Follow Us @soratemplates

Tuesday 19 February 2013

Pujian? Stop It!

02:12 0 Comments



Dulu, saya pernah menulis tentang perkara memberikan pujian. Waktu itu saya melihat dari sudut pandang orang yang dipuji. Ada yang merasa senang hingga menyombongkan diri. Ada yang bahagia dan hanya diam saja. Ada yang suka lantas bertasbih pada yang Maha kuasa, tapi ada juga yang marah hingga ibarat menyemburkan pasir ke wajah orang yang memujinya.

Sekarang, coba kita lihat dari sudut pandang orang yang memberikan pujian. Ketika seseorang melontarkan pujian, tentu dia memiliki beberapa maksud tertentu. Boleh jadi dia hanya mencari muka bak seorang penjilat. Namun bisa juga dia memang kagum dan merasa ingin memuji orang tersebut.

Ada yang perlu digarisbawahi di sini. Kembali ke rumus yang pertama bahwa segala puji hanya bagi Allah, maka ketika kita merasa ingin memuji sesuatu, ingatlah bahwa Allah-lah yang selayaknya menjadi sasaran pujian itu. Misal, kita melihat seseorang yang demikian mempesona. Alih-alih memujinya secara langsung, lebih baik kita jika kita mengucap “Masya Allah..., Maha suci Allah yang telah menciptakan makhluk yang sungguh mempesona”.

Ucapan di atas memiliki beberapa makna. Secara tidak langsung ucapan itu akan menambah keimanan dan kesyukuran kita kepada Allah Ta’ala. Kita akan semakin menyadari bahwa Allah-lah yang Maha kuasa atas segala sesuatu. Di satu sisi, kita pun akan membantu saudara kita yang mempesona itu tadi dari penyakit-penyakit hati. Mengapa demikian? Karena kita tidak tahu, apa yang akan terjadi pada dirinya jika kita benar-benar memuji di hadapannya. Boleh jadi dia menjadi lupa diri dan sombong, mungkin juga dia akan merasa bangga tapi melupakan kekuasaan Allah ta’ala, atau bisa jadi juga dia justru menjadi marah kepada kita. Jika dia marah karena dipuji, jangan-jangan justru kita yang akan sakit hati, merasa sudah memberi pujian tapi tidak dihargai. Nah, justru semakin panjang urusannya kan?

Menjaga lisan untuk tidak memberikan pujian khususnya secara berlebihan sedikit banyak memang benar-benar akan membantu saudara kita. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah mendengar seorang laki-laki yang memuji laki-laki lain dengan berlebihan dalam pujiannya. Beliau bersabda, “Kamu membinasakannya dan memotong punggung orang itu” (H.R. Bukhari).

Na’udzubillahimindzalik. Coba bayangkan, kita yang demikian kagum dengan seseorang berniat untuk memberikan pujian agar orang itu senang, tapi di lain sisi yang kita lakukan justru membinasakan dan memotong punggung orang tersebut. Bukankah itu sangat kontradiktif? Sayangnya, orang yang kita puji belum tentu sadar bahwa dia telah binasa atau telah terpotong punggungnya. Sungguh, kita ibarat musuh dalam selimut, bersikap manis padahal sebenarnya kita membunuh. Na’udzubillah...

Maka, jika kita memang benar-benar mengaguminya, tentu kita akan berusaha untuk menjaga. Artinya, bukan dengan memberikan pujian yang demikian hebatnya, tapi justru dengan mengagumi Allah SWT dan berdoa atasnya. Selain terhindar dari membinasakan saudara kita, cara ini juga akan menghindarkan kita dari ancaman kufur terhadap Sang Maha kuasa. Di samping itu, boleh jadi kita justru akan mendapat pahala karena bertasbih dan mengingat Allah SWT dalam berbagai kondisi.

Jadi, jangan salahkah kami yang mungkin tidak pernah memuji. Bukan berarti kami iri hati hingga tak mau memuji, atau bukan berarti kami demikian tinggi hati hingga tak sudi untuk memuji, tetapi justru kami ingin menjagamu dan berusaha untuk menyelamatkan diri.



Saturday 16 February 2013

Dua Huruf

09:24 0 Comments

Ketika berinteraksi dengan orang lain, bagaimanakah ciri khas Anda? Apakah menjawab dengan panjang lebar? Atau menjawab dengan membubuhkan emoticon? Menjawab super singkat? Atau bahkan tidak merasa butuh menjawab jika itu bukan suatu pertanyaan?

Saya pernah iseng membaca tentang teori kepribadian seseorang dalam berinteraksi. Tanpa disadari, cara menjawab itu sedikit banyak memang menggambarkan karakter diri kita sendiri. Dari beberapa contoh yang saya sebutkan di atas, saya termasuk tipe orang yang menjawab sesuatu dengan singkat. Sekedar oke, ya, ga, dan jawaban setipe lainnya.

Awalnya saya pikir itu tidak masalah. Bukankah saya tetap saja menjawab, setidaknya lebih baik daripada yang sama sekali tidak menjawab atau menjawab dengan interval waktu yang sangat lama. Tapi, entah mengapa akhir-akhir ini banyak yang protes tentang hal itu pada saya.

Seorang teman beberapa kali protes, "Kok jawabnya singkat-singkat lho...", dan saya cuma menjawab "ga papa" (singkat juga bukannya.. :p).
Kemarin seorang teman yang membeli pulsa di saya juga cuma saya jawab, "Ya". Lalu dia SMS lagi "Mbok ya jawabnya yang agak panjang dikit, masa cuma dua huruf..." Dan saya balik menjawab "Yo iki wis mlebu" (lagi-lagi cuma singkat seperlunya).
Sayangnya kadang saya begitu juga dengan orang tua saya. Bahkan ketika saya bad mood, bapak akan hafal jawaban saya. Kalau memang tidak, saya akan menjawab "ga", kalau jawabannya iya atau mungkin butuh penjelasan lebih lanjut saya akan menjawab "ga tau". Ya, cuma "ga" atau "ga tau".

Berhubung mulai banyak yang protes, akhirnya saya sadar juga kalau ada yang tidak beres dengan cara menjawab saya. Mungkin kepribadian saya memang berubah, atau memang karena dipengaruhi suasana hati itu tadi. Tapi terlepas dari suasana hati itu, mungkin lebih baik jika kita (khususnya saya) menginstrospeksi diri sendiri.

Awalnya saya berpikir, bukankah enak jika berkata itu hanya to the point saja. Ringkas, tak bertele-tele. Daripada terlalu banyak bicara padahal itu tak penting, bukankah lebih baik hemat kata saja. Tapi, di sisi lain yang namanya interaksi itu tak hanya butuh satu personal saja. Ada orang lain yang dilibatkan, dan orang lain itulah yang perlu kita pikirkan.

Tentu orang lain ingin ketika berinteraksi dengan kita mendapat sambutan yang hangat dan diterima dengan baik. Mereka bertanya baik-baik, seharusnya dijawab dengan baik-baik pula. Bukankah sebuah kebaikan harus dibalas minimal dengan kebaikan yang serupa, bahkan kalau bisa lebih baik daripada itu. Jadi, kalau mereka bertanya dengan sopan, seharusnya kita menjawab dengan jauh lebih sopan pula.

Hanya saja perkara suasana hati itu memang kadang membawa masalah tersendiri. Ada orang yang demikian senang hingga mungkin berlebihan ketika berinteraksi. Ada orang yang kelewat sedih sampai-sampai semua orang dicemberuti. Ada orang yang begitu marah hingga semua orang ikut dimarahi. Nah, kalau sudah begini bagaimana mau membalas sesuatu dengan lebih baik?

Yup, ini hanyalah introspeksi untuk diri saya sendiri. Semoga saja kita bisa menjaga hati, hingga nantinya kita bisa menjaga lisan kita dari menyakiti hati. Insya Allah..



Friday 15 February 2013

Hati-hati

09:25 0 Comments



Dalam suatu keadaan tertentu, pernah dengan sengaja meminta pesan atau nasihat dari teman? Beberapa teman saya sering melakukannya. Ketika hati sedang lelah, tak jarang mereka meminta nasihat atau sekedar saling bertukar pesan. Biasanya, jika ditanya demikian, saya akan memberikan pesan sekehendak hati saya. Nah, beberapa waktu lalu ada seorang teman yang juga meminta sebuah pesan, dan kala itu saya hanya menjawab, "hati-hati".

Mungkin ketika dirasakan pertama kali, pesan yang saya sampaikan itu hanya simpel sekali. Bahkan mungkin teman saya justru jengkel karena saya hanya berpesan sesingkat itu. Jika dilihat, pesan itu memang sangat singkat. Terlebih jika diucapkan dengan nada datar, kesannya seperti tidak peduli dan tidak niat untuk berbagi pesan. Tapi, coba perhatikan lebih dalam lagi. Adakah unsur kehidupan ini yang sia-sia karena dilakukan dengan hati-hati?

Kata hati-hati justru memiliki banyak makna. Kata hati-hati justru menyiratkan bahwa kita memberi kepedulian yang besar akan hidupnya. Ya, sekedar hati-hati karena justru dengan sekedar hati-hati itulah kita mengingatkan dirinya agar dia berhati-hati dalam segala hal.

Tentu saja karena hati-hati di atas demikian singkat maka maknanya justru makin luas. Jika kalimatnya adalah 'hati-hati di jalan ya', maka dia hanya berpesan untuk berhati-hati selama di jalan. Tetapi berhubung ini hanyalah pesan berhati-hati, maka tuntutan dari pesan ini justru jauh lebih banyak.

Terlepas dari itu, bukankah kita memang selalu dituntut untuk berhati-hati? Dunia ini terlalu licin. Salah melangkah sedikit saja, kita bisa tergelincir. Kalau masih berhati-hati dan bisa mencari pegangan, maka ia mungkin masih berhasil untuk bangkit. Tapi bagaimana jika dia terjatuh dan tak bisa bangkit lagi?

Hati-hati itu universal. Mulai dari hati-hati memilih agama, hati-hati mengais rizki, hati-hati memilih teman dan pergaulan, hati-hati menentukan guru dalam kehidupan, bahkan termasuk berhati-hati dalam setiap kata yang terucap. Terlalu banyak dan semuanya tidak mungkin saya sebutkan di sini. Intinya, semua hal yang kita lewati di dunia ini Insya Allah akan selamat jika selalu bersikap hati-hati.

Maka, berhati-hatilah. Jangan kira saya tak peduli karena hanya mengucap hati-hati. Jauh lebih dari itu, saya justru sangat peduli dan berharap semuanya akan selamat. Insya Allah.




Thursday 14 February 2013

Are You Ready?

01:46 2 Comments

Siap tidak siap, adegan demi adegan dalam kehidupan akan datang dan harus diperankan.


Setiap akan masuk maupun keluar dari kamar, mata saya tertuju pada sebuah tulisan besar di papan tulis. Sebuah kalimat tanya 'ARE YOU READY?' terpampang di sana. (Dan pagi tadi, adik saya iseng menuliskan 'NO' di samping kalimat tanya itu). :D

Ada apa gerangan? Bukan apa-apa. Niat semula, saya hanya ingin mengingatkan bahwa saya masih punya tanggungan ujian kompre dalam hitungan beberapa hari lagi. Tapi, saya kemudian tersadar dan mencoba melihat reminder itu dari sisi yang lebih luas lagi.

Saya hanya ingin memaksa diri ini untuk ingat bahwa semua hal harus dipersiapkan.Ya, semua hal. Bahkan untuk perkara sepele seperti makan atau mandi pun, kita butuh mempersiapkan semua peralatannya. Jika hal sepele saja butuh persiapan, terlebih lagi untuk hal besar yang membawa perubahan pada kehidupan kita. For example, mungkin kita sering ditanya, "Sudah siap nikah?" atau untuk urusan hidup yang lebih besar, "Sudah siap mati?"

Ya, pertanyaan tentang kesiapan itu akan selalu datang. Ketika orang sudah di luar ruang ujian, bisa saja dia mengeluh belum siap ujian. Ketika seseorang menyebarkan undangan pernikahan, boleh jadi ada rasa khawatir dia belum siap untuk menikah. Atau barangkali ketika dia sekarat di rumah sakit, dia pun belum siap jika harus menjemput kematian pada saat itu.

Boleh jadi kita memang masih kurang mempersiapkan diri. Tapi, bisa juga ini hanya perkara mental semata. Persis seperti yang dikatakan teman saya, "Anak FK itu rata-rata pembohong. Kalau ditanya udah siap ujian atau belum, pasti jawabnya belum. Tapi begitu hasil ujian dibagikan, langsung deh nilainya bagus dan lulus semua"

Ya, bisa saja begitu. Hanya perkara mental karena kita merasa belum puas. Saya justru berpikir, apakah akan ada kepuasan itu? Dalam benak saya justru persiapan itu tak kan ada habisnya. Orang yang mau ujian seharusnya belajar tanpa kenal henti. Bukankah belajar yang baik adalah dari buaian hingga liang lahat? Orang yang mau menikah juga seharusnya tidak berhenti mempersiapkan diri, termasuk ketika sudah menjadi pasangan resmi tetap saja banyak persiapan-persiapan untuk mengarungi hidup bersama. Demikian juga dengan kematian. Hingga detik nyawa keluar dari raga, kita tetap saja harus terus bersiap-siap. Salah satunya dengan mencoba agar kalimat Allah-lah yang keluar terakhir dari bibir kita.

So, jika ditanya 'are you ready?' mungkin wajar jika menjawab 'no'. Entah siap tak siap, bagaimanapun harus tetap dihadapi. Yang penting terus melakukan persiapan tanpa kenal henti.

Insya Allah...





