Follow Us @soratemplates

Friday, 8 July 2011

Mati Lampu Itu Menenangkan


Banyak orang mengeluh ketika listrik padam. Suasana gelap, beberapa aktivitas yang sangat mengandalkan listrik terhenti. Memang tidak bisa dipungkiri, listrik sudah menjadi barang pokok. Tapi, seperti pula barang pokok lainnya, kadang tidak adanya barang pokok itu justru memberikan ketenangan dan menghadirkan banyak perenungan. Seperti ketika puasa, manusia justru mendapat ketenangan jiwa. Demikian pula saat puasa listrik, saya pun merasakan ketenangannya.

Sudah sejak ba’da Sholat Jum’at listrik padam. Semua aktivitas terhenti. Biasanya, adik akan menyalakan TV di kamar menonton Abdel Temon, Awas Ada Sule, atau serial lucu lainnya. Saya menyalakan TV di ruang tengah, setia dengan kelanjutan cerita film korea. Mbak Yatmi kadang-kadang masih menyelesaikan setrikaannya sebelum pulang. Begitu listrik padam, kami semua hanya diam.

Suasana justru terasa tenang. Adik dan saya tak perlu saingan suara televisi. Hingga kadang suara tamu yang mengetuk pintu tak terdengar lagi. Tak ada lagi suara mesin kulkas yang menderu. Tak terdengar lagi suara dispenser memanaskan air yang akan berbunyi klik ketika air mendidih. Tak ada pula suara deru mesin pemanas air di kamar mandi ibu begitu lampu kamar mandi dinyalakan. Semua diam, semua tenang.

Dalam keheningan ini saya justru merasakan kedamaian. Jendela terbuka lebar untuk mencuri cahaya matahari. Saya dan adik bercengkrama di kamar ibu yang paling banyak menerima sinar. Mungkin kalau listrik tidak padam, tidak akan begini. Masing-masing kami akan sibuk dengan aktivitas sendiri-sendiri.

Dalam keheningan ini saya justru merenung. Yang terdengar hanyalah jam yang terus berdetak. Betapa keadaan ini mengingatkan pada suatu masa yang akan datang. Sang waktu menyentil hati saya. Ingatlah, inilah keadaan yang akan kau hadapi nanti. Ya, keadaan sunyi ketika kita tidak bisa beraktivitas lagi, ketika tak ada cahaya sama sekali. Cuma yang masih menjadi perkara, apakah kesunyian kelak juga kedamaian seperti sekarang ini ataukah ketakutan yang menjadi-jadi. Karena tak jarang pula, orang mengeluh ketika listrik mati.

Rasanya, keadaannya persis sama. Ada orang yang tenang dengan listrik mati. Merasa tidak ada masalah dan semua keadaan aman terkendali. Mungkin karena aktivitas sebelumnya sudah berjalan sesuai rencana. Tapi tak jarang pula banyak orang yang mengeluh setengah mati. Mungkin karena ada banyak janji atau mengulur waktu. Harus mengirim email lewat speedy, menyetrika baju yang akan dipakai sore ini, mengeprint makalah yang harus dikumpulkan siang tadi, atau aktivitas lain. Yang ada hanya tinggal keluhan karena bisa saja email dikirim sejak pagi, baju disetrika sejak kering, atau makalah diprint tanpa menunggu batas akhir.

Jika diibaratkan dengan keadaan kita kelak, saya rasa tidak jauh beda. Ketika kita hanya sendiri dalam kegelapan dan kesunyian, mungkin kita tergolong orang yang tenang karena semua tidak ada masalah. Atau kita akan menjadi orang yang terus melolong karena banyak yang belum kita lakukan. Bekal belum cukup. Ilmu tidak memadai. Iman tidak kuat dan amal belum mencukupi.

Dari mati listrik ini saya belajar. Belajar untuk memaknai kesunyian, memanfaatkan waktu sebelum listrik padam. Saya tersadar bahwa saya harus memanfaatkan hidup saya sebelum hidup saya lah yang benar-benar padam.

PS: Ending yang makin menentramkan. Pas ketika paragraph terakhir ditulis, masjid-masjid di kejauhan mengumandangkan adzan Ashar.



2 comments: