Follow Us @soratemplates

Saturday, 11 May 2024

Emosi Pedagang Keliling

20:52 0 Comments



Kak A demam. Salah satu mitigasi agar dia tetap mau makan adalah menawarkan mau makan apa. Sudah bisa diduga, salah satu daftar menu requestnya adalah steak milik keluarga teman suami. 

Ketika kami sedang menikmati menu makanan yang kami pesan, seorang pemuda masuk ke dalam rumah makan. Dia menghampiri bagian kasir yang tak lain dan tak bukan adalah pemilik rumah makan ini. Dia meminta izin untuk diperbolehkan menawarkan barang yang dia bawa kepada pengunjung yang datang. Pemilik rumah makan pun membolehkan.

Maka pemuda itu menghampiri meja pelanggan yang paling dekat dengan kasir. Saya mengamatinya. Pemuda itu membawa sebuah kotak plastik berisi makanan yang dia angkat dengan kedua tangannya. Dia bertanya kepada pelanggan apakah mau membeli dagangannya dan dibalas dengan gelengan kepala. Beberapa meja dilalui dan mendapat reaksi serupa. Hingga akhirnya dia mendekat ke meja kami.

Suaranya lirih, entah antara ragu atau sudah menduga akan mendapat jawaban yang sama dengan meja-meja sebelumnya. Dan memang sesuai prediksinya, suami spontan berkata tidak sambil menggelengkan kepala.

Saya mencoba melirik ke kotak yang diusungnya, "Jualan apa?" tanya saya pada suami karena posisi saya memang di ujung meja. Tak terlihat dia membawa dagangan apa, pun tak terdengar dia menjajakan apa.

"Pisang coklat," jawab suami, "Mami tu yang mau." Seolah sudah bisa menebak bahwa saya pasti akan berbinar jika tahu dia jualan pisang coklat. Maka, buru-buru saya membuka dompet, mengambil uang pecahan dan memanggil si pemuda tadi. Kami membeli tiga buah dengan dalih untuk tiga anak, padahal ujung-ujungnya juga bakal saya yang makan semua.

Pisang coklat itu biasa saja sebenarnya. Untuk ukuran kecil dengan harga dua ribu rupiah mungkin standar saja. Bentuknya pun tidak bisa dibilang profesional. Ada satu dari piscok itu justru yang dilipat dengan kurang sempurna. Bentuknya tak jauh beda dengan hasil uji coba saya dan Kak A beberapa waktu lalu saat iseng membuat pisang karamel sendiri di rumah. 

Tapi, case penjual begini memberi nilai berbeda bagi saya. Ada faktor emosi yang dihadirkan penjual agar pembeli mau membeli dagangannya. Emosi yang pertama mungkin iba. Melihat tampangnya yang masih muda, bisa jadi dia adalah mahasiswa rantau yang mencari tambahan uang saku dengan coba-coba membuka usaha. Maka karena unsur kasihan itulah akan ada pembeli yang rela merogok kocek barang dua atau empat ribu rupiah.

Rasa iba juga bisa muncul melihat effort si penjual. Bagaimana malam-malam membawa kotak makanan yang masih terisi lumayan dan harus berjalan menjajakan keliling dari satu rumah ke rumah makan atau menawarkan pada siapapun yang ditemukan di jalan.

Di sini, pembeli menggunakan asas membantu penjual agar dagangannya laku. Dengan begitu penjual tak perlu berjalan jauh. Boleh jadi malah si pembeli akan meniatkan untuk sedekah, karena ada yang beranggapan bahwa salah satu cara membantu orang yang membutuhkan adalah dengan membeli barang dagangannya.

Emosi kedua yang dibangkitkan bisa jadi justru bertolak belakang dari iba. Penjual bisa saja justru membangkitkan emosi bangga atas usahanya. Maka pembeli akan melihat bahwa penjual adalah sosok yang tangguh, pantang menyerah dengan segala ide-ide kreasinya.

Di sini pembeli akan menggunakan asas apresiasi. Dia membeli barang dagangan mungkin tidak karena benar-benar mau, tapi justru karena merasa harus mendukung dan mengapresiasi apa yang sudah diusahakan oleh si penjual.

Terlepas dari itu sebagai pembeli tetap saja perlu menjaga emosi dalam bertransaksi. Terbawa emosi ketika berurusan dengan keuangan tak selamanya baik. Maka, selagi itu aman, lakukan saja, entah karena membantu atau mengapresiasi.