Follow Us @soratemplates

Saturday 30 July 2011

Semua Berawal dari Amatir

20:05 0 Comments

Semua orang sepertinya ingin menjadi orang yang memiliki keahlian. Jadi dokter, berharapnya menjadi dokter ahli, dokter spesialis tertentu. Menjadi dosen, inginnya menjadi dosen ahli. Sampai gelar professor barangkali. Tapi, tak dapat dipungkiri kalau kita tidak mungkin benar-benar ahli di semua lini. Bisa tidak ahli dalam arti biasa-biasa saja. Tapi bisa juga tidak ahli dalam arti memang tidak bisa. Tidak memiliki keahlian, tidak memiliki kemampuan. Orang-orang amatir.

Sepertinya sangat hopeless sekali ketika kita mendengar kata-kata amatir. Seperti komentar ini misalnya, “Mereka itu amatir. Bisa apa mereka?” atau sejenisnya. Yup, orang amatir memang serasa dipenuhi dengan sikap pesimis. Kasihan.

Saya merasakannya. Saat itu, satu tim saya dan dua tim lain sedang mempersiapkan keberangkatan ke Jember. Begitu kami berkumpul, perasaan amatir ini serasa muncul. Bagaimana tidak? Lima orang dari kedua tim adalah orang-orang hebat, yang sudah melanglang buana ke mana-mana. Sedangkan saya bertiga, hanyalah manusia amatir yang mulanya sekedar coba-coba.

Perasaan pesimis pun mulai menyergap. Kami hanya berani memasang target simple saja. Tak berani untuk muluk-muluk. Toh, kami amatir. Masih untung seorang amatir seperti kami bisa tampil.

Begitu saya pulang, saya menceritakan perasaan saya pada ibu. Betapa saya sangat amatir dibandingkan teman-teman saya yang sudah begitu expert. Jawaban ibu saya pada saat itu simpel saja, “Orang yang expert juga pernah menjadi amatir.” Hm, saya jadi berpikir ulang karenanya.

Sadar atau tidak, kita semua pada awalnya adalah orang yang amatir. Ketika kita lahir, kita sama sekali tidak memiliki keahlian tertentu. Jangankan ahli, sekedar bisa saja belum tentu. Kita amatir makan. Sama sekali belum bisa mengunyah karena belum memiliki gigi. Kita amatir berjalan, hingga kita jatuh bangun berkali-kali. Kita amatir membaca. Bahkan huruf a sampai z saja tidak tahu apa maknanya.

Tapi, itu dulu. Dulu sekali, ketika kita masih amatir. Dan sekarang kita telah menjadi seorang ahli. Ahli makan, bahkan sampai kekenyangan. Kita ahli berjalan, bahkan berlari pun bisa dilakoni. Kita ahli membaca, mulai mengartikan kata dan memahami makna. Kita seorang ahli.

Semata-mata hanya karena kita membuang jauh rasa pesimis. Barangkali kalau saat kecil dulu kita pesimis ketika tidak bisa menggigit biscuit karena tidak punya gigi, sampai saat ini kita tak akan mungkin bisa merasakan bagaimana renyahnya kerupuk, bagaimana alotnya daging, bagaimana empuknya roti. Tak akan pernah bisa.

Kalau bukan karena kita membuang jauh-jauh rasa pesimis, tentu kita akan memilih duduk saja ketika jatuh pertama kali saaat berlatih berjalan. Tapi kita tidak melakukannya. Kita terus mencoba. Kita terus berusaha. Mencoba mengubah keadaan, dari seorang amatir agar menjadi seorang ahli.

Memang, saat kita kanak-kanak dulu, kita tidak tahu sama sekali apa itu makna optimis dan pesimis. Kita pun tak mengerti kalau kita ini amatir yang ingin menjadi ahli. Tapi itu semua muncul karena naluri semata. Fitroh kita yang memang diberikan oleh Allah agar tidak mudah menyerah dan terus berjuang hingga kita benar-benar ahli.

Jika dulu saja kita tidak paham makna pesimis, amatir, dan tetap berusaha untuk mencoba, mengapa sekarang tidak? Kalau dulu saja bisa, berarti saat ini pun kita insya Allah bisa. Kuncinya hanyalah membuang jauh-jauh rasa pesimis dan memupuk sekuat tenaga sikap optimis. Percaya saja, bahwa Allah akan melihat usaha kita. Dan sang amatir pun kelak akan benar-benar menjadi sang ahli yang luar biasa.

Bisa? Insya Allah, pasti bisa.




Tuesday 26 July 2011

‘Cita-citaku’ atau ‘Pengalaman Berlibur di Rumah Nenek’

23:03 0 Comments

Mungkin teman-teman bertanya-tanya, mengapa judulnya begitu. Apa hubungannya cita-citaku dengan pengalaman berlibur di rumah nenek? Apakah saya sedang menggantungkan cita-cita untuk memiliki pengalaman berlibur ke rumah nenek? Hm…, bukan begitu kawan. Kedua hal tersebut hanyalah sebuah kalimat yang saya temukan saat membaca buku Taufiq Ismail.

Di bagian akhir dari buku itu, Taufiq Ismail memberikan beberapa opininya tentang dunia tulis-menulis. Beliau berkomentar bahwa gairah untuk menulis di Indonesia masih tergolong rendah. Kreativitasnya juga cenderung rendah. Coba saja jika anak SD disuruh untuk membuat karangan, rata-rata akan menulis tentang ‘cita-citaku’ atau ‘pengalaman berlibur ke rumah nenek’. Hm, benar juga.

Awalanya, saya juga tidak menyadai hal tersebut. Tapi begitu membaca opini Taufiq Ismail itu, saya kurang lebih membenarkannya. Sewaktu saya SD, pada hari pertama pasca-libur panjang, kami sering disuruh membuat karangan tentang pengalaman liburan. Dari sini, ada sebuah niat baik untuk membiasakan kami yang masih kecil-kecil untuk belajar menulis. Belajar untuk mengarang melalui pengalaman pribadi kita. Ironisnya, rata-rata dari kami menulis tentang ‘pengalaman berlibur di rumah nenek’. Padahal dari sekian banyak orang, tentunya ada pengalaman yang berbeda-beda kan.

Kalau dirunut lagi, perkara ini tidak menimpa dunia tulis-menulis saja. Dalam menggambar misalnya. Ketika kita disuruh untuk menggambar pemandangan, rata-rata menggambar gunung, dengan sawah, dan jalan. Jarang sekali yang terpikir menggambar pemandangan laut. Padahal, laut juga pemandangan. Begitu juga ketika diminta untuk menggambar bebek. Hampir keseluruhan menggambarnya dimulai dengan angka 2 sehingga paruh bebek menghadap ke kiri. Padahal bisa saja membuat bebek itu menghadap ke kanan, atau cukup menggambar kepala bebek. Ada banyak cara sebenarnya, tapi hanya cara itu yang diulang terus-menurus.

Mungkin ada yang beranggapan, “wajar lah kalau kita meniru, kita kan bukan ahli,” Yup, saya sepakat. Karena ini sesuai dengan teori ‘copy the master’. Mencontoh para ahli sehingga kita jadi memiliki kemampuan yang sama dengan sang ahli, atau lebih bagus lagi kalau bisa melampauinya. Tapi, mau sampai kapan mengcopy? Jurus copy-mengcopy ini juga ada batasnya. Begitu kita tau tekniknya, kita lah yang harus mengembangkan diri kita untuk menjadi master selanjutnya. Tentunya sesuai dengan ciri khas kita, sesuai dengan kreativitas kita.

Yup, kreativitas. Itu kuncinya. Saya rasa bukan perkara menggambar pemandangannya mau seindah apa atau karangannya mau sebagus apa. Tapi lebih membangkitkan kreativitas kita. Mencoba untuk lepas dari contoh yang diberikan sang master, lalu menemukan sendiri ciri khas kita. Itu semua bisa terwujud dengan 1 kunci, kreativitas.

Tapi, tunggu dulu. Kreativitas jangan diartikan sebatas memiliki ide yang segar untuk karyanya. Kreativitas ini bisa diterapkan dalam semua aspek karya kita. Misalkan, kita kreatif mengemas tata letaknya. Seperti dalam sebuah puisi misalnya. Hingga lahirlah puisi-puisi yang menonjolkan keindahan bentuk susunan hurufnya. Atau kreatif di sini bisa jadi hanyalah kreatif dalam mengirimkan karyanya ke media. Yang pada akhirnya, kita dikenal dengan keunikan tertentu karena memiliki memiliki kreativitas tertentu.

So, jangan hanya membatasi kreatif sebagai ide karyanya saja. Tapi kreatiflah untuk menciptakan makna kreatif dalam semua kehidupan kita.




Monday 25 July 2011

Khas!

23:00 0 Comments

Setiap orang itu memiliki ciri khas. Tak ada manusia yang benar-benar sama. Bahkan kembar identik sekalipun. Satu gen saja, pasti ada yang berbeda. Saya menyadari kenyataan itu secara tidak sengaja selama liburan ini. Sebuah ciri khas yang saya pelajari setelah mengamati para pedagang yang lalu lalang di sekitar rumah setiap hari. Untuk bisa membuat dagangannya laku, para pedagang itu memiliki cara yang khas untuk menawarkan. Mungkin karena saya hobi jajan, terlebih keunikan yang mereka miliki, membuat saya teringat betul dengan cara mereka.

Ada yang memanfaatkan volume suaranya. Seperti ibu penjual karak, dengan berkata “Eee…karak buuu…” dengan huruf e panjang, dari nada rendah ke tinggi. Hingga kadang saya dan adik saya usil berkata, “Tuh, mbak eka lewat.” Atau penjual keripik singkong manis yang dengan suara cemprengnya, atau memang sengaja dibuat cempreng, berteriak-teriak “keruipuik...” dengan penyangatan pada suku kata ‘ri’ dan ‘pik’.

Ada juga pedagang yang menghemat energinya. Tanpa harus berteriak-teriak, cukup dengan membunyikan alat-alat yang mereka miliki. Seperti penjual es dong-dong yang cukup membunyikan semacam bonang kecil di sepanjang jalannya. Atau penjual bubur ayam yang mengadu sendok dengan piring sesekali waktu. Ada juga yang menggunakan sebilah bambu kecil, yang diadu dengan bambu lain hingga berbunyi “tik tok tik tok” tanda penjual bakso malang lewat.

Untuk skala besar dan sudah bermerk, masing-masing juga punya cara khas untuk memanggil pelanggannya. Seperti sari roti dengan “sari roti…, roti sari roti”. Jelas berbeda dengan roti karisma yang menggunakan sedikit nada, “tuuulilu lilu liluuut tilu lilu lilu lilut tut tulilulilut…, roti kaaa-risma bakery.” Atau pedagang susu, “susu murniii… nasional…”. Dan masih banyak lagi.

Kalau dipikir-pikir sepertinya itu hal yang sederhana. Asal bisa memberitahukan orang di jalan kalau mereka sedang berjualan barang tertentu. Tapi, cara menawarkan yang berbeda-beda itu ternyata justru menjadi ciri khas dan membawa nilai lebih bagi mereka. Kita jadi lebih mudah ingat barang apa yang mereka jual. Tentunya karena kita mengingat keunikan tersebut.

Seandainya tidak ada keunikan tersendiri, orang-orang tentu akan bingung. Misal saja ada orang yang ingin beli bakso malang. Begitu ada penjual yang lewat dengan bunyi “tik tok tik tok”, dihadang lah penjual itu. Eh, ternyata, penjual itu menjual roti, atau barang lain misalnya. Tentu pembeli akan kecewa.

Peristiwa itu pernah saya alami. Waktu itu saya dan adik ingin beli siomay. Suara penjual siomay adalah menggunakan bel yang terdengar “toet toet”. Sayangnya, suara itu tidak milik penjual siomay semata. Ada penjual bakso kojek atau cilok, ada juga penjual donat dan gembukan, bahkan penjual burger keliling. Waktu ada bunyi toet-toet dari belakang rumah, kami berteriak “Pak, siomay depan ya…”. Ditunggu beberapa saat, penjual siomay tak kunjung tiba. Eh, ternyata itu penjual burger. Pernah juga waktu duduk-duduk di depan rumah. Dari kejauhan terlihat penjual naik sepeda motor dengan gerobak kecil di boncengannya, plus khas bunyi “toet…toet…”. Saya dan adik segera memanggil. Kehendak hati ingin membeli siomay. Ternyata, yang datang adalah penjual bakso kojek. Hm…

Ternyata, sebuah ciri khas itu penting juga. Dalam segala hal, saya kira. Contohnya seorang dokter. Seorang spesialis tentu terlihat lebih khas daripada dokter umum. Ada ilmu yang benar-benar mumpuni dia kuasai. Hingga orang bisa tuntas jika butuh berkonsultasi dengannya.

Demikian juga dalam hal seni. Menulis, menyanyi, melukis, atau segala kegiatan lainnya. Seorang penulis yang memiliki ciri khas, pasti akan lebih mudah dikenali. Itu lho Sherlock Holmes, yang jagonya cerita-cerita detektif. Membuat orang terdogma bahwa jika butuh cerita detektif, cari saja serial Sherlock Holmes. Atau dalam hal menyanyi. Itu lho Didi Kempot, yang eksis dengan lagu campur sarinya.

Yup, memang dengan memiliki ciri khas lah diri kita akan dikenal. Yakin lah, kita pasti memiliki ciri khas. Karena pada dasarnya tidak ada orang yang benar-benar sama. Masalahnya, kadang orang sering menganggap semua orang itu sama. Misalnya, kita yang sebenarnya unik dan khas ini, tidak terlihat kekhasan dan keunikannya, lalu dianggap sama saja dengan orang lain yang tidak memiliki sifat khas dan unik itu. Tak terima? Harus! Karena kita berhak untuk tampil beda. Berhak untuk dikenal, bahkan dikenang, dengan ciri khas yang kita punya.




