Setidaknya itu terbukti di keluarga saya. Bagi adik saya, sambal buatan ibu itu paling mak nyus. Bagi ibu, masakan simbah saya (ibunya ibu) tiada duanya. Bagi bapak saya, masakan simbah saya (ibunya bapak) pun tak kalah lezatnya. Sahabat sejati saya juga berkomentar begitu. Walaupun ibunya jarang masak, tapi begitu masak justru lebih enak daripada masakan pembantunya.
Hm, begitu jugakah dengan Anda?
Yup, waktu itu saya, adik, dan ibu sedang buka puasa bersama di rumah. Seperti biasa, kami bercanda, ngobrol ke sana ke mari. Waktu itu kami sedang mengomentari status facebook ibu yang menceritakan tentang pujian adik saya pada kehebatan sambal buatan ibu.
Kata teman-teman yang mengomentari status ibu, itu karena sang anak sudah bisa bersopan-santun. Memuji masakan ibunya semata karena sopan-santun. Tapi ada juga yang berkomentar, masakan ibu lebih lezat karena diramu dengan rasa sayang pada keluarganya.
Lalu, saya nyeletuk, “Bagi anak, masakan ibunya itu paling enak. Tapi seenak apapun, masakan itu akan dinilai tidak enak oleh ibu mertuanya. Iya atau nggak?”
Hm, hampir bisa dikatakan ya.
Contohnya ibu saya. Dulu waktu awal menikah, ibu saya pernah memasak sesuatu di rumah simbah saya (ibunya bapak). Begitu masakan selesai, simbah berkomentar, “Kok bagian ini dibuang? Padahal bapak (bapak saya) sukanya justru bagian itu.” Wah, ibu tidak tahu. Sejak saat itu ibu tidak pernah lagi masak di rumah simbah saya. Hehe…
Begitu pula dengan nasib pembantu saya. Mbak Yatmi namanya. Bagi saya dan adik saya, masakan mbak Yatmi itu udah sangat enak. Dia kreatif memasak bahan-bahan makanan tertentu menjadi masakan baru. Tapi, meski sudah selezat itupun, setelah menikah tetap saja tak luput dari kritikan ibu mertuanya. Waktu itu ibu mertuanya berkomentar, “Ini masakahnya udah bau”. Padahal beberapa menit yang lalu bapak mertuanya masih menyantap masakan itu dengan lahapnya. Hm…
Yup, mungkin memang begitu adanya. Masakan ibu tetap paling istimewa. Tapi masakan menantu selalu kurang di mata mertua. Mengapa bisa begitu?
Mungkin benar, masakan ibu terasa lebih lezat karena ada bumbu kasih sayang yang diramu dalam masakannya. Contoh kasusnya ibu saya. Sebelum masak dan setiap memasukkan bahan masakan, beliau selalu mengucap bismillah. Tujuannya agar masakannya lebih enak. Nyatanya memang lebih enak. Barangkali karena rasa sayang pada keluarga itulah yang membuat sang ibu mengupayakan untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya.
Tapi, mengapa ini tak berlaku antara menantu dan mertua? Apakah sang menantu tidak meramu masakan dengan kasih sayang pula jika akan disajikan pada mertua? Hm…, tidak begitu sepertinya. Menurut saya, ini lebih karena ego.
Sejak kecil, bagi si anak, masakan ibunya lah yang paling enak. Setiap hari dia memakan masakan ibunya. Tapi begitu menikah, masakan istrinya lah yang dimakan. Bisa jadi ini yang menyebabkan iri. Ketika anaknya akan lebih terbiasa dