Bukankah Allah SWT lah yang maha penentu? Daripada cuma jadi korban PHP, lebih baik mendapat kepastian. Jika memang takdir kita, akan semakin mantaplah ia. Jika bukan takdir kita, makin jauhlah ia.

Insya Allah istikharah works!


Gadget

18:19 0 Comments
Ini tulisan saya yang pertama untuk tahun 2013 dan belum apa-apa saya sudah membicarakan gadget. Apakah saya sok-sokan mulai paham teknologi dan berani bicara gadget? Tidak, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan itu. Seperti biasa, saya murni hanya ingin curhat saja. Layaknya orang yang biasa membuat resolusi atau refleksi di awal tahun, saya pun dipaksa untuk merefleksi diri di awal tahun ini, khususnya refleksi tentang gadget.

Sedikit membuka kartu, hidup saya sepertinya sangat lekat dengan gadget. Bangun tidur sampai tidur lagi, laptop dan HP terus membersamai. Bahkan seorang teman pernah berkata, "Mbak Avi tanpa laptop? Apa bisa?"
Pertanyaan itu sedikit menohok karena saya memang 'hidup' dari laptop, tapi sebuah keadaan menyadarkan saya.

Di awal tahun ini, gadget-gadget tercinta saya kompak ngambek bersama. Si putih alias laptop tersayang 'koma' di tempat servisan. Si andro (samsung android) yang biasa diajak online menggantikan si putih juga ikutan lemot dan full memori. Bingung? Jelas. Kegiatan rutin yang biasa dilakukan dengan mereka berdua terhambat. Saya terpaksa menunggu ibu tidur di malam hari demi bisa meminjam laptopnya. Saya juga tidak membuka aplikasi social media di HP demi membuat si Andro tidak ngambek. SMS atau notifikasi di HP pun terhambat dan baru tiba-tiba masuk bersamaan dalam beberasa saat kemudian. So, saya murni terputus dengan gadget.

Jika menilik pernyataan teman saya tadi, bisa dikatakan saya pasti tidak akan betah. Memang benar, di awal saya hampir kewalahan. Bahkan jika mau lebay saya mungkin memang tidak benar-benar 'hidup'. Tapi, ada satu sisi yang saya refleksikan di sini yaitu bukankah jauh sebelum saya mengenal si putih dan si andro saya juga tetap hidup?

Saya merefleksikan diri saya dalam keadaan demikian. Sejak pertama punya laptop ketika kelas 2 SMA, sehari-hari saya pasti membuka gadget ini, entah untuk mengetik atau sekedar menghubungi teman-teman yang tersebar di mana-mana. Padahal sebelumnya, saya juga fine-fine saja. Saya tetap bisa menulis cerita dengan bolpoin di buku. Saya juga bisa berteman dengan teman-teman 'nyata' saya dan bukan hanya teman-teman 'maya' saja. Waktu luang pun tetap bisa saya manfaatkan, dengan membaca buku dan bukan dengan online.

Lalu, ketika saya belum punya si Andro (atau dalam kasus ini juga bisa ketika belum punya si BB), saya tetap bisa sms atau telepon dengan teman-teman. Saya tetap saja tidak mati gaya ketika HP lowbat dan tidak bisa membuka social media. Ya, saya fine-fine saja dan tinggal berkata, "Maaf HP mati".

Mungkin ada yang menyangkal, "Itu kan zaman dulu, jelas beda dengan zaman sekarang lah". Ya, memang benar bahwa zaman telah berubah. Memang benar juga bahwa ada yang namanya seleksi alam sehingga kita perlu mengikuti perkembangan zaman agar tetap bertahan hidup. Tapi, jangan lupa juga bahwa aslinya kita sebenarnya tetap bisa hidup. Jangan sampai hanya karena ingin peka zaman lantas menjadi kacang yang lupa kulitnya.

Saya tidak menyindir siapa-siapa. Bahkan mungkin ini hanya curhatan yang tiada artinya. Saya hanya ingin berbagi saja, bahwa bayangan semula yang seakan mengatakan saya mungkin tidak bisa hidup tanpa laptop, ternyata bisa juga. Mungkin begitu juga dengan Anda.


PS:
Hikmah: Belajar memahami arti semua berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah. Dari yang semula tiada lalu ada, dan suatu saat pasti akan tiada juga.