Friday 22 July 2011

Sampaikan Dari Lubuk Hati Terdalam

09:27 0 Comments
Beberapa teman saya berkata, “Menulis itu susah”. Hm, benarkah? Bukankah tinggal memegang alat tulis saja, lalu menggoreskannya ke sebuah media? Jadilah sebuah tulisan. Hehe, saya bercanda. Memang, menulis yang baik dalam arti membuat sebuah karya yang baik itu bukan semata-mata hal yang mudah. Bagi penulis pemula seperti saya, untuk membuat tulisan bisa dikatakan baik pun harus berjuang ekstra. Tapi, tak perlu berkecil hati. Ada sebuah tips menulis yang saya adopsi dari sebuah film korea favorit saya.
Di film Dream High yang tayang di salah satu stasiun TV beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah pelajaran. Film itu memang tidak mengajarkan bagaimana cara menulis, tapi dia menceritakan bagaimana cara menjadi seorang penyanyi. Tapi tak ada salahnya kita adopsi. Pada salah satu adegan, guru menyanyi dalam film itu mengajarkan pada murid-muridnya untuk berlatih berekspresi. Beberapa orang mulai bisa berakting. Ketika musiknya sendu, mereka terlihat melankoli. Begitu musiknya menghentak-hentak, mereka tertawa dan terlihat riang. Namun, ada seorang siswi yang ekspresi wajahnya datar saja. Guru itu berkata, “Kau tau kenapa kau gagal dalam audisi? Padahal suara dan teknik bernyanyimu jauh lebih bagus daripada murid lainnya.” Murid itu hanya menggeleng. Baginya, sejak awal dewan juri saja yang tidak tahu kualitas vokalnya. Guru itu pun melanjutkan, “Karena kamu tidak memiliki ekspresi. Tidak ada muatan emosi dari hati yang ingin kau sampaikan dalam lagu yang kau nyanyikan.” Hm…, menarik.
Jika kita mengadopsinya dalam dunia tulis-menulis, kurang lebih sama saja. Kita bisa ‘kalah’ dan tulisan kita dianggap buruk karena kita tidak melibatkan hati. Mungkin saja teknik kita sudah mumpuni, pengalaman kita sudah terlalu banyak makan asam garam. Tapi, karena tidak ada muatan emosi dalam tulisan yang kita buat, orang yang membaca akan merasa biasa-biasa saja. Tidak salah juga jika akhirnya tulisan kita dikategorikan dalam tulisan ala kadanya.
Tapi, menulis dengan hati sepertinya juga susah. Barangkali masih saja ada yang pesimis berpikir begitu. Oke, simak adegan selanjutnya di film tersebut. Murid itu lantas mencari segala cara untuk bisa menyanyi dengan ekspresi. Kata temannya, itu bisa saja jika dia jatuh cinta. Tapi, dia menyangkal. Dia tidak mungkin jatuh cinta saat itu. Lalu dalam suatu pelajaran, gurunya berkata, “Bukan masalah lagu apa yang ingin kau nyanyikan, tapi apa yang ingin kau sampaikan pada seseorang. Itulah cara untuk menyanyi dari hati.”
Hm, benar juga kan. Dalam kondisi jatuh cinta, orang serasa produktif untuk berkarya. Jutaan puisi bisa terangkai dengan mudahnya ketika jatuh cinta. Yang biasanya tak pernah menulis surat, jadi bisa menulis surat cinta begitu panjangnya. Coba kalau diproduktifkan. Bisa jadi terbiasa menulis surat pembaca ke media kan. Hehe…
Lalu kata-kata guru tadi, “Bukan masalah lagu apa yang ingin dinyanyikan, tapi apa yang ingin disampaikan pada seseorang.” Sepertinya ini masuk juga jika diaplikasikan pada dunia tulis-menulis. Tak masalah tulisan apa yang akan kita tulis, yang lebih penting adalah apa yang ingin kita sampaikan pada pembaca.
Ambil contoh begini. Ketika kita memiliki sebuah opini, kita bisa menuliskannya dalam beberapa cara. Bisa menjadi sebuah puisi, sehingga orang terkesan dengan kata-kata puitis kita dan memahami makna yang terkandung di dalamnya. Bisa juga dengan membuatnya menjadi sebuah cerpen. Hingga orang menikmati jalan ceritanya dan mengambil hikmah dari kisah yang ada. Bisa juga dibuat menjadi sebuah essay. Yang meski terlihat kaku dan resmi, tapi dengan jelas memberikan opini kita dengan penguatan bukti. Hingga orang mengangguk-anggukan kepala karena paham dengan opini kita. Atau bisa juga dengan tulisan refleksi seperti yang saya tulis ini. Hingga orang mengetahui secara langsung sudut pandang saya dan menggumam untuk memikirkan opini dari sudut pandangnya. Nah, bukankah ada begitu banyak cara untuk menuliskan sebuah opini saja?
Jadi kuncinya adalah apa yang ingin kita sampaikan pada pembaca. Apa yang membuat kita tergerak untuk menuliskan itu untuk pembaca. Karena dengan muatan keinginan itulah, emosi kita akan terbentuk. Sebuah emosi atau keinginan untuk membuat orang lain merasakan dan menyadari apa yang kita sampaikan. Dengan begitu, tulisan kita akan bisa dirasakan dan diterima oleh orang lain. Karena mampu dirasakan orang lain, dengan sendirinya tulisan kita akan dinilai sebagai tulisan yang bagus.
So, untuk teman-temanku yang sedang menulis, apa yang ingin kau sampaikan padaku?


Thursday 21 July 2011

Please, Buat Aku Semangat!

21:14 1 Comments

Beberapa waktu lalu, saya terlibat obrolan seru dengan seorang kawan saya. Waktu itu sedang jam kosong jeda antar-praktikum. Kami duduk-duduk santai sambil ‘ngadem’ di perpustakaan. Beberapa teman menyicil membuat tugas kelompok, sedangkan saya dan teman saya hanya mengganggur saja. Waktu itu teman saya berkata, “Aku kok kayak nggak punya semangat buat hidup ya?”. Barangkali itu hanya ucapannya sambil lalu. Tapi itu justru menjadi sebuah obrolan seru.

Mungkin, ada di antara kita yang pernah mengalami keadaan seperti itu. Merasa bahwa hidup yang dialaminya datar saja, bahkan bisa jadi hampa. Rasanya tidak ada riak-riak kecil, letupan-letupan semangat, atau gejolak kehidupan yang lain. Mungkin akan muncul keluh kesah, “Kenapa kok hidupku membosankan sekali. Tidak ada gejolak semangat sama sekali.” Hm, benarkah begitu? Hidup kita yang memang tidak ada gejolak, atau kita yang tidak membuat gejolak untuk hidup kita?

Keadaan ini bisa muncul karena ada rasa bosan. Ya, bosan dengan rutinitas yang ada. Dari bangun tidur hingga tidur lagi di hari ini, tidak jauh berbeda dengan hari kemarin atau hari besok. Bisa saja, ini menimbulkan suatu kejenuhan. Mungkin memang demikianlah aktivitas kita. Mau bagaimana lagi. Tiap hari kan memang harus kuliah. Pasti agendanya begitu-begitu saja.

Siapa bilang? Kuliah di hari ini tentu saja berbeda dengan kuliah di hari sebelumnya atau keesokan harinya. Materi kuliah jelas beda, dosen yang menyampaikan bisa jadi juga beda. Sedikit perbedaan ini saja sebenarnya cukup untuk membuat hari-hari menjadi tidak membosankan. Kalau pun perbedaan ini masih terlalu kecil, kita bisa menciptakan suatu hal yang beda tersebut. Misalkan saja ketika berangkat ke kampus, kita memlih rute jalan yang berbeda. Ketika memilih tempat duduk, kita memilih bangku yang berbeda dengan teman di samping kita yang berbeda pula. Bisa juga ketika makan siang, kita meluangkan pergi ke luar kampus sejenak untuk mencari warung makan yang berbeda pula. Bukankah ada banyak cara untuk menciptakan perbedaan yang bisa mengusir kebosanan? Tapi, mau bagaimana lagi kalau memang masih tetap bosan?

Hm, kalau ternyata masih juga bosan, sekarang coba kita tengok tujuan kita. Orang akan merasa bosan dan tidak bersemangat ketika tidak memiliki tujuan. Karena tidak ada tujuan yang ingin benar-benar dicapai, hidup cukup dijalani dengan biasa-biasa saja. Begitu terbiasa dengan menjalani yang biasa-biasa, wajar saja jika akhirnya rasa bosan itu menyapa. Ujung-ujungnya jadi makin tidak bersemangat lagi. Tapi jika memiliki tujuan yang menggebu-gebu ingin dicapai, kita seakan-akan bersedia saja berkorban sampai titik darah penghabisan untuk meraihnya. Dengan adanya perjuangan kita untuk meraih tujuan itulah, hari-hari kita menjadi lebih berwarna. Otomatis, rasa bosan tak sempat untuk menyapa.

Masalahnya, menentukan tujuan hidup itu ternyata tidak mudah. Waktu saya bercakap-cakap dengan teman saya itu, teman saya juga bingung apa tujuan hidupnya. Barangkali, karena patokan tujuan yang ingin dicapai masih begitu diawang-awang. Contohnya ingin menjadi dokter spesialis misalnya. Itu jelas sebuah tujuan hidup yang bisa dijadikan penggerak untuk semangat. Tapi, tetap saja tidak mempan. Mengapa? Karena masih terlampau jauh. Dan mungkin menurut sudut pandang kita, apa yang kita lakukan saat ini tidak memberikan efek apapun pada tujuan itu.

So, solusinya adalah membedakan tujuan kita. Bedakan saja berdasarkan waktunya. Buat tujuan untuk jangka pendek dan tujuan untuk jangka panjang. Bahkan tujuan dalam jangka sependek mungkin. Tidak perlu terlalu rumit. Misalkan hari ini aku ingin menyelesaikan materi A, atau 1 jam ini aku harus menyelesaikan tugas laporan. Mungkin terasa sepele, tapi dengan target yang kita buat itu, secara tidak langsung waktu kita akan meletup-letup. Dalam satu jam ini, kita akan meletup-letup untuk mengerjakan laporan. Dalam satu hari ini, kita akan meletup-letup untuk menguasai materi A. Kalau sudah meletup-letup begini, berarti sudah bersemangat lagi kan?

Tapi mungkin masih saja ada yang tidak bersemangat. Aku tidak punya tugas laporan, aku tidak punya target harus memahami materi A. Hm, begitu ya? Walaupun rasanya sangat mustahil ada orang yang benar-benar menganggur dalam harinya, tapi tak masalah jika memang itu benar-benar terjadi. Bagaimana cara mengatasinya? Apa yang harus dilakukan? Kalau memang hanya bisa bengong karena kerjaan kosong, sekalian saja bengongnya. Merenunglah. Karena ternyata, kita masih belum bisa mengisi waktu kita dengan kegiatan berharga. Merenunglah, karena dengan jatah umur kita yang terbatas, kita masih saja sempat untuk menganggur dan tidak berbuat apa-apa. Merenunglah, karena dengan usia kita yang sudah terlewati, kita belum menemukan tujuan hidup yang kita cari. Ya, merenunglah. Agar tujuan hidup kita tergambar nyata dan semangat kita kembali menyala.



