Follow Us @soratemplates

Thursday 2 May 2013

Lembut

21:34 0 Comments

Ketika mengikuti program jaga malam di suatu sore, seorang pasien bercerita, “Koasnya ganti ya mbak? Biasanya kemarin yang jaga Mbak X. Kalau meriksa lembut banget”. Saya pun menjawab, “Iya pak, jadwal jaganya ganti-ganti”. Bapak itu melanjutkan, “Oh, gitu ya mbak. Itu koasnya baik, mbak. Kalau cara meriksanya lembut gitu kan pasien jadi senang ya mbak”. Saya tersenyum dan mengiyakan.

Di lain waktu, seorang pasien yang baru saja masuk IGD berkata, “Dok, periksanya pelan-pelan ya. Nyuntiknya pelan-pelan. Saya trauma, dok. Di klinik sebelumnya sudah dicoblos di mana-mana. Kasar”. Kami yang ada di IGD saat itu hanya mengiyakan.

Ketika mendengar komentar beberapa pasien tersebut, saya teringat dengan petuah Wadir Pelayanan RSDM saat pradik dulu. Beliau berkata, “66% pasien pindah karena bertemu dengan orang yang tidak menyenangkan”. Tanpa data akurat 66% itu saja, secara logika kita bisa menerimanya.

Ini layaknya hukum aksi dan reaksi. Ketika seorang diperlakukan secara kasar, orang itu seringnya akan membalas dengan kasar pula. Bahkan bisa jadi justru membalas dengan yang jauh lebih kasar. Mungkin, pasien tidak akan kooperatif, menolak tindakan ini itu, atau bahkan meninggalkan tempat layanan dan pulang.

Sebaliknya, jika pasien merasa diperlakukan dengan lembut, tentu dia akan membalas dengan baik pula. Sekalipun mungkin tidak dengan sesuatu yang lebih baik, setidaknya sikap kooperatif pasien akan cukup membantu kita.

Yup, tak ada satu pun manusia di bumi ini yang ingin diperlakukan dengan kasar. Semua pasti ingin mendapatkan perlakuan yang lembut, penuh dengan kasih sayang. Jika kita juga ingin mendapat perlakuan yang baik, mengapa tidak kita dulu yang mulai untuk berbuat baik?




Tidur…

19:55 0 Comments

“Semalam tidak bisa tidur, dok…”

Kalimat itu sering sekali saya dengar ketika memeriksa pasien di pagi hari. Tidak tua, tidak muda, keluhan ini melanda kebanyakan pasien. Penyebabnya pun bermacam-macam. Ada yang karena kedinginan, kepanasan, keluhan dari penyakitnya sendiri, atau hanya karena terganggu ‘keberisikan’ pasien di sebelahnya. Nada keluhannya juga berbeda-beda, ada yang sedikit ‘kesal’, ada pula yang sangat frustasi. Keluhan dengan nada frustasi di suatu pagi itulah yang menyentil saya hingga menulis catatan ini.

Kalau di rumah, ketika saya atau adik saya tidak juga tidur hingga larut malam, biasanya bapak akan bertanya, “Kok tidak tidur?”. Sekalipun sangat jarang, bukan tidak pernah kami menjawab dengan alasan, “Tidak bisa tidur, Pak”. Kalau muncul jawaban begini, bapak akan berkelakar, “Tidur aja kok ‘nggak bisa’, mbok ya belajar biar ‘bisa’ tidur”.

Kenyataannya, belajar agar bisa tidur itu ternyata tak semudah yang dibayangkan.

Bagi saya yang hobi tidur, mungkin menempelkan kepala di bantal saja sudah bisa membawa ke alam mimpi. Sayangnya, bagi orang lain mungkin butuh perjuangan tersendiri untuk menikmati nyamannya terlelap dengan kepala di bantal. Lucunya, kedua kondisi ini memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.

Bagi orang yang gampang terlelap, dia sering kali menyalahkan keadaan. Misal, dia mengeluh karena ketiduran padahal tugas-tugas masih menumpuk. Dia seharusnya mengikuti kegiatan ini itu, tetapi terhambat karena mengantuk atau bahkan jatuh tertidur. Yang dia pikirkan hanyalah rasa mengantuk yang sangat mengganggu dirinya. Lantas dia berpikir betapa enaknya orang yang bisa tidur sedikit.

Sebaliknya, orang yang sulit tidur juga tak jarang mengeluhkan keadaanya. Misalnya seperti yang disampaikan oleh beberapa pasien yang sudah saya ceritakan di atas. Pasien itu mungkin juga beranggapan, alangkah nikmatnya jika bisa tidur dengan nyaman.

Barangkali, inilah contoh rumput tetangga terlihat lebih hijau daripada rumput sendiri. Diri kita yang gampang mengantuk, merasa iri dengan mereka yang tidur sedikit. Sebaliknya, mereka yang sulit tidur juga iri dengan kita yang bisa merasakan nikmatnya tidur panjang. Kenikmatan orang lain terasa lebih indah. Padahal mungkin kita sendiri juga diberikan kenikmatan itu, tapi kurang menyadari.

Dan di keesokan harinya, pasien itu berkata, “Alhamdulillah dok, tadi malam saya sudah bisa tidur”.

Hm…, hanya dari tidur saja sudah diuji rasa kesyukuran kita. Sungguh, nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?


Magic Words

19:24 0 Comments

Apa yang dimaksud dengan magic words? Tentu bukan simsalabim abrakadabra, atau lebih-lebih kun fayakun. Ada yang bilang kata ajaib itu adalah maaf, tolong, dan terima kasih. Di Moewardi, ada sedikit yang berbeda dengan tiga kata ajaib itu.

Pertama, sapa. Ketika bertemu dengan pasien, maka seorang dokter harus mau menyapa pasien tersebut. Coba bayangkan ketika dokter datang lalu langsung sok aksi main tindakan, tanpa menyapa, tanpa permisi. Tentu sangat terkesan tidak sopan. Sapaan yang diberikan kepada pasien secara tidak sadar membuat kita memulai hubungan yang baik dengan pasien. Orang yang menyapa akan terkesan lebih ramah, dan jika orang itu ramah maka orang yang diajak berinteraksi pun akan lebih senang. Ketika orang lebih senang, bisa jadi orang tersebut akan lebih kooperatif untuk diajak berinteraksi.

Sapaan juga menjadi bentuk apresiasi kita kepada orang lain. Ketika kita menyapa orang lain, artinya kita menganggap orang itu ada. Kita tidak bersikap acuh dan tak peduli dengan keberadaan orang tersebut. Maka, dengan dimulai dari sapaan itulah kita diharapkan dapat lebih memanusiakan manusia.

Kedua, maaf. Ada yang bilang jangan terlalu mengumbar kata maaf jika kita tak salah. Tapi, kata maaf dalam konteks ini berbeda. Maaf di sini memiliki arti bahwa kita meminta izin kepada pasien. Misal, seorang dokter akan mengecek tekanan darah pasien. Maka, dia akan lebih baik jika mengatakan, “Maaf bu, bisa diulurkan tangannya untuk diperiksa tekanan darahnya?”. Makna tersirat pertama, jelas kita memohon izin pada pasien. Makna berikutnya, boleh jadi kita memang melakukan ‘kesalahan’ kepada pasien, missal pasien merasa sakit karena kita harus menyuntik dan sebagainya. Artinya, memang tidak ada salahnya jika ketika meminta maaf sejak semula.

Yang terakhir adalah kata terima kasih. Ucapan terima kasih lagi-lagi sebagi bentuk penghargaan kita kepada orang lain. Barangkali pasien itu memang tidak memberi kita barang atau sesuatu yang berharga sekalipun. Tapi, sekedar pemberian izin bagi kita untuk melakukan tindakan ataupun pemeriksaan bukankah juga suatu pemberian yang berharga? Jadi, tak ada salahnya jika mengucapkan terima kasih dengan apapun yang telah mereka berikan.

Yup, dengan tiga kata ajaib itu, mungkin memang akan ada keajaiban yang terjadi. Pasien akan lebih rela untuk diperiksa, kita pun lebih nyaman untuk melakukan tindakan. Tiga kata yang mudah, tapi sangat bisa mengubah. Jika bisa membuat keajaiban itu, mengapa tidak?