Follow Us @soratemplates

Saturday 18 December 2021

Kode dari Allah

20:59 0 Comments



Pernah ga kamu merasa berada di sebuah fase kehidupan, ketika semua terasa serba sulit namun tetap saja ada kemudahan? Rasanya sudah mau nangis-nangis, tapi ternyata adaaa aja jalan dan bisa kesampaian. Ketika berada di titik finish itu lantas kamu amaze sendiri dengan fase yang sudah kamu lalui. Lho, ternyata sudah kelewat ya masa-masa sulit tadi. Pernah?


Misalnya ketika kamu sedang mengikuti sebuah kelas. Mungkin kamu sudah mau melambaikan bendera putih. Di pelupuk mata ini yang terbayang hanya tentang beratnya, lalu seolah merasa diri tidak mampu. Eh ternyata di tengah jalan ada banyak keringanan. Kita mendapat banyak kelonggaran tanpa pernah terduga sebelumnya, dan ternyata kita beneran bisa sampai lulus kelasnya. 


Di fase kelulusan itu, berasa Allah mau ngasih tahu: jangan menyerah dulu, ini ada banyak rukhsoh buat kamu karena kamu sejatinya layak untuk lulus di kelas itu.


Atau case lain, ketika kamu mengikuti sebuah komunitas atau suatu program. Namun seiring dengan berbagai kesibukan dan fase hidup berikutnya, di tengah jalan kamu mulai tertatih dengan ritme komunitas itu. Rasanya seperti sudah tidak seiring sejalan, seolah sudah ingin say good bye dan melambaikan tangan. Tapi tiba-tiba kamu seperti diberi ruang untuk mengambil jeda. Lalu diberi keleluasaan untuk balik kapan saja. Dan pas balik, seolah tidak ada yang berubah dengan dirimu atau komunitasmu. Kamu tetap familiar dan bisa kembali membersamai ritmenya.


Rasanya seperti ditunjukkan jalan sama Allah: Ini memang wadah yang pas buat kamu, dan memang kamu sengaja Aku tempatkan di sini, maka jangan coba-coba melarikan diri.


Ah, Allah itu sejatinya pasti sudah banyak memberi kode. Hanya kita saja yang mungkin kurang peka dengan maksud Allah dari setiap skenario yang diberikan pada kita. Kenapa Allah menggerakan hati kita untuk terus bertahan hingga kelulusan kelas. Kenapa Allah membuat kita terjun dan menetap di sebuah komunitas. Semuanya jelas ada campur tangan Allah untuk memberikan kita makna. Simpelnya, Allah tahu yang terbaik buat kita dan membuat kita tetap berada di jalan terbaik itu. 


Misal terkadang kita ingin memulai bisnis di bidang A. Kita sudah mempunya konsep, sudah membuat sistemnya, sudah tersedia semua tetek bengek bisnis itu. Tapi ternyata ketika sudah jalan, bisnis itu berjalan begitu-begitu saja. Bukan karena tidak mau berusaha, atau tidak mau mengembangkan bisnis untuk menemukan solusi, tetapi karena memang jatahnya cukup segitu saja.


Lalu di waktu yang bersamaan itu, tiba-tiba dengan sendirinya kita mendapat tawaran bisnis B tanpa pernah kita duga sebelumnya. Bahkan mungkin membayangkan akan berbisnis B pun tidak pernah ada dalam rencana hidup kita. Tapi ketika akhirnya kita mencoba mencicipi bisnis itu, ternyata seolah dibukakan pintu kemudahan satu demi satu. Rasanya semacam dituntun sama Allah dan ditunjukkan "ini lho ladang usaha yang tepat buatmu".


Kalau kata coach saya, pertajam lagi mata hati. Ada banyak kesempatan yang mungkin memang sudah Allah tunjukkan pada kita. Hanya saja apakah kita bisa menangkapnya sebagai peluang atau membuatnya berlalu dan menjadi sia-sia belaka.


Kalau kata ust harry rahimahullah, perbanyak lagi tazkiyatun nafs-nya. Karena hanya dengan hati yang suci kita bisa menangkap sinyal-sinyal Illahi. Nanti dengan sendirinya kita akan paham, mana jalan yang paling diridhai oleh Allah SWT. Sebuah jalan yang seolah mestakung alias semesta mendukung karena segalanya memberikan kemudahan demi kemudahan.


Apakah jalan itu ada? Ada, insya allah.


Friday 17 December 2021

Hanya Pembantu

20:43 0 Comments



"Rewangku pulang". Rangkaian kata itu terngiang sejak beberapa hari yang lalu. Dia terlontar lewat direct message instagram dari seorang teman. Awalnya saya sekedar bersimpati, memberikan komentar sekenanya. Tapi kemudian saya justru berkontemplasi.


Bagaimana kiranya jika saya berada pada posisinya? Ketika rewang alias khadimat tiba-tiba minta pulang dan tak ada persiapan untuk mencari orang lain yang akan menggantikan.


Pun seorang teman beberapa bulan lalu juga mengalami kasus serupa. Waktu itu dia meminta tolong untuk mencarikan rewang. Bahkan permintaan tolongnya itu sudah dia sebar ke siapa saja, demi bisa segera mendapat asisten rumah tangga. Yah, tidak bisa dipungkiri kalau menemukan asisten yang awet memang tidak mudah lagi.


Saya jadi teringat dengan pengalaman saya sendiri. Beberapa waktu lalu, saya justru terpikir untuk mencari khadimat. Setelah enam tahun tidak punya asisten, rasanya tahun depan ingin mencari seseorang yang bisa bantu-bantu di rumah. Usulan itu saya sampaikan ke suami, dan langsung ditolak mentah-mentah oleh ibu mertua.


Kami punya sudut pandang berbeda. Bagi saya, kasihan kalau urusan rumah masih harus dikerjakan ibu. Biar bisa istirahat, biar tidak capek, dan yang pasti semua akan menjadi terkendali karena punya fokus pekerjaan sendiri-sendiri. Setidaknya itu yang saya pikirkan.


Namun, berbeda dengan ibu. Bagi ibu justru akan lebih merepotkan. Menjaga agar rewang bisa betah itu membutuhkan effort tersendiri. Tidak gampang mencari lalu mendidik asisten rumah tangga agar awet dalam bekerja. Alih-alih tidak cocok dan justru makan hati, lebih baik dikerjakan sendiri.


Awalnya seperti agak terasa berat, tapi saya kemudian justru teringat kata-kata bapak saat saya masih kecil dulu. Waktu itu, di rumah sedang ada acara. Entahlah saya agak lupa saking seringnya ada acara di rumah, entah pengajian, entah arisan RT, entah arisan RW. Sering. Karena diadakan di malam hari, kadang saya hanya bersembunyi di dalam kamar dengan dalih belajar atau mengerjakan tugas. Tapi di suatu waktu, entah mungkin karena umur saya sudah bukan anak-anak lagi, plus di dapur memang sedang ada kehebohan sendiri, besoknya bapak menegur saya.


"Mbak X itu statusnya di rumah sebagai pembantu"


Ups, ini bukan dalam konteks merendahkan statusnya. Lanjutan kalimat bapak berikutnya justru yang menjadi poin utama.


"Yang namanya pembantu, berarti tugasnya hanya membantu. Artinya, dia tidak mengerjakan tugas utama, tapi dia 'membantu' mengerjakan tugas itu. Sekedar memberikan bantuan saja, bukan menggantikan tugas itu sepenuhnya."


Maksud bapak waktu itu hanyalah agar saya pun ikut menyiapkan keperluan pertemuan malam sebelumnya. Tapi konsep bantu-dibantu itu cukup menarik dan membekas pada saya.


Jika memakai konsep bapak, berarti sebenarnya tanpa 'pembantu' pun sebuah tugas seharusnya bisa terlaksana. Kehadiran pembantu bukan untuk mengalihkan tanggung jawab tugas itu, namun sekedar 'membantu' penyelesaian tugas saja. Artinya, seandainya tidak ada yang membantu, pekerjaan juga tetap akan selesai kan?


Kalau dipikir-pikir, enam tahun ini nyatanya bisa terlewati juga. Mengurusi anak sendiri (dengan ibu mertua tentunya), masih sempat bekerja, dan melakukan aktivitas lainnya seolah menjadi bukti bahwa nyatanya bisa kok seandainya tidak ada pembantu.


Jelas tidak mudah, pun ekspektasi tidak bisa dipasang terlalu tinggi. Tapi menyesuaikan diri dan menjalani semampunya plus se-bahagia-nya menjadi standar yang perlu diatur untuk menjaga kewarasan diri.


Bukan berarti juga yang memiliki rewang adalah keluarga yang lemah, lantas tidak memperkenankan punya asisten rumah tangga. Boleh, tentu saja boleh. Bukankah zaman Rasul pun punya budak, meskipun dalam hal ini budak jelas berbeda dengan pembantu.


Apapun itu, yang terpenting adalah menemukan gaya kita sendiri. Mau dengan asisten atau tanpa asisten, monggo saja.


Wednesday 15 December 2021

Newbie KLIP Lulus....!

21:23 0 Comments

Fyuh, akhirnya menuliskan ini juga

Di hari terakhir mengumpulkan skripsi KLIP, dengan segala rasa nano-nanonya akhirnya tercapai juga. Aliran rasa? Wow, terlalu banyak yang dirasakan.

Ah ya, buat yang baru tahu, KLIP adalah Kelas Literasi Ibu Profesional. Salah satu komponen di Kampung Komunitas Ibu Profesional ini memang menjadi wadah buat para perempuan untuk menulis bersama. Tantangannya adalah kami diminta untuk menulis minimal 10 kali dalam sebulan. Setidaknya sampai setahun minimal ada 120 naskah. Wow, lumayan kan.

Semula saya tertarik karena memang sudah lama tidak dikejar-kejar naskah. Rasa terdesak untuk menorehkan kata setiap hari itu seolah sirna. Demi membuat rasa itu muncul kembali itulah maka saya memilih bergabung dengan KLIP.

Tapi ternyata, yang dirasa jauh dari sekedar ingin menulis saja. Rasa frustasi ketika harapan bisa pecah telur menulis 30 hari dalam sebulan gugur hanya gara-gara ketiduran semalam cukup menohok juga. Dan itu lumayan berdampak membuat mood turun untuk mengejar 30 hari di bulan berikutnya.

Ah, tapi kemudian teringat lagi. Apa tujuanmu? Dan, ya, akhirnya terlalui juga sampai di bulan terakhir ini.

Yang jelas, saya belum merasa puas di tahun pertama ini. Di bulan-bulan terakhir saya baru sadar, sepertinya ada yang kurang dengan naskah curcol saya yang kebanyakan hanya mendekam di google document. Harusnya ada naskah-naskah yang lebih baik yang bisa dibagikan, atau bisa menjadi tunas untuk hasil karya berikutnya.

Hingga akhirnya ketika saya tersadar bahwa ada tugas menuliskan skripsi di akhir tahun, saya pun tertohok. Apa yang akan saya jadikan skripsi dari semua tulisan saya sepanjang tahun ini? Untungnya saya pernah membuat 30 hari bercerita. Untungnya juga saya pernah membuat serial mata lebah. Sekalipun memang belum sempurna dan harus tambal sulam dengan naskah lain demi mencapai syarat minimal, akhirnya jadi juga skripsi ebook sederhana yang saya beri judul 30 Hari Bercerita Mata Lebah.




Skripsi itu hanyalah kumpulan naskah yang menurut saya layak setahun ini. Saya mengambilnya dari instagram dan beberapa dari blog ini. Memang sederhana, dan bukan sebuah karya fenomenal yang sesuai ekspektasi saya sebenarnya.

Yah, tak apa. Setidaknya saya sudah mencoba di tahun pertama ini, dan setidaknya saya tahu apa yang akan saya lakukan untuk tahun berikutnya. 

Bismillah, insya Allah join lagi. Semangat !