Semua orang sepertinya ingin menjadi orang yang memiliki keahlian. Jadi dokter, berharapnya menjadi dokter ahli, dokter spesialis tertentu. Menjadi dosen, inginnya menjadi dosen ahli. Sampai gelar professor barangkali. Tapi, tak dapat dipungkiri kalau kita tidak mungkin benar-benar ahli di semua lini. Bisa tidak ahli dalam arti biasa-biasa saja. Tapi bisa juga tidak ahli dalam arti memang tidak bisa. Tidak memiliki keahlian, tidak memiliki kemampuan. Orang-orang amatir.
Sepertinya sangat hopeless sekali ketika kita mendengar kata-kata amatir. Seperti komentar ini misalnya, “Mereka itu amatir. Bisa apa mereka?” atau sejenisnya. Yup, orang amatir memang serasa dipenuhi dengan sikap pesimis. Kasihan.
Saya merasakannya. Saat itu, satu tim saya dan dua tim lain sedang mempersiapkan keberangkatan ke Jember. Begitu kami berkumpul, perasaan amatir ini serasa muncul. Bagaimana tidak? Lima orang dari kedua tim adalah orang-orang hebat, yang sudah melanglang buana ke mana-mana. Sedangkan saya bertiga, hanyalah manusia amatir yang mulanya sekedar coba-coba.
Perasaan pesimis pun mulai menyergap. Kami hanya berani memasang target simple saja. Tak berani untuk muluk-muluk. Toh, kami amatir. Masih untung seorang amatir seperti kami bisa tampil.
Begitu saya pulang, saya menceritakan perasaan saya pada ibu. Betapa saya sangat amatir dibandingkan teman-teman saya yang sudah begitu expert. Jawaban ibu saya pada saat itu simpel saja, “Orang yang expert juga pernah menjadi amatir.” Hm, saya jadi berpikir ulang karenanya.
Sadar atau tidak, kita semua pada awalnya adalah orang yang amatir. Ketika kita lahir, kita sama sekali tidak memiliki keahlian tertentu. Jangankan ahli, sekedar bisa saja belum tentu. Kita amatir makan. Sama sekali belum bisa mengunyah karena belum memiliki gigi. Kita amatir berjalan, hingga kita jatuh bangun berkali-kali. Kita amatir membaca. Bahkan huruf a sampai z saja tidak tahu apa maknanya.
Tapi, itu dulu. Dulu sekali, ketika kita masih amatir. Dan sekarang kita telah menjadi seorang ahli. Ahli makan, bahkan sampai kekenyangan. Kita ahli berjalan, bahkan berlari pun bisa dilakoni. Kita ahli membaca, mulai mengartikan kata dan memahami makna. Kita seorang ahli.
Semata-mata hanya karena kita membuang jauh rasa pesimis. Barangkali kalau saat kecil dulu kita pesimis ketika tidak bisa menggigit biscuit karena tidak punya gigi, sampai saat ini kita tak akan mungkin bisa merasakan bagaimana renyahnya kerupuk, bagaimana alotnya daging, bagaimana empuknya roti. Tak akan pernah bisa.
Kalau bukan karena kita membuang jauh-jauh rasa pesimis, tentu kita akan memilih duduk saja ketika jatuh pertama kali saaat berlatih berjalan. Tapi kita tidak melakukannya. Kita terus mencoba. Kita terus berusaha. Mencoba mengubah keadaan, dari seorang amatir agar menjadi seorang ahli.
Memang, saat kita kanak-kanak dulu, kita tidak tahu sama sekali apa itu makna optimis dan pesimis. Kita pun tak mengerti kalau kita ini amatir yang ingin menjadi ahli. Tapi itu semua muncul karena naluri semata. Fitroh kita yang memang diberikan oleh Allah agar tidak mudah menyerah dan terus berjuang hingga kita benar-benar ahli.
Jika dulu saja kita tidak paham makna pesimis, amatir, dan tetap berusaha untuk mencoba, mengapa sekarang tidak? Kalau dulu saja bisa, berarti saat ini pun kita insya Allah bisa. Kuncinya hanyalah membuang jauh-jauh rasa pesimis dan memupuk sekuat tenaga sikap optimis. Percaya saja, bahwa Allah akan melihat usaha kita. Dan sang amatir pun kelak akan benar-benar menjadi sang ahli yang luar biasa.
Bisa? Insya Allah, pasti bisa.
No comments:
Post a Comment