Follow Us @soratemplates

Thursday 17 September 2020

Menular

22:23 0 Comments
komunikasi produktif



Alhamdulillah tantangan hari terakhir usai. Tak ada yang spesial hari ini. Komunikasi produktif berjalan seperti biasa. Terlebih karena saya masih menemani suami mengikuti seminar. Jadilah kuantitas untuk membersamai anak-anak memang masih minimal seperti kemarin.


Ada yang menarik yang saya amati selama lima belas hari tantangan ini. Ternyata apa yang saya lakukan pada anak-anak itu mereka resapi dan mereka tirukan. Terutama tentu saja ditirukan Kakak A.


Seperti tadi pagi misalnya ketika Adik Z cuci tangan berkali-kali. Kakak A ikut-ikutan berkomentar, "Satu kali lagi trus udah ya," persis seperti poin komunikasi produktif yang saya lakukan di awal-awal tantangan dulu.


Begitu juga ketika Adik Z rewel ingin mobil-mobilan yang dipegang Kakak A. Bisa-bisanya Kakak A menanggapi dengan berkata, "Bilang dulu, Kak pinjam mobil." Walaupun tetap saja si adik sudah terlanjur menangis dan akhirnya benar-benar mengatakan pinjam. Barulah Kakak A memberikan mobilnya.


MasyaaAllah tabaarakallah... Mudah-mudahan tantangan komunikasi produktif ini tidak hanya berdampak pada saya, tetapi juga berdampak pada pola komunikasi anak-anak, suami, dan siapapun juga. InsyaAllah



Wednesday 16 September 2020

Waktu Berkualitas

22:37 0 Comments



Qadarullah hari ini saya mendadak diajak suami mengikuti seminar, menggantikan timnya yang tiba-tiba berhalangan hadir. Full dari pagi sampai sore, langsung lanjut praktik hingga ba'da Isya. MasyaAllah... meninggalkan anak-anak dalam rentang waktu yang begitu lama bisa dibilang luar biasa. Jarang-jarang saya melakukan hal itu.


Sejak pagi sebelum berangkat saya sudah membriefing Kakak A dan Adik Z kalau saya akan pulang malam. Lengkap dengan pesan-pesan dan afirmasi tentunya seperti tidak boleh rewel, tunggu di rumah, dll.


Ketika pulang, MasyaaAllah saya merasakan energi yang berbeda. Saya kira mereka sudah terlelap, ternyata tidak. Mereka menunggu saya pulang. Sekian jam tidak bersama mereka membuat saya mengambi sikap yang berbeda.


Menit-menit terakhir sebelum mereka tidur menjadi pillow talk hangat malam ini. Kakak A menunjukan hasil gambarnya, Adik Z minta dibacakan buku, dll. Padahal saya membayangkan diri saya lelah, tetapi ternyata tidak. Saya justru bisa berkomunikasi produktif malam ini.


Dari sini saya belajar bahwa tidak butuh banyak kuantitas sebenarnya untuk mempraktikkan komunikasi yang produktif. Waktu sempit tapi berkualitas tentu lebih memberi kesan dibandingkan banyak waktu tapi tak berbekas. Semoga saja waktu-waktu berikutnya menjadi lebih baik dari segi kuantitas sekaligus kualitas. Aamiin...


Tuesday 15 September 2020

Pinter Ya, Mi?

17:07 0 Comments



Sudah beberapa hari melakukan komunikasi produktif, siang tadi saya baru menyadari poin bahasa cinta Kakak A. Saya pikir Kakak A memiliki bahasa cinta sentuhan fisik karena sering dipeluk Papinya. Ternyata dia berespon luar biasa ketika tadi saya memberikan kata-kata afirmasi padanya.


Tadi siang di sesi murojaah seperti biasa, saya iseng memancing hafalan Kakak A. MasyaAllah..., ternyata dia sudah bisa. Refleks saya berkata, "Pinter kak." Dia pun tersenyum lebar.


Begitu menyambung ayat berikutnya dan saya kembali berkata, "Wah ternyata Kak Abrar bisa," Dia makin tertawa senang. Saat sesi murojaah selesai, Kakak A bertanya pada saya, "Kak Abrar pinter ya, Mi?"


MasyaaAllah... berasa sesuatu sekali dia mendapat pujian pintar. Mungkin karena saya jarang memuji begitu. Mungkin karena tidak sesuai dengan poin komunikasi produktif untuk tidak asal memuji tetapi harus memuji dengan alasan yang jelas.


Tapi dari moment tadi saya menangkap satu hal bahwa boleh jadi Kakak A memang lebih dominan bahasa cinta kata-kata afirmasi. Kalau diingat-ingat sepertinya memang begitu karena Kakak A sering sekali mematut diri lalu bertanya, "Keren ga Mi?" atau ketika dia selesai menggambar dan menunjukkan hasilnya lantas bertanya, "Lihat, Mi. Bagus ga?"


MasyaAllah... Ini menjadi tantangan baru untuk saya agar bisa makin sering memberikan afirmasi positif pada Kakak A, dengan cara yang benar tentunya. Semoga ini bisa menguatkan rasa kepercayaan dirinya dan mengisi tangki cintanya. Bismillah.... 

Monday 14 September 2020

Dengar Baru Bicara

23:02 0 Comments



Tadi siang saya hampir terpancing emosi dengan ulah Kakak A dan Adik Z. Sepulang saya kerja, Adik Z terlihat capek dan mengantuk sekali. Buru-buru saya sholat dhuhur dulu sebelum nanti menemani tidur. Tapi, ketika saya masih sholat, ternyata Adik Z sudah tidur di lantai ruang tamu.

Tak berapa lama entah ada apa Kakak A menghampiri dan Adik Z pun terbangun menangis merasa tidurnya terganggu. Begitu selesai sholat, saya langsung menghardik Kakak A.

"Kenapa Adik diganggu? Kalau tidur ya biarin aja." blablabla... Jujur nada bicara saya agak tinggi waktu itu, meski berusaha betul saya tahan dan tidak sampai ngomel panjang lebar.

Ketika saya akhirnya menemani Adik untuk kembali tidur, baru Kakak A menjawab, "Tangan sama kakinya Adik kan kotor. Dibersihkan dulu kalau mau tidur."

MasyaaAllah... Teryata dia mengambil baskom kecil lalu membasahi tangan Adiknya waktu tidur di lantai tadi. Niatnya baik, sayangnya tentu saja Adik jadi terganggu tidurnya.

Adik Z yang waktu itu belum benar-benar tertidur akhirnya saya beri tahu, "Tangan sama kakinya dibersihkan dulu ya. Biar tidurnya enak, bersih."

Kakak A pun segera membawa baskom kecilnya dan meminta saya yang membersihkan tangan dan kaki Adik Z. 

MasyaaAllah Tabaarakallah... memang kadang kita perlu mengerem apa yang ingin kita omongkan. Sesuai poin komunikasi produktif, banyaklah mendengar sebelum berbicara. Hari ini saya diingatkan untuk mendengar dulu apa yang dimaksudkan Kakak A sebelum hanya menjudge bahwa dia mengganggu tidur adiknya. 

Maaf ya, Kak ....

Sunday 13 September 2020

Mi, Hape...

22:46 0 Comments



Salah satu tantangan yang saya uji coba di komunikasi produktif ini adalah tentang manajemen gadget pada anak. Alhamdulillah sejak sepuluh hari tantangan berjalan, Adik Z sama sekali tidak merengek-rengek minta HP. Kakak A juga bisa terkondisikan karena memang sebagai reward jika dia mau murojaah. Tapi, memasuki hari ke sebelas ini ternyata gagal.

Awalmulanya karena suami meletakkan handphone sembarangan di meja yang terjangkau anak. Padahal biasanya tidak di situ. Pun HP saya sudah aman disimpan. Karena terlihat oleh mata Adik Z, jadilah dia menangis meminta lihat HP. Kakaknya ikut-ikutan menambahi mau melihat juga.

Secara emosional saya agak masa bodoh waktu itu. Agak kesal sih karena suami seenaknya naruh HP. Tapi syukurnya tidak ikut terbawa emosi.

Di kesempatan itu saya memakai poin komunikasi produktif untuk fokus pada solusi. Saya berkata pada anak-anak, "Itu kan HP-nya Papi. Kalau mau lihat ya pinjam dulu sama Papi. Harus izin Papi dulu boleh apa nggak."

Saya ulang-ulang berkata begitu, di sela-sela rengekan mereka berdua. Ketika suami selesai mandi sore dan anak-anak benar-benar bilang ke Papinya, eh suami membolehkan karena daripada rewel. 

Hm..., di bagian ini saya agak zonk sebenarnya. Harusnya target-target misi tertentu saya bicarakan dulu sama suami, biar bisa sefrekuensi. Tapi karena sudah terlanjur ya mau gimana lagi.

Untungnya suami bilang, "Boleh, tapi kalau udah adzan Magrib harus dikembalikan." Kebetulan sekali tadi memang sudah menjelang Magrib. Jadi belum terlalu lama mereka menonton video di youtube, adzan pun terdengar. Alhamdulillah saat suami meminta HP-nya, anak-anak mau memberikan tanpa protes.

Setidaknya di poin ini mereka bisa belajar tentang meminta izin untuk meminjam barang pada yang punya. Mereka juga belajar tentang kesepakatan dan konsekuensi. Cukup melegakan karena Kakak A dan Adik Z bisa di poin ini. Meski ada PR bagi saya untuk membuat kesepakatan agar sefrekuensi dengan suami. Bismillah

Saturday 12 September 2020

No Kode-kodean

18:42 0 Comments



Salah satu tips komunikasi produktif dengan pasangan adalah dengan menyampaikan langsung apa yang diinginkan tanpa pakai kode-kodean. Masalah klasik sih, tapi sering sekali terjadi. Bahkan pada diri saya sendiri.

Mungkin karena sifat sering tidak enak hati jadinya kadang apa yang saya inginkan sering saya pendam sendiri. Termasuk pada suami. Sekedar memberi kode pun jarang-jarang saya lakukan. Untungnya, suami tipe orang yang peka. Begitu istrinya memberi kode sedikit saja, beliau langsung tanggap apa yang dimau istrinya.

Tapi kali ini saya mau mencoba untuk bilang langsung, tanpa perlu sungkan, tanpa perlu kode-kodean. Tentang apa? Tentang ngajak makan di luar.

Kebetulan hari ini saya sedang tidak selera makan. Bumer masak bakso, yang entah kenapa sudah bosan karena sering sekali dimasakkan itu. Saya maklum sih karena anak-anak memang sangat doyan bakso, kalau menunya itu bisa makan berkali-kali. Cuma yang dewasa ini yang kadang sudah tidak selera.

Jadi sepulang dari praktik sore ini, saya mau mengajak suami mampir cari makan. Itung-itung malam mingguan kan. Hehe...

Tanpa basa-basi, saya bilang langsung, "Nanti pulang mampir makan yuk, Pi."
Suami pun mengiyakan tanpa basa-basi. "Bosen bakso lagi soalnya," sambung saya. Ternyata suami menjawab, "Wah, sama."

Haha... Kadang kala kami punya pemikiran yang sama. Seringnya ketika saya pingin A ternyata suami juga. Sudah berkali-kali terjadi begitu. Perkaranya hanyalah keinginan itu kadang hanya dibatin oleh kami sendiri. Jadi, mulai sekarang ayo sampaikan, ayo wujudkan keinginan. :)



Friday 11 September 2020

Empati Menghapus BLAST

22:52 0 Comments



Saya pernah mendapat sebuah teori, katanya ada kondisi yang sangat mempengaruhi kestabilan psikologis. Biasanya disingkat dengan BLAST yaitu bored, lonely , angry-afraid, stress, tired. Sayangmya hari ini saya mengalaminya.

Tadi pagi di klinik saya sudah menghela napas. Perawat sampai bertanya, "Kenapa, Dok?" dan saya menjawab, "Ga papa mb, baru banyak kerjaan aja"

Nah, karena lelah itulah, saat di rumah saya hampir terpancing emosi. Nada bicara saya tertahan waktu berselisih pendapat dengan Kakak A antara murotal dulu atau hape dulu. Saya tau betul kalau saya sedang marah tadi. Untungnya saya sadar, dan buru-buru mengerem sebelum kelepasan bernada tinggi.

Ternyata kejadian lagi. Saat mandi sore, Kakak A dan Adik Z tidak mau segera keluar. Sudah saya minta dengan cara baik, tidak diperhatikan. Padahal kemarin-kemarin sejak tantangan berapa hari yang lalu, urusan mandi sudah tidak jadi soal. Sampai akhirnya saya memakai jurus pamungkas barulah mereka mau keluar.

Ketika akan berangkat praktik sore, saya merasa capek sekali. Terlebih ketika biasanya saya sempat tidur siang walau sejenak saat menemani Adik Z, hari ini tadi sama sekali tidak tidur. Saya sempat khawatir, gimana nanti kalau saat ketemu pasien saya sudah terlanjur badmood duluan.

Alhamdulillah... tidak. Pasien yang datang silih berganti itu justru menghilangkan BLAST saya sejenak. Rasa itu baru kembali muncul malam ini, ketika semua pekerjaan hari ini sudah usai.

Apa yang saya lakukan hingga BLAST itu sempat hilang? Empati, di situ teknik komunikasi produktif kali ini. 

Khusus hari Jum'at saya memang tidak memasang tarif bagi para pasien yang datang. Rata-rata mereka yang datang memang orang-orang yang membutuhkan. Dan karena mereka butuh itulah, secara tidak sadar muncul rasa empati dalam diri. Rasa itupun menjadi modal awal untuk tetap bisa berkomunikasi baik dengan pasien, terlepas dari betapa lelah dan mengantuknya saya.

Dari situ saya merefleksi juga, kenapa saya tidak menerapkan rasa empati itu pada orang-orang terdekat saya? Kenapa saya tidak menunjukkan rasa empati pada anak-anak yang juga butuh saya?

Baiklah, hari ini saya belajar satu poin ini bahwa bagaimana agar bisa bernada baik harus dimuli dari perasaan yang baik. Konsepnya baru direfleksikan hari ini, insyaAllah besok diujicobakan lagi.


Thursday 10 September 2020

MasyaAllah... Keren

22:32 0 Comments



Hari ini luar biasa. Sejak pagi Kakak A dan Adik Z sudah 'rame'. Awalnya karena saya butuh cek hape, jadilah mereka terpancing. Alhamdulillah bisa segera dikondisikan sehingga masih tetap on the track manajemen gadget buat mereka.


Tragedi kedua terjadi ketika Kakak A ingin mengajak Adik Z main di kamar kos kosong. Si adik tidak mau, dia lebih memilih main pasir. Jadilah ramai lagi karena kakaknya ingin ngajak main bareng. Suasana makin tambah rame ketika bumer pun menimpali suara tangis mereka dengan nada tinggi.


Saya yang saat itu baru mandi untungnya masih bisa mengendalikan diri. Teori truk sampah beberapa waktu lalu masih terpegang, saya tersenyum saja di bawah guyuran air mendengar suara bumer di luar sana. Plus suasana melankolis seharian kemarin masih membekas di hati. Ajaibnya saya menikmati keramaian Kakak A dan Adik Z kali ini. 


Selepas mandi, kondisi saya ambil alih. Keduanya saya ajak ke kamar dan terkuasai. Tapi saya memilih jeda terlebih dahulu alih-alih memberi insight pada mereka.


Ketika akan berangkat, barulah saya mengambil moment. Saya bilang pada Kakak A, "Adik jangan dibuat nangis, ya. Kan Mami mau berangkat kerja. Nanti kalau adik nangis gimana dong, ga bisa nen."


Kakak A sepertinya menangkap. Dia menimpali sambil berkata, "Adik nanti jangan nangis ya!" 


Sepulang kerja, saya menyapa mereka dan bertanya, "Adik tadi nangis ndak?" 

Adik Z pun menjawab, "Ndak"

"MasyaAllah... keren sekali. Mami suka kalau Dek Zabran ga nangis gitu. Keren!" kata saya dengan nada antusias.

"Kak Abrar tadi ga bikin adik nangis ya?" tanya saya ke Kakak A.

"Ndak!" jawab Kakak A cepat.

"Trus, Kak Abrar ngapain sama Adik?"

"Ya mainan bareng-bareng sama Dek Zabran"

"MasyaAllah.. Kak Abrar juga keren. Itu keren banget lho Kak main bareng sama adik ga ada yang nangis." Saya menimpali dengan lebih antusias.

"Besok main bareng-bareng lagi ya. Ga boleh nangis-nangis semua. Adik pinter ga nangis. Kak Abrar juga pinter ga bikin adik nangis."


Mereka pun diam saja. Saya tidak tahu apakah komunikasi produktif kali ini akan efektif atau tidak. Tapi setidaknya saya sudah menapakkan langkah pertama untuk pencegahan tantrum keduanya.


Setidaknya saya merasa bahwa hari ini saya menang dengan tetap tersenyum menghadapi situasi yang cukup panas tadi pagi. Pun saya bisa tetap bernada baik dan intonasi ramah ketika menghadapi mereka. Konsep jeda terealisasi. Poin fokus pada solusi juga tercapai dibandingkan hanya berfokus pada masalah. Termasuk juga tips memberikan pujian dari sesuatu yang disukai dan fokus pada masa depan agar lebih baik lagi.


MasyaAllah... Alhamdulillah... Hari ini benar-benar keren.....

Wednesday 9 September 2020

Selagi Masih Ada Waktu

22:23 2 Comments



Tadi pagi ada berita mengejutkan di sebuah grup WA. Terjadi kecelakaan beruntun di tol sekitar Teras Boyolali. Mobil terbakar, beberapa korban meninggal dunia. Yang lebih mengejutkan adalah, mobil sedan yang terbakar itu adalah mobil rekan di grup tersebut. Putra pertamanya yang berusia 5 tahun meninggal dunia.


Innalillahi wainna ilaihi roji'un

Mendengar berita itu seakan-akan ada yang berdesir di hati. Anak yang 40 menit sebelumnya masih bercanda ikut sang ayah diajak bertemu di selasar masjid, ternyata berpulang begitu saja. Rekan komunitas yang malam itu bertemu pun tak menyangka.


Berita itu membuat saya tercenung. Usia anak pertamanya hampir sama dengan Kakak A. Saya membayangkan kesedihannya, tetapi ketika rekan komunitas mengabarkan ternyata rekan saya tidak merasa 'sedih'. Dia menganggap bahwa anak yang belum baligh itu sebagai tabungan kelak di akhirat. Dia melihat sisi positif dan kepulangan putranya.

MasyaaAllah... 
Saya lalu tersadar. Ya, usia memang tidak ada yang tahu. Tapi justru karena tidak tahu itulah maka hendaknya kita berjaga-jaga dan mempersiapkannya. 

Mendadak saya menjadi merasakan detik demi detik waktu yang saya lalui dengan Kakak A dan Adik Z hari ini terasa begitu berharga. Alhamdulillah tak ada perseteruan, nada komunikasi saya datar dan tenang. Senyuman di kulum bisa dipertahankan seharian. 

Tak ada poin khusus aha moment hari ini. Sepanjang hari ini saya menganggapnya sebagai moment untuk berkomunikasi produktif. Selagi masih ada waktu. Selagi masih ada kesempatan mengukir kenangan indah bersama mereka. 

Tuesday 8 September 2020

Maaf dengan Cinta

22:12 0 Comments



Seperti biasa, sore ini suami menemani saya untuk praktik sore. Seperti biasa pula, saya selalu membawakan baju ganti dan bekal untuk camilan di tempat praktik. Kebetulan baju ganti yang saya bawakan adalah baju koko warna putih, sekalian buat ke masjid. Camilan sore ini ada roti, tahu bacem, dan pisang. Waktu akan berangkat, bumer menambahi, "Jenang sumsumnya dibawa sekalian." Beuh..., banyak. Semua saya  jadikan satu dan dimasukkan di tas jinjing, seperti biasa.

Sejak semula saya sudah was-was. Duh, ini nanti jenang sumsumnya tumpah ga ya. Bakal numpahin baju ga ya. Maklum, jenangnya cuma dibungkus kertas, khawatir aja kalau rembes dan mengenai baju.

Begitu sampai di tempat praktik, saya keluarkan satu persatu. Yang pertama saya cek adalah jenang sumsum. Kering. Yeiy, aman. Alhamdulillah, berarti tidak tumpah. Tapi ...., ketika semua barang sudah dikeluarkan dari tas...., oh my god, ternyata ujung pisang yang sudah sangat matang itu menempel di baju. Dan .... menyisakan noda. Oh, no!

Saya buru-buru mengelapnya. Tidak bisa! Nodanya terlanjur nempel. Mana baju kokonya dalam kondisi terlipat, jadi ujung lipatan pun justru membuat noda itu ada di beberapa titik.

Suami yang melihat itu langsung berkomentar, "Ya udah, berarti ga ke masjid."

Saya tau itu bukan ya udah pemakluman, tapi ya udah karena kesal apa boleh buat. Suami tipikal yang tidak mau ke masjid cuma pakai kaos. Jadi kalau tidak ada baju koko, masa mau ke masjid pakai kaos harian.

Tahu reaksi suami begitu, saya buru-buru mengambil tisu dan air. Saya lap, tetap saja belum berkurang. Tak kurang akal, saya ambil sedikit sabun cuci tangan di wastafel, saya berikan di bagian noda dan saya kucek sedikit. Agak berkurang karena basah tepatnya, tapi suami sudah tidak menggubris.

Ya sudah, biarkan saja. Begitu adzan magrib tiba, saya lihat lagi baju koko yang saya biarkan tergeletak di tempat tidur.

"Ga telalu kelihatan kok," kata saya.
Suami pun melirik, "Ya udah ga papa." Akhirnya dipakai juga baju kokonya.

Then? Sudah? 
Belum...
Saya teringat poin komunikasi produkif tentang mengutamakan bahasa cinta. Sepertinya, ini bisa saya coba kali ini. Bagi suami, bahasa cinta yang dominan adalah sentuhan fisik. Jadi, selepas magrib saya penuhi dulu tangki cintanya dengan memberikan bahasa cinta. Itung-itung sebagai wujud permohonan maaf saya.

Alhamdulillah...., luluh. Haha...
Memang sepele sih sebenarnya. Tapi ketika ada rasa kecewa, tentu tidak nyaman di hati kan. Dengan saling mengisi tangki cinta, komunikasi pun menjadi cair dan hangat kembali.




Monday 7 September 2020

Mulai Dari Diri Sendiri

17:47 0 Comments



Sejujurnya, saya agak maju mundur untuk menjadikan ini sebagai tantangan komunikasi produktif saya hari ini. Tentang apa? Tentang interaksi saya dengan mertua.


Sebenarnya saya tidak ada masalah dengan mertua. Tapi mungkin karena terbawa omongan orang di luar sana kalau hubungan menantu mertua itu luar biasa, agaknya saya jadi agak terpengaruh juga.


Sejak awal menikah, saya memang tinggal bersama mertua. Kedua kakak ipar saya sering berpesan, "Yang sabar ya..." Kadang saya merasa wejangan mereka itu berlebihan. Ah, saya biasa-biasa saja kok, dan tidak ada masalah.


Tapi, yang namanya wanita kadangkala memang sering terbawa suasana. Terlebih kondisi ibu mertua saya yang sudah tidak lagi muda, kondisinya memang perlu sangat dimaklumi. Sayangnya, keadaan saya yang mungkin tidak stabil yang kadang kurang tepat saja.


Ini ada kaitannya dengan teori truk sampah yang saya tulis kemarin. Yah, saya tidak akan menjadi pemungut sampah di hadapan mertua saya. Entah apapun yang beliau lakukan, saya tak akan memungutnya dan memasukkan ke dalam hati.


Lalu apa yang saya lakukan? Saya tersenyum. Ya, sebatas itu. Saya memakai poin komuniasi produktif memperbaiki gesture dan nada bicara. 


Ketika tadi pagi beliau mengomentari beberapa hal, alih-alih menghela nafas, saya mengambil sikap tersenyum. Ya, hanya tersenyum tanpa membuka mulut saya untuk menimpali. Saya juga mengawali dengan senyuman terlebih dahulu sebelum mulai berkata-kata, sekalipun itu hanya sekedar berpamitan akan berangkat kerja. Dengan senyuman itu, secara tidak sadar nada bicara saya pun berubah juga.


Dampaknya? Tadi siang ketika saya sedang makan, beliau menghampiri saya sambil berkata, "Pisangnya dimakan. Yang lain udah dikasih. Itu dimakan aja." Nadanya tenang, bahkan seakan setengah berbisik. Berbeda dengan biasanya yang kadang terkesan sebagai perintah.


MasyaAllah... Dari sini saya belajar bahwa apapun itu mulai saja dari diri sendiri. Barangkali perubahan yang kita lakukan bisa memberikan dampak perubahan bagi orang lain.


Apakah ini cukup? Tentu saja tidak. Ini baru permulaan. Saya masih harus terus membiasakan agar hati selali merasa nyaman. Barangkali dengan begitu, saya yang introvert ini lain waktu bisa bebas bercerita-cerita dengan beliau. Semoga...




⭐⭐⭐