Bangun Tidur Ku Terus ...?

00:02 0 Comments

Masih ingat lagu itu waktu kecil? Sepertinya anak kecil sangat terbiasa menyanyikannya. “Bangun tidur ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku.” Barangkali itu sebuah lagu yang dinyanyikan di setiap pagi. Bahkan bisa jadi justru menjadi sebuah suri tauladan untuk dilakukan anak-anak di pagi hari. Tapi, apakah itu suri tauladan yang baik?

Kalau lagu itu saya praktikkan sekarang, syair lagu itu justru bukan sebuah suri tauladan yang baik. Bangun tidur, terus mandi, gosok gigi, membersihkan tempat tidur. Coba dibayangkan. Dalam keadaan apakah kira-kira situasi ini terjadi? Yup, betul. Situasi bangun kesiangan atau situasi tergesa-gesa. Begitu bangun tidur, langsung terperanjat melihat jam. Tanpa pikir panjang, langsung buru-buru ke kamar mandi. Baru kemudian balik lagi ke kamar dan membersihkan tempat tidur. Sekenanya. Ya, berhubung sudah terburu-buru, jadi cukup sekenanya saja membereskan tempat tidur. Wah, kalau begitu, berarti syair lagu ini tidak bagus untuk dijadikan suri tauladan.

Belum lagi, jika ini dipraktikkan untuk situasi bangun tidur di pagi hari. Wah, sholat subuhnya diletakkan di mana dong. Kalau kondisinya saja seperti di atas, yaitu posisi sudah bangun kesiangan, berarti sholat subuhnya makin siang. Kalau pun tidak dalam keadaan kesiangan dan sholat Subuhnya tetap masuk sesuai waktunya, sepertinya lagu ini juga kurang memberikan suri tauladan yang baik dari sudut pandang Islam.

Bukankah setiap hari kita disunnahkan untuk tahajud. Sedangkan tahajud lebih baik didahului dengan tidur. Coba bayangkan. Jika setiap bangun tidur untuk tahajud harus mandi dulu. Hi…, tidak terbayang harus mandi pagi-pagi buta ‘demi’ mempraktikkan syair lagu ini. Jadi, saya menyimpulkan kalau lagu ini kurang aplikatif. Apalagi untuk saya yang mandinya siang-siang aja. Hehe…

Oke, lupakan tentang urutan dalam syair lagu itu. Ada hal yang lebih menarik sebenarnya. Coba tanyakan pada diri kita masing-masing. Bangun tidur terus apa? Pasti jawabnya beragam. Macam almarhum mbah surip “bangun tidur, tidur lagi”, atau macam Saykoji “online…,online…”. Hm, sepertinya akan banyak aktivitas beragam kalau dikumpulkan. Ada yang bangun tidur langsung ngecek HP. Barangkali ada telepon penting, ada SMS, atau memang karena mendapat SMS untuk bangun tahajud. Mau tak mau jadi bangun tidur ku terus baca SMS.

Bisa juga untuk si modis. Persis seperti iklan shampoo. Begitu bangun tidur, rambut seperti singa. Mau tidak mau, bangun tidur langsung sisir rambut. Atau dalam dunia kesehatan misalnya. Seorang dosen saya menganjurkan kalau bangun tidur sebaiknya minum air putih. Alasannya, ketika tidur itu, air liur kita mengumpul. Padahal dalam air liur itu terdapat antibody yang baik untuk menjaga kekebalan tubuh. Jadi, dengan bangun tidur kuterus minum, diharapkan antibody dalam air liur kita akan tertelan, dan bukannya terbuang kalau kita langsung cuci muka.

Hm, sepertinya ini tergantung dengan kepribadian kita. Bagi Mr.Gadget, wajar saja kalau bangun tidur langsung buka HP, SMS atau online. Bagi mbak cantik, bisa saja langsung dandan seperti kasus di atas. Begitu juga untuk sifat atau karakter yang lain. Tapi sesungguhnya ada satu karakter yang seharusnya dimiliki dan dilakukan semua orang. Tapi sepertinya, karakter atau sifat ini kurang diaplikasikan. Apa itu?

Berdo’a. Yup, rasanya bangun tidur kuterus berdo’a justru jarang terlihat. Padahal justru itulah yang terpenting. Ketika telah dimatikan sejenak oleh Allah dan akhirnya kita masih diberi kesempatan untuk menghirup udara lagi. Bukankah sudah sepantasnya kita mengucap hamdalah sebagai salah satu puji syukur pada Allah lewat do’a bangun tidur "Alhamdulillaahil ladzii ahyaanaa ba'da maa amaa tanaa wailaihinnusyuur …” Segala puji hanya milik Allah yang telah menghidupkan kami setelah sebelumnya mematikan kami, dan hanya kepada-Nya-lah kita kembali.

Yah, apapun aktifitas kita, semoga kita tak lalai untuk berdo’a. Sekedar sebagai rasa syukur atas hidup yang telah diberikan kepada kita.



Wednesday 20 July 2011

Dilarang Memberi

23:59 0 Comments

Ada yang menggelitik hati saya ketika tadi sore melihat berita di salah satu stasiun TV. Menjelang bulan Ramadhan, Jakarta akan dipenuhi dengan para pengemis dan pengamen dadakan. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, pemerintah kota Jakarta mencanangkan peraturan dilarang memberi sedekah pada pengamen atau pengemis di jalan. Apabila ketahuan memberi sedekah pada pengamen atau pengemis di jalan, akan dikenakan denda. Sedangkan pengemis atau pengamennya akan diciduk dan ditahan hingga lepas Lebaran untuk memberi efek jera.

Ketika repoter stasiun TV mewawancarai beberapa pengguna jalan, reaksi yang didapat sungguh mencengangkan. Rata-rata pengguna jalan setuju. Seorang pengendara mobil berkomentar, lebih baik begitu dan dia memang jarang memberi sedekah. Daripada didenda, katanya. Begitu pula seorang wanita pengendara motor, juga merasa lebih nyaman jika peraturan itu diberlakukan dan tidak perlu memberi sedekah pada pengamen atau pengemis lagi di jalan. Sungguh, bagaimana hal itu bisa terjadi? Sudahkah hilang rasa saling berbagi?

Saya jadi teringat pada pengalaman saya saat mengendarai sepeda motor. Waktu itu saya baru pulang dari acara book fair di Gorro Assalam Kartasura. Waktu sudah masuk magrib, sedangkan musholla Gorro jelas tidak mencukupi kuota pengunjung yang ingin sholat. Maka, saya memutuskan untuk melajukan motor saya dan berhenti sholat magrib di masjid pinggir jalan. Barangkali karena sudah tepat jam 6 saat saya meninggalkan tempat parkir Goro, sedangkan waktu Isya jam setengah 7 lebih, saya seperti biasa melajukan sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Di pertigaan dekat Solo Square, saya terhenti oleh lampu merah. Ada seorang anak kecil yang sedang meminta-minta pada pengendara sepeda motor persis di depan saya. Begitu si pengendara motor memberikan uang, anak kecil itu beralih pada saya.

Saat menghampiri saya, anak itu menengok ke arah penunjuk waktu yang ada di dekat lampu. Tinggal 10 detik. Saya buru-buru merogoh tas saya, mencari-cari uang. Resleting pertama saya buka. Ternyata tidak ada uang. Terpaksa saya membuka resleting utama, mencari-cari dompet. Saya dan adik kecil itu sama-sama saling menengok ke penunjuk waktu. Waktu makin menipis, sedangkan dompet entah menyelinap di mana di dalam tas. Begitu dompet ketemu, waktu sudah habis. Ketika dompet mau saya keluarkan dari tas, sepeda motor dan mobil di belakang saya sudah mengklakson. Dan saya? Hanya bilang, “Maaf dik”, lalu melaju.

Sungguh, saat itu perasaan saya tidak tenang. Waktu melintasi rel kereta api Purwosari, terpikir oleh saya untuk balik lagi ke pertigaan tadi dan memberikan uang ke adik kecil. Tapi, saya teringat waktu magrib yang makin menipis juga. Akhirnya saya tetap memilih melanjutkan perjalanan dan berhenti sholat magrib di masjid PLN. Saya hanya bisa berdo’a agar adik kecil tadi mendapat rizqi yang lebih banyak lagi, jauh dari yang bisa saya berikan untuknya.

Nah, sekarang, sesuatu yang menurut saya aneh justru terjadi. Kita dilarang untuk memberi sedekah dan lucunya justru didenda jika ketahuan memberi sedekah. Memang, pemerintah memberi solusi atau anjuran untuk memberikan sedekah pada lembaga penyalur sedekah saja dan mempercayakan penyaluran sedekah itu pada mereka. Ya, memang itu terdengar lebih baik. Tapi, saya pikir, tidak semua orang bisa meluangkan waktu menuju lembaga penyalur sedekah. Belum lagi anggapan, jika menemui mereka, setidaknya sedekah yang diberikan mungkin lebih besar. Bisa saja ini justru makin membuat mereka merasa berat.

Dibandingkan jika bisa langsung bersedekah di jalan misalnya. Waktu jelas tidak perlu diluangkan khusus. Nominal yang dikeluarkan juga barangkali tidak terlalu memberatkan. Secara tidak sadar, sedikit demi sedikit rupiah yang diberikan tiap lampu merah, justru bernilai banyak. Tidak ada rasa begitu berat untuk mengeluarkan dana, tapi jumlah yang diberikan akhirnya bisa menyamai jika harus langsung ke lembaga. Bukankah ini lebih praktis dan aplikatif?

Lebih anehnya lagi, ini dilarang selama bulan suci Ramadhan. Padahal, segala amal yang dilakukan di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan. Seakan kebijakan ini justru menutup ladang pahala di bulan suci. Aneh, di bulan Ramadhan yang harusnya saling berbagi, justru dilarang untuk memberi. Lebih lucu lagi jika pengendara motor itu mematuhi peraturan tersebut karena takut didenda. Takut uangnya berkurang. Sudah buat memberi, masih kena denda lagi. Hm, begitukah?

Sungguh saya miris. Rasanya, manusia memang semakin angkuh aja. Persis seperti iklan salah satu provider. Ketika seorang pengemis meminta sedekah, pengemudi mobil justru menutup kaca jendela dan mengeraskan volume radionya. Sungguh adegan ini menunjukkan suatu keangkuhan manusia. Betapa pelit dan sayangnya pada harta. Sepertinya hukum rimba kian merajalela. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Semoga saja peraturan ini tidak mendidik kita menjadi manusia yang tak memiliki hati. Semoga saja tetap ada orang yang mau berbagi. Dan semoga saja kesediannya untuk tetap berbagi menjadi tambahan pahala tersendiri. Amin…




Monday 18 July 2011

Pertama Atau Terakhir

09:06 4 Comments

Menurut Anda, manakah yang lebih baik? Yang pertama atau yang terakhir? Mungkin ada yang mempunyai slogan “be the first” sehingga menjadi yang pertama adalah segala-galanya. Atau ada yang memiliki anggapan lebih baik “be the best” sehingga tak masalah menjadi urutan ke berapa. Begitu kah?

Pertanyaan ini pernah saya bahas dengan sahabat sejati saya sepanjang perjalanan karya wisata waktu kelas 2 SMA dulu. Waktu itu saya bertanya, “Mana yang lebih baik, yang pertama atau yang terakhir?” Sahabat saya kurang lebih menjawab begini “Aku memilih yang pertama karena dia pelopor. Setiap pelopor biasanya dikenang”. Barangkali dia berkata begitu karena kami memiliki slogan “Be the first, be the best, be different.” Selagi bisa be the first, mengapa tidak?

Lalu saya mengusik lagi, “Lebih memilih jadi cinta pertama atau cinta terakhir?” Sahabat saya berpikir agak panjang. Hingga akhirnya memutuskan menjawab, “Pilih jadi cinta terakhir. Berarti kan tidak ada orang lain setelah kita.” Saya mengejar lagi, “Tapi dari pilihan pertama tadi, berarti cinta pertama tetap dikenang kan? Karena dia seorang pelopor di hati?” Lantas, percakapan kami buntu. Yah, karena memang tak penting dan hanya sekedar mengisi waktu.

Saya jadi teringat salah satu adegan di film 3 idiots. Saat itu Virus bertanya pada para mahasiswa, “Siapa astronot pertama yang menginjakkan kaki di bulan?” Para mahasiswa serentak menjawab “Neil Amstrong”. Lalu ketika Virus bertanya lagi, “Lalu siapa yang kedua?”, semua mahasiswa hanya bisa bungkam. Saat itu Virus berkata, “Tidak ada orang yang akan mengenang yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Maka berlomba-lombalah untuk menjadi yang pertama.”

Tapi kemudian saya membandingkan dengan kenyataan pada Al-Qur’an dan diri Rasulullah SAW. Al-Qur’an adalah kitab terakhir. Dan yang terakhir inilah yang lebih utama, dibandingkan kitab yang pertama. Kitab terakhir inilah yang dikenang dan dijadikan sebagai pedoman. Demikian juga Rasulullah SAW. Rasulullah SAW telah dinyatakan sebagai Rasul terakhir. Dan memang beliau lah Rasul utama. Satu-satunya Rasul yang bisa membantu kita di akherat kelak.

Berarti, bagus mana antara pertama dan terakhir? Saya tetap saja menggugat keduanya. Dalam keadaan ujian praktek misalnya. Yang mendapat giliran pertama, kadang merasa sial. Tapi setelahnya dia akan menjadi sangat lega. Sebaliknya, yang terakhir mungkin beruntung karena barangkali mendapat bocoran dari giliran pertama. Tapi, dia harus menderita deg-degan yang lebih lama.

Mungkin, sebuah urutan itu tidak menjadi masalah utama. Barangkali yang lebih diutamakan adalah tingkat kesempurnaanya. Memang, tidak ada yang benar-benar sempurna. Tapi, makin mendekati sempurna, sepertinya itulah yang paling baik. Dalam kasus ujian itu misalnya. Seorang yang ujian giliran pertama bisa saja mendapatkan hasil yang baik karena dia sudah mempersiapkan dengan sesempurna mungkin. Sedangkan giliran terakhir dianggap biasa saja karena dikira sekedar mencontek usaha dari yang pertama. Tapi, barangkali justru terjadi sebaliknya. Yang terakhir bisa saja justru menjadi yang terbaik karena dia mengambil intisari dari yang pertama dan selanjutnya. Lalu belajar dari kesalahan mereka sehingga dia bisa memperbaiki di saat gilirannya tiba. Jadi, bukankah ini lebih ke masalah kesempurnaan? Al-Qur’an yang terakhir pun tetap dikenang karena dialah yang sempurna. Atau Niel Amstron tetap dikenang atas usahanya yang sempurna.

So, apakah Anda pertama dan terakhir tetap menjadi masalah jika kita bisa menunjukkan sesuatu yang nyaris sempurna?



Manusia Berkehendak, Allah Menentukan

09:04 0 Comments

Manusia memang bisa berkehendak, tapi Allah lah yang menentukan. Prinsip itu sepertinya harus dipegang teguh oleh semua orang. Mengapa? Karena jika kita memaksakan, bisa jadi kita tak hanya merugikan diri kita, tapi lebih parahnya kita justru menolak takdir yang sudah Allah berikan pada kita. Tapi, benarkah hanya sesederhana itu?

Ambil sebuah contoh, ketika manusia sedang menghadapi saat-saat kritis. Tubuhnya sekarat, peralatan dokter tak bisa lagi membantu. Tinggal malaikat Izrail saja yang berproses. Dalam keadaan ini, manusia berkehendak tapi Allah lah yang menentukan bisa diartikan tepat. Jikalau tim dokter sudah berupaya semaksimal mungkin, memang demikianlah adanya. Tinggal menunggu ketentuan Allah, yang barangkali memang tidak sesuai dengan kehendak keluarga. Kalau dipaksakan, justru kerugian yang didapat. Biaya peralatan dokter yang bertambah sedangkan hasilnya sia-sia, atau justru menambah derita tubuh pasiennya. Jika dipaksakan pula, bisa jadi tergolong pada kasus kedua, menyalahi takdir yang telah Allah tentukan. Maka di sini, pasrah dan mengikuti takdir benar adanya.

