Follow Us @soratemplates

Tuesday 26 July 2011

‘Cita-citaku’ atau ‘Pengalaman Berlibur di Rumah Nenek’

Mungkin teman-teman bertanya-tanya, mengapa judulnya begitu. Apa hubungannya cita-citaku dengan pengalaman berlibur di rumah nenek? Apakah saya sedang menggantungkan cita-cita untuk memiliki pengalaman berlibur ke rumah nenek? Hm…, bukan begitu kawan. Kedua hal tersebut hanyalah sebuah kalimat yang saya temukan saat membaca buku Taufiq Ismail.

Di bagian akhir dari buku itu, Taufiq Ismail memberikan beberapa opininya tentang dunia tulis-menulis. Beliau berkomentar bahwa gairah untuk menulis di Indonesia masih tergolong rendah. Kreativitasnya juga cenderung rendah. Coba saja jika anak SD disuruh untuk membuat karangan, rata-rata akan menulis tentang ‘cita-citaku’ atau ‘pengalaman berlibur ke rumah nenek’. Hm, benar juga.

Awalanya, saya juga tidak menyadai hal tersebut. Tapi begitu membaca opini Taufiq Ismail itu, saya kurang lebih membenarkannya. Sewaktu saya SD, pada hari pertama pasca-libur panjang, kami sering disuruh membuat karangan tentang pengalaman liburan. Dari sini, ada sebuah niat baik untuk membiasakan kami yang masih kecil-kecil untuk belajar menulis. Belajar untuk mengarang melalui pengalaman pribadi kita. Ironisnya, rata-rata dari kami menulis tentang ‘pengalaman berlibur di rumah nenek’. Padahal dari sekian banyak orang, tentunya ada pengalaman yang berbeda-beda kan.

Kalau dirunut lagi, perkara ini tidak menimpa dunia tulis-menulis saja. Dalam menggambar misalnya. Ketika kita disuruh untuk menggambar pemandangan, rata-rata menggambar gunung, dengan sawah, dan jalan. Jarang sekali yang terpikir menggambar pemandangan laut. Padahal, laut juga pemandangan. Begitu juga ketika diminta untuk menggambar bebek. Hampir keseluruhan menggambarnya dimulai dengan angka 2 sehingga paruh bebek menghadap ke kiri. Padahal bisa saja membuat bebek itu menghadap ke kanan, atau cukup menggambar kepala bebek. Ada banyak cara sebenarnya, tapi hanya cara itu yang diulang terus-menurus.

Mungkin ada yang beranggapan, “wajar lah kalau kita meniru, kita kan bukan ahli,” Yup, saya sepakat. Karena ini sesuai dengan teori ‘copy the master’. Mencontoh para ahli sehingga kita jadi memiliki kemampuan yang sama dengan sang ahli, atau lebih bagus lagi kalau bisa melampauinya. Tapi, mau sampai kapan mengcopy? Jurus copy-mengcopy ini juga ada batasnya. Begitu kita tau tekniknya, kita lah yang harus mengembangkan diri kita untuk menjadi master selanjutnya. Tentunya sesuai dengan ciri khas kita, sesuai dengan kreativitas kita.

Yup, kreativitas. Itu kuncinya. Saya rasa bukan perkara menggambar pemandangannya mau seindah apa atau karangannya mau sebagus apa. Tapi lebih membangkitkan kreativitas kita. Mencoba untuk lepas dari contoh yang diberikan sang master, lalu menemukan sendiri ciri khas kita. Itu semua bisa terwujud dengan 1 kunci, kreativitas.

Tapi, tunggu dulu. Kreativitas jangan diartikan sebatas memiliki ide yang segar untuk karyanya. Kreativitas ini bisa diterapkan dalam semua aspek karya kita. Misalkan, kita kreatif mengemas tata letaknya. Seperti dalam sebuah puisi misalnya. Hingga lahirlah puisi-puisi yang menonjolkan keindahan bentuk susunan hurufnya. Atau kreatif di sini bisa jadi hanyalah kreatif dalam mengirimkan karyanya ke media. Yang pada akhirnya, kita dikenal dengan keunikan tertentu karena memiliki memiliki kreativitas tertentu.

So, jangan hanya membatasi kreatif sebagai ide karyanya saja. Tapi kreatiflah untuk menciptakan makna kreatif dalam semua kehidupan kita.




No comments:

Post a Comment