Follow Us @soratemplates

Wednesday 3 August 2011

Dua Kali Lipat

Bulan Ramadhan memang bulan amal ibadah. Selain puasa dan sholat berjama’ah seperti yang sudah saya singgung kemarin, ada satu lagi amalan yang terlihat jor-joran di bulan ini, yaitu sedekah. Sedekah bisa diartikan sangat luas. Mulai dari memberi sumbangan yang entah mengapa banyak bermunculan di bulan Ramadhan, memberi fakir miskin atau pengemis, menyumbang makanan berbuka puasa, atau menginfaqkan rupiah ke kotak infaq di masjid.

Ada satu hal unik mengenai infaq yang saya amati di masjid depan rumah saya tahun ini. Jama’ah masjid di depan rumah saya memang hobi shodaqoh. Dibandingkan 3 masjid di sekitar perumahan saya, masjid kami memang paling banyak perolehan infaq Ramadhan atau paling banyak qurban di hari Idul Adha.

Setiap ba’da tarawih, kotak infaq yang sudah tersedia di sudut shof sholat sudah berputar dengan sendirinya. Mulai dari ruang utama, sayap kiri, sayap kanan, serambi, bahkan sampai emperan, semua memiliki kotak infaq sendiri-sendiri. Sambil mendengarkan para penceramah memberikan tausiyah, para jama’ah dengan entengnya mengulurkan tangannya untuk memasukkan uang ke dalamnya.

Nah, yang unik di sini. Biasanya tepat selepas tarawih dan sebelum penceramah naik mimbar, ada seorang remaja putra yang digilir untuk menjadi MC. Kami menyebutnya begitu. Dia bertugas untuk menyampaikan siapa pembicara malam ini, lalu pembicara untuk kultum subuh besok pagi, dan memberikan laporan perolehan total infaq hingga tarawih malam sebelumnya. Waktu hari kedua tarawih, MC menyebutkan total pemasukan sekitar 600 ribu rupiah. Hari ketiga tarawih, totalnya sudah Rp.1.220.000,00, dan malam tadi sudah mencapai Rp.1.890.000,00.

Bagi saya, nominal itu tergolong banyak. Tiap harinya, bisa stabil sekitar 600 ribu. Padahal tahun lalu, tiap harinya hanya mencapai 300-400 ribu. Begitu saya menyadari pelonjakan drastis dari jumlah infaq itu, saya langsung saja dengan cuek ngobrol dengan ibu saya. Saya bilang, “wah, infaqnya bisa dua kali lipat nih.” Dengan enteng, ibu saya menjawab, “Aku tahu kenapa. Soalnya udah ada uang 2 ribuan.”

Saya sedikit tergelak. Bagaimana mungkin, gara-gara uang 2 ribuan lantas infaq meningkat dua kali lipat. Kalau dinalar sih memang masuk akal. Orang cenderung menginfaqkan uang seribu rupiah. Agaknya, nilai seribu rupiah tergolong ringan dan tidak memberatkan. Sekarang, muncul uang dua ribu rupiah, yang tarafnya lebih sejajar ke seribu rupiah dibandingkan lima ribu rupiah.

Ah, membingungkan. Maksud saya sederhana saja. Orang masih cenderung memberikan infaq dengan nominal terkecil yang paling ringan dia keluarkan. Barangkali lima ribu sehari tergolong cukup berat. Jadilah hanya seribu sehari saja. Begitu ada uang dua ribu, orang mungkin mulai beralih ke dua ribu. Sedikit lebih banyak, dan tidak sebanyak atau seberat lima ribu barangkali.

Yang mengusik justru pemilihan uang itu. Mamang, untuk urusan beginian, manusia cenderung memilih yang paling ringan saja. Coba dilihat. Kalau ada beberapa lembar uang di dompet, mulai dari seribu, dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, dua puluh, lima puluh, dan seratus ribu, manakah yang akan dikeluarkan untuk infaq? Yang saya amati di kotak infaq berkaca di beberapa masjid besar, rata-rata uang seribu yang paling mendominasi.

Hm, memang tak masalah. Saya juga tidak mau menelan ucapan sendiri yang sudah mengatakan lebih baik sedikit tapi rutin mengenai sedekah. Hanya saja, saya cukup terusik dengan keadaan itu. Padahal harta kita juga tak kekal abadi. Malah, harta yang diinfaqkan itulah yang akan abadi. Belum lagi, harta yang diinfaqkan itu justru akan makin kembali dengan berlipat ganda. Setiap infaq akan dibalas sepuluh kali lipat. Di bulan Ramadhan? Justru makin dilipatgandakan.

Nah, coba kita hitung. Kalau seribu rupiah perhari, berarti kita hanya akan mendapat ganti sepuluh ribu rupiah saja. Tapi seandainya kita berani mengeluarkan lebih banyak lagi, sebenarnya uang yang balik ke kita juga akan lebih berlipat ganda. Dengan keluar lima ribu misalnya, insya Allah akan kembali menjadi lima puluh ribu. Bukankah ini mengasyikkan?

Ya, sangat mengasyikkan. Inilah perniagaan dengan Allah. Jual beli harta kita oleh Allah. Kita menjual 1, Allah membelinya dengan 10. Sayangnya, manusia tak banyak tahu. Atau sudah tahu, tapi tak mau tahu. Tetap saja, memilih prinsip lebih baik sedikit tetapi rutin.

Yah, tak apa. Toh, masing-masing juga akan mendapatkan balasan dari-Nya. Siapa yang beramal lebih banyak, insya Allah makin banyak pula menuai panennya. Tidak ingin panen? Ya, monggo saja.




No comments:

Post a Comment