Tapi jika dilihat dalam kasus lain, manusia memang bisa berkehendak tapi Allah lah yang menentukan bisa menjadi sebuah salah paham. Ketika akan menghadapi ujian misalnya. Kita sudah mencoba untuk belajar lalu mendapatkan hasil buruk. Wajar jika kita berujar “Yah, kita cuma bisa berkehandak dapat nilai bagus, tapi bagaimana pun Allah yang menentukan kalau kita cukup segini saja nilainya.” Sampai di sini masih bagus karena dia tetap mencoba mensyukuri apa yang telah Allah berikan. Tapi jika berhenti sampai di situ saja, di sini lah muncul kesalahpahaman itu. Mungkin saja orang lantas pesimis, “Ya sudahlah. Toh, Allah memberikan ketentuan seperti ini. Mau bagaimana lagi?”

Tentu bukan sikap itu yang diinginkan muncul dari kalimat manusia memang bisa berkehendak tapi Allah yang menentukan. Kalimat tersebut memang mengajarkan sikap tawakal. Tapi tawakal bukan berarti pasrah, tanpa berusaha untuk mengubah keadaan yang sekiranya bisa diubah. Saya katakan di sini, keadaan yang sekiranya bisa diubah. Tentu di sini bukan berarti menabrak takdir yang bersifat mutlak seperti hidup dan mati, melainkan suatu keadaan lain yang kita tahu bahwa tanpa usaha tak akan pernah kita mencicipi rasanya. Rasa menjadi kaya, tak mungkin tercicipi jika hanya berpangku tangan di rumah saja. Rasa menjadi pandai, tak mungkin tercicipi jika seharian hanya tidur bermalas-malasan. Bukankah wajar jika kita berkehendak untuk kaya atau pandai? Tapi wajar pula jika Allah menentukan bahwa kita tidak kaya atau pandai karena kita tak berbuat apa-apa.

Kalimat ini bukanlah sebuah alasan. Alasan sebagai pembenaran atas segala kemalasan. Karena malas untuk bekerja, lantas cukup bersyukur dengan mengucap kalimat ini. “Kalau Allah memang menentukan aku miskin, ya tidak apa-apa.” Hm, kalau dari kalimat itu, jangan-jangan memang dia berkehendak untuk tidak apa-apa miskin, sehingga dia bebas bermalas-malasan.

Perkaranya di sini adalah kehendak. Jika dia memang betul-betul berkehendak, maka dia akan berusaha penuh untuk mewujudkan kehendaknya. Di sinilah muncul usaha atau ikhtiar. Ketika ikhtiar sudah dijalankan, wajar kiranya dia tawakal. Tapi dengan usaha penuh yang telah dilakukan, ketentuan Allah pun bisa jadi berubah dari semula. Mengapa? Karena Allah melihat proses. Allah pasti melihat segala upaya yang kita lakukan. Bisa jadi dengan usaha kita maka Allah menentukan yang lebih baik dari semula. Tapi jika kita sama sekali tak berusaha, jangan salahkan Allah yang menentukan jika kita hanya bisa berkehendak saja tanpa melakukan apa-apa.

Maka, kuatkanlah kehendakmu, usaha tanpa kenal jemu, dan tawakal atas ketentuan Allah padamu.



Jangan Ajari Balas Dendam

09:00 6 Comments

Pagi terasa tenang. Makin tentram dengan burung berkicau. Tapi tiba-tiba ketentraman itu pecah. Seorang balita menangis dengan amat kencangnya. Ibu rumah tangga yang sibuk di dalam rumah tergopoh-gopoh berlari menghampirinya. Melihat anaknya menangis dengan posisi mencium aspal, ibu itu itu lantas menggendongnya. Kemudian ibu itu berkata, “Cup cup cup…, siapa yang nakal? Ini tho jalannya nakal. O, jalannya nakal!” kata ibu itu sambil memukul jalan aspal.

Mulanya, si anak tetap menangis. Begitu melihat sang ibu memukul jalan, anak itu pun ikut memukul aspal. Ibu itu terus menenangkan, “Udah, jangan nangis lagi. Jalannya udah ga nakal lagi.” Anak itu pun diam.

Mungkin terasa sederhana saja. Seorang ibu berusaha dengan segala cara untuk membuat tangis anaknya reda. Tapi, kalau dicermati lagi, tindakan ibu tadi memberikan banyak contoh buruk bagi anaknya.

Pertama, anak diajari untuk menimpakan kesalahan pada orang lain. Ibu itu tidak tahu, mengapa anaknya jatuh di jalan aspal. Bisa jadi anaknya tidak hati-hati hingga terpleset dan jatuh. Tapi ibu itu justru menyalahkan jalan aspal, yang mana kita tahu kalau jalan aspal hanya diam dan sama sekali tidak melakukan apa-apa. Dalam hal ini, ibu itu mengajari anaknya untuk mencari kesalahan orang lain, bahkan tidak peduli jika harus menimpakan kesalahan pada orang lain yang sebenarnya sama sekali tidak salah. Padahal, bisa saja reaksi pertama yang muncul ketika melihat anaknya menangis bukan dengan mencari kambing hitam. Bukankah akan lebih bijak, jika ibu itu menasihati untuk lebih hati-hati agar kelak tidak jatuh lagi. Tanpa perlu menyalahkan orang lain atau anaknya sendiri.

Lalu ketika ibu itu akhirnya memukul jalan karena beranggapan jalan lah yang salah. Anak itu melihat kalau ibunya membela dirinya dengan membalas jalan yang nakal. Jalan yang sudah membuatnya sakit dan menangis. Tindakan ini bisa menjadi pembelajaran bagi anak untuk membalas dendam. Ketika tersakiti, balas saja orang yang menyakiti kita. Barangkali itu pelajaran yang ditangkap oleh sang anak.

Lalu ketika akhirnya anak itu berhenti menangis karena sudah ikut-ikutan memukul jalan. Rasa sakitnya sudah tersalurkan dan dia merasa puas. Ini pun bisa menjadi contoh yang buruk. Membuat anak merasa senang ketika kehendak hatinya tersalurkan. Walaupun itu adalah perbuatan yang membuat hati orang lain sakit. Bisa saja anak itu menangkap, tidak apa-apa aku menyakiti orang lain asal aku puas, asal aku senang.

Lebih buruk lagi jika sang ibu merasa masalah selesai ketika anaknya sudah tidak menangis lagi. Lalu ibu itu berlalu dan tidak menggubris lagi. Jikalau begitu, anak justru lebih kasihan lagi. Dia tidak diajari untuk memperbaiki diri. Dia tidak tahu, mengapa dia sampai jatuh dan bagiamana agar kelak dia tidak jatuh lagi. Andai ibu itu bersedia sedikit saja melatih anaknya untuk introspeksi diri, mengingatkan agar lebih berhati-hati, barangkali anak akan bisa belajar untuk memperbaiki dirinya di lain hari.

Jika semua ibu mendiamkan anaknya dengan cara ibu di atas, betapa banyak orang yang akan mudah mendendam. Betapa kelak akan banyak orang yang hanya bisa menyalahkan orang lain, menyakiti orang lain, tidak mau introspeksi dan memperbaiki diri. Seandainya saja sejak awal ibu itu tidak menyalahkan jalan aspal dan membimbing anaknya untuk memperbaiki dirinya, betapa akan banyak generasi tangguh tercipta di hari kelak. Andai saja…




Andai Sehari Tidak 24 Jam

08:59 0 Comments

Harapan bodoh itu terbersit oleh saya malam ini. Ya, andai saja sehari bukan 24 jam. Atau jika ingin dilanjutkan, andai seminggu bukan 7 hari, sebulan bukan 28-31 hari, atau setahun bukan 365 hari. Ya, waktu rasanya cepat sekali berlalu. Rasanya saya baru saja bangun tidur, tapi sekarang jarum jam sudah mendekati angka 12 malam. Rasanya baru kemarin saya diterima menjadi mahasiswa baru. Sekarang sudah ada 2 tingkat mahasiswa yang dikatakan lebih baru. Hm, waktu memang cepat berlalu.

Harapan di atas jelas harapan kosong. Harapan yang sebenarnya tidak ada artinya apa-apa. Bukankah jumlah waktu tetap sama saja? Jam, hari, minggu, bulan, atau tahun hanyalah symbol belaka. Hanya sebuah kesepakatan untuk memudahkan menentukan batas waktu. Seandainya pun diubah, satu hari 30 jam, tetap saja jumlah waktu yang disediakan Allah akan sama.

Permasalahannya, kadang waktu 24 jam itu terasa singkat sekali. Manusia sering kali merasa kalau waktu yang diberikan tidaklah cukup. Barangkali dalam 24 jam, dia belum mampu menyelesaikan segala aktivitasnya yang segudang. Atau justru sebaliknya, karena libur panjang dan menjadi pengangguran, mungkin berharap agar sehari bisa kurang dari 24 jam demi mengusir rasa bosan. Mungkin kah? Tentu saja tidak.

Lalu, bagaimana agar aktivitas segudang kita cukup dalam 24 jam? Tidak ribut karena kekurangan, atau bosan karena kelamaan. Jawabannya mungkin simpel dan semua orang pasti tahu. Ya, cukup memenej waktu dengan baik. Sehari 24 jam jelas waktu yang sangat panjang. Aktivitas segudang bukanlah sebuah alasan. Bisa melakukan semua aktivitas itu, sepertinya itulah yang diharapkan.

Tapi terkadang, waktu yang sudah dimenej dengan baik pun bisa keteteran. Rasanya sudah terjadwal dengan baik rencana kegiatan dalam 24 jam. Tapi, berhubung manusia adalah makhluk biasa, kita sama sekali tidak tahu kalau di tengah 24 jam nanti akan ada sebuah kejutan dari sang Illahi. Bisa jadi, tiba-tiba harus bertambah suatu aktivitas. Jatah waktu dengan aktivitas menjadi tidak bersahabat. Lalu apa yang dilakukan?

Prioritas. Ya, jelas. Jawabnya memang sesimpel itu. Memprioritaskan suatu aktivitas tertentu hingga kepentingannya terpenuhi dalam jatah waktu tertentu. Menggunakan 24 jam pertama untuk aktivitas A, dan membuat aktivitas B mengalah untuk dilakukan di 24 jam kedua. Bisakah? Bisa. Tapi, terkadang semua aktivitas tidak terselesaikan dengan sesimpel itu. Bisa jadi aktivitas A dan B atau semua aktivitas yang ada dalam list kita harus dikerjakan dalam 24 jam yang sama. Lantas bagaimana?

Komitmen. Itu kuncinya. Mau sesibuk apapun, mau sehari berapa jam sekalipun, jika diri kita memiliki komitmen untuk melakukannya, tidak akan ada alasan lagi. Dengan komitmen, semua bisa diupayakan. Waktu 24 jam bukan menjadi halangan. Aktivitas segudang, pasti dengan sendirinya akan diatur bagaimana agar terlaksanakan, tanpa harus membuat aktivitas lain terkorbankan.

Masalahnya, tidak semua orang berani berkomitmen. Rasanya mendengar kata komitmen seperti mendengar bahwa diri ini akan diikat oleh suatu beban berat. Ujung-ujungnya karena tidak berani mengambil komitmen, aktivitas yang seharusnya selesai dalam 24 jam yang sama akan terbengkalai, mundur ke 24 kedua. Prioritas kembali menjadi korban. Akibatnya aktivitas yang ada di 24 jam kedua, makin terkorbankan karena di 24 jam pertama saja belum terselesaikan. Kalau sudah begitu, apakah layak dibilang sudah berhasil memenejemen waktu?

Yah, perkara waktu memang perkara yang sulit. Bahkan waktu yang kita punya hanyalah diukur sedetik sekarang ini saja. Sedetik yang lalu, sudah bukan menjadi milik kita. Sedetik yang akan datang, belum menjadi milik kita. Lantas, dengan detik sekarang, adakah aktivitas kita bisa terselesaikan?

Maka, komitmenlah kawan…


Thursday 14 July 2011

Kapan Indonesia Maju Kalau Ditinggal Pergi Melulu?

19:11 3 Comments
Sebagian besar rakyat Indonesia sering skeptis bertanya, “Kapan Indonesia akan maju?”. Dalam hal A Indonesia tertinggal, di urusan B Indonesia mengekor. Rasanya puisi Taufiq Ismail benar adanya, malu (aku) jadi orang Indonesia. Ah, jangan begitu. Maklum lah, Indonesia memang negara berkembang. Beri Indonesia kesempatan untuk terus berkembang. Tapi, sampai kapankah julukan berkembang itu? Dan mengapa tak segera ganti menjadi maju? Hm, sebenarnya kapan pun bisa. Masalahnya, siapa yang akan membuat Indonesia maju?

Saya sering merasa aneh dengan orang Indonesia. Beberapa teman saya sering mengucapakan impian mereka. “Nanti aku ingin melanjutkan sekolah di luar negeri. Aku ingin kerja di sini (suatu tempat di luar negeri)” Hm…, mimpi yang indah kawan. Saya sangat mendukungnya. Cuma, kenapa harus bekerja di sana?

Sungguh sayang. Saya rasa, Indonesia terlalu berbaik hati, terlalu mengorbankan diri. Indonesia terlalu banyak mengirim TKI, baik secara konotasi atau denotasi. Ya, TKI. Tenaga Kerja Indonesia. Orang Indonesia yang dimanfaatkan kerjanya oleh negara lain. Bukankah banyak mahasiswa Indonesia yang akhirnya menjadi TKI? Ilmu-ilmu yang sudah susah payah ditempuh di negeri orang, tetap saja diaplikasikan untuk kemajuan negeri orang. Sedang kapan Indonesia bisa menikmati ilmu mereka?

Saya cenderung sependapat dengan impian sahabat saya, “Kita sekolah yang tinggi sampai luar negeri. Tapi, kita akan pulang dan mengabdikan diri untuk negeri.” Bukankah ini bagus? Ilmu yang sudah susah payah kita cari, dapat kita aplikasikan untuk negeri sendiri. Harapan untuk menjadi berguna bagi nusa dan bangsa juga lebih nyata. Bahkan bisa jadi di tangan kita lah Indonesia akan jaya.

Saya yakin orang-orang Indonesia itu orang yang hebat. Bagaimana tidak? Keahlian mereka diterima oleh negara asing. Terkadang yang membuat miris, orang itu bangga bisa bekerja di luar negeri. Menduduki posisi hingga tinggi di negeri orang. Masyarakat Indonesia yang lain juga aneh. Justru mengelu-elukan mereka dengan berkata “Ini lho si A, orang Indonesia yang punya posisi penting di Negara X” Wow, aneh. Keahlian kita dibeli asing, kenapa suka?

Sedangkan coba lihat Indonesia. Keahlian terasa carut marut tidak karuan. Seorang ahli mesin bisa saja menjadi pegawai bank. Seorang sarjana pertanian, bisa saja menjadi guru sekolah dasar. Nah, kalau begini, kapan Indonesia akan maju? Orang yang ahli lebih memilih meninggalkan Indonesia. Orang yang sekiranya ahli, tidak bekerja dalam bidang keahliannya.

Mungkin memang tidak semata-mata begitu. Beberapa mengaku, karena di negeri orang mereka diperhatikan. Sedangkan di negeri sendiri, mereka diacuhkan. Hm, bisa jadi begitu. Tapi bisa juga karena mengejar nafsu semata, ingin mengeruk dollar sebanyak-banyaknya.

Semoga saja tidak begitu. Semoga saja mereka di sana hanya berlatih bekerja, sekedar mengeruk cara kerja negara orang. Semoga mereka tidak pergi melulu, bersedia untuk pulang dan membuat Indonesia benar-benar maju. Semoga…, semoga….



Wednesday 13 July 2011

Karena Dia Wanita Pembaca

10:00 0 Comments
Bagi Anda para pria, apa yang membuat wanita itu terlihat menarik? Ada yang bilang karena keshalihannya, kecantikannya, kecerdasan, kebaikan, dan sejuta alasan lainnya. Dari sekian banyak alasan itu, saya menemukan satu alasan unik yaitu karena dia wanita yang suka membaca.

Saya menemukan alasan itu di sebuah novel yang berjudul Mutiara Bumi Saba’. Seorang laki-laki menyatakan cintanya kepada seorang wanita. Dengan segudang kekurangannya, wanita itu menyerahkan keputusan pada sang laki-laki. Tapi laki-laki itu menjawab, “Tidak apa-apa, karena kamu wanita pembaca.” Wah, menarik. Seorang pembaca saja ternyata cukup untuk menutup semua kekurangan yang ada.

Saya jadi teringat celoteh teman saya. “Dia itu kalau sedang serius membaca keliatan cantik sekali.” Hm, ada-ada saja. Tapi, mungkin benar juga adanya. Beberapa adegan di sinetron atau film juga banyak yang menge-shoot adegan cinta yang bersemi di perpustakaan. Mungkin karena membaca buku memang menambah kecantikan seseorang. Bahkan ada seorang teman lagi yang berkata, “Beruntunglah jika memiliki pasangan hidup yang gemar membaca.”

Apa pasal? Karena seseorang yang gemar membaca menandakan bahwa dia tidak lelah untuk belajar. Dengan membaca, kita akan mendapatkan sebuah ilmu. Atau paling tidak memiliki sebuah cara pandang baru. Seandainya suatu ketika dalam mengarungi bahtera cinta mereka mengalami suatu kendala, wanita pembaca akan berusaha mencari jawabnya melalui buku. Sehingga apa yang dia lakukan bukanlah asal-asalan dan tidak memiliki dasar ilmu. Tapi benar-benar tindakan yang sekiranya benar dan diharapkan mengatasi masalah yang ada. Bukankah itu luar biasa?

Membaca buku yang dimaksud di sini tak semata-mata buku yang memang ditulis dengan tujuan menyebar ilmu. Ketika ingin mengetahui tentang cara mengasuh anak, tak hanya bisa didapatkan dengan membeli buku non fiksi berjudul ‘cara mengasuh anak’. Bisa jadi, sebuah novel pun bisa memberikan contoh nyata cara mengasuh anak lewat sebuah cerita. Atau buku tentang tentara atau militer yang memimpin anak buahnya, juga bisa diadopsi untuk mencari cara terbaik bagaimana memimpin anak-anak dalam sebuah keluarga. Nah, bukankah banyak peluang ilmu yang bisa didapat melalui membaca?

Mungkin benar juga adanya kalau membaca buku membuat seseorang menjadi lebih cantik. Memang bukan cantik rupa secara langsung, tapi kecantikan seseorang secara menyeluruh. Kecantikan otak sehingga dia terlihat cerdas, tingkah lakunya tidak asal-asalan, omongannya penting dan berisi, dan sifat-sifat lain yang itu tercipta karena dia memiliki ilmu dari membaca buku. Bahkan bisa jadi, rupa pun akan menjadi cantik secara tidak langsung, karena kecerdasan berpikirnya, keluhuran tingkah lakunya, sehingga aura cantik pun memancar dari wajahnya. Dan itu semua semata-mata karena dia memiliki ilmu dari buku.

Hm, siapa yang tidak ingin cantik karena membaca buku? Sudah cantik, dapat ilmu lagi. So, buat para wanita (pria juga ding), mari kita membaca buku. Karena buku juga bisa menjadi kosmetik nomor satu.



Good Refleks

09:59 4 Comments
Adakah yang mengamati sebuah iklan syrup akhir-akhir ini? Sebuah iklan yang dibuat dengan model cerita bersambung. Saya tidak akan membahas mengenai iklannya atau produk yang diiklankan, tapi saya tertarik dengan salah satu adegan di iklan-iklan tersebut. Pada edisi pertama, seorang cucu yang menolak diajak kakeknya berlatih pencak silat tergoda untuk minum syrup. Ketika si cucu hendak meraih satu-satunya gelas yang tersisa di meja, sang kakek menggebrak meja dan menangkap gelas tersebut sehingga si cucu hanya bisa melongo. Pada serial selanjutnya, si cucu menunjukkan kemahirannya bermain botol bekas syrup. Lalu ketika ibunya akan membawa gelas dan syrup, nampan yang beliau bawa tersenggol oleh salah seorang murid pencak silat. Terlempar lah gelas dan botol syrup ke udara. Tapi sang kakek berhasil menangkap gelasnya dan si cucu berhasil menyelamatkan botol syrupnya. Apa yang menarik? Reflexnya. Ya, good reflex.

Menurut saya, reflex adalah suatu hal yang penting, bahkan reflex bisa menjadi salah satu kunci kesuksesan. Dalam hal apapun, dengan profesi apapun. Saya ingat betul teguran dari seorang dosen saya. Waktu itu kelompok saya akan bimbingan skills lab. Karena kami kelompok sepuluh, ruang kelompok kami berada di paling pojok. Mungkin karena terletak paling pojok, ruang kelompok kami ini kurang terawat dibandingkan ruangan yang lain. Karpet yang menutupi lantai agak berdebu di sudut-sudutnya. Beberapa taplak meja atau selimut yang menutupi manekin diletakkan asal-asalan saja. Tapi saat itu, kami semua tidak menyadarinya karena kami disibukkan dengan laporan praktikum yang harus dikumpulkan hari itu juga. Ketika kami asyik saling contek laporan sana sini, dosen pembimbing kami datang. Melihat kami yang tak karuan, dosen kami berkata, “Apa kalian tidak risih dengan ruangan ini? Bagaimana kalian mau jadi dokter yang baik kalau ruangan kotor begini kalian tidak peka dan biasa-biasa saja? Kenapa refleknya ga jalan untuk inisiatif membersihkan?” Saya cukup tertohok saat itu. Sebagai hukuman, kami disuruh membersihkan ruangan itu setelah bimbingan.

Kata-kata dosen saya itu ada benarnya. Bagaimana mau jadi dokter yang baik kalau tidak peka? Saya teringat sebuah film serial berjudul dr.House. Dalam salah satu seri, ada seorang pasien yang datang ke rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan sesuai prosedur, dr.House tidak menemukan adanya kelainan pada pasien tersebut. Beliau meminta agar pasien itu pulang saja. Ketika dr.House mulai meninggalkan pasien tersebut, orang tua dari pasien itu bersikeras kalau anaknya sakit dan sangat terganggu. Perawat pun mencoba bernegosiasi dengan dr.House. Dengan ekspresi malas, dr.House menanggapi keluhan perawat itu. Tiba-tiba secara tak sengaja, dr.House melihat lutut pasien itu reflex bergerak dengan sendirinya. Dr.House yang mulanya tak peduli, lantas mengamatinya. Dan hiperefleks lutut itu terjadi lagi. Ternyata benar, pasien itu memang ‘sakit’. Dan siapa sangka kalau itu justru berkaitan dengan sarafnya. Hm, coba bayangkan. Kalau saja dr.House tidak memiliki instinct dan reflex yang bagus, mana mungkin beliau bisa mendiagnosis kasus pasien tersebut. So, bukankah reflex itu sangat penting.

Ini tidak hanya berlaku untuk dunia medis saja. Untuk seorang penulis, reflex pun cukup berperan. Ketika melihat atau mendengar sesuatu, secara reflex seorang penulis yang peka bisa menjadikannya sebagai sebuah ide untuk membuat tulisan. Profesi lain pun akan lebih bermakna jika reflex ikut dimainkan. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, reflex yang baik juga memiliki dampak yang baik. Misalnya, bisa segera membantu orang lain, bisa cepat tanggap mengatasi risiko, dan masih banyak lagi.

Kenyataannya, tidak semua orang bisa begitu. Banyak orang yang menurut saya kurang terasah refleksnya. Contoh nyata ketika kawan dekat saya jatuh. Saat itu dia sedang memarkir motor. Karena tanahnya agak landai, motornya jatuh dan secara domino menyebabkan motor di sampingnya jatuh. Waktu itu, saya berjarak 2 meter dari teman saya. Saya berlari ke sana. Seorang kakak tingkat yang berada di depan ruang kelas yang berjarak 5 meter dari tempat parkir itu ikut berlari menghampiri teman saya. Anehnya, beberapa teman satu angkatan yang hanya berjarak 2 meter juga tapi dari arah mata angin yang berbeda justru adem-adem saja. Hm…, apakah karena merasa sudah ada yang membantu atau karena memang tidak terusik refleksnya? Saya tidak tahu.

Yah, apapun itu, tak ada salahnya jika kita mengasah reflex kita. Seperti yang saya katakan di awal tadi, reflex bisa jadi merupakan kunci untuk menuju kesuksesan. Jika reflex terasah, setiap peluang akan ditanggapi dengan cepat. Setiap ada kesempatan, orang yang reflexnya terasah akan lebih cepat bertindak. Bisa jadi rejeki dari kesempatan itu jatuh ke orang yang memiliki reflex bagus tadi. Sedangkan orang yang lamban, hanya bisa gigit jari. Ya, karena manusia memang diperintahkan untuk bersegera. Tapi, bagaimana bisa segera jika reflex tumpul dan lamban-lamban saja. Jangan sampai rejeki kita kalah dipatuk ayam, hanya karena reflex kita yang lamban. So, mari kita asah reflex kita.