Wednesday 13 February 2013

My Brother, My Keeper

06:04 3 Comments


Pernah nonton film My Sister's Keeper? Film itu mengisahkan tentang seorang kakak yang sakit-sakitan dan dia memiliki adik perempuan yang sengaja dilahirkan demi melindungi kesehatan kakaknya. Dalam film itu, sebenci atau tidak sukanya adik itu pada kakaknya, pada dasarnya dia tetap mencintai kakaknya juga.

Inilah yang ingin saya ceritakan. Seperti biasa, saya hanya ingin bercerita. Kita akui atau tidak, hubungan seorang kakak adik seringkali membawa banyak warna. Ada yang sering bertengkar, ada pula yang saling bekerja sama untuk mencapai suatu misi misalnya. Nah, di sini saya ingin menceritakan adik saya.

Adik saya seorang laki-laki yang pada saat tulisan ini saya buat masih duduk di kelas 3 SMA. Sebagai kakak yang 'jahat', bisa dibilang saya kejam sekali tidak pernah mempedulikan adik saya. Oke, ini adalah judgement saya terhadap diri saya sendiri. Padahal, dalam beberapa kesempatan, saya seringkali merasa bahwa adik saya ini begitu spesial.

Contohnya kemarin malam. Saya pulang selepas magrib. Langit sedang mengucurkan hujan dengan derasnya. Suasana makin suram dengan listrik yang padam. Begitu saya sampai dan membuka pintu gerbang dan garasi, adik saya langsung menghampiri.
"Yah..., lagi wae meh tak SMS kak nek ga usah pulang sik, peteng" (Yah, baru saja mau saya SMS kak kalau ga usah pulang dulu, gelap)

Berhubung saya lelah dan dalam keadaan basah, saya cuma diam saja. Saya memasukkan motor ke dalam garasi. Begitu mesin motor mati, garasi menjadi gelap lagi, padahal saya harus balik lagi keluar untuk menutup pintu gerbang dan pintu garasi. Saya hanya mengeluh, "Yah..peteng" (Yah..gelap)

Tanpa ba bi bu, adik saya meninggalkan saya sendiri di garasi. Saya pun melangkah ke pintu gerbang. Begitu saya membalik, ada sebuah cahaya dari arah pintu.
"Ni kak, tak bawain senter"

Just simple, tapi saya melongo. Bukan apa-apa, tanpa saya minta, adik saya paham dia harus melakukan apa. Memang hanya tindakan sederhana, tapi ketika itu adalah sesuatu yang sangat saya butuhkan, saya merasa bahwa dia begitu baik dan perhatian pada saya.

He is my brother. Seorang adik yang sering cuek dan asyik dengan hidupnya sendiri (pun begitu pula kakaknya), seorang adik yang menurut saya masih sering childish dan manja, seorang adik yang masih itungan terhadap apapun yang diminta orang lain padanya.

Tapi dia seorang adik yang dulu bertanya, "Kak, enaknya cita-citaku apa ya? Aku bingung ga punya cita-cita."
Seorang adik yang sering marah-marah, "Kamu itu doain aku lho Kak, biar keterima managemen UGM!"
Seorang adik yang dengan nada sedih berkata, "Moga-moga aku bisa, aku ya pingin bikin bapak ibu bangga, ga cuma kakak aja"
Seorang adik yang ketika ujian akan mondar-mandir di kamar saya, "Aku ga bisa tidur Kak" dan berkata, "Aku pingin kayak kamu, enak ga tidur sampe malam tapi paginya ga ngantuk"
Seorang adik yang bingung ketika mau beli sesuatu, "Aku ngomong apa ke penjualnya?"

Yup, he is my brother. Mungkin bagi Anda cerita saya tak ada apa-apanya, tapi bagi saya yang cuek dan sering tak terlalu peduli dengan keadaan, apa yang dilakukan adik saya secara tidak sadar sangat berarti bagi saya.

Atau barangkali demikian juga yang Anda rasakan. Sekalipun ada banyak intrik dengan saudara-saudara kita, pada akhirnya ada rasa cinta dan sayang tak terdefinisikan juga. Ada adik yang khawatir kakaknya mendapat pasangan hidup yang tidak baik menurutnya. Ada kakak yang rela mengerjakan apa yang menjadi tugas adiknya demi sang adik tidak dimarahi orang tua. Ada kakak adik yang demikian kompak melakoni hobi bersama atau bekerja sama merengek sesuatu di hadapan orang tuanya.

Sekalipun kakak sering menyuruh semena-mena, sekalipun adik sering menolak tanpa kejelasan alasannya, semua skenario hidup di atas adalah jalan hidup yang indah. Dan saya percaya dengan quote di atas. Sisters are our first friend and our second Mother.

Ya, you are my first friend and my second father. Semoga Allah meridhoimu selalu. Aamiin..


*edisi muhasabah interaksi dengan orang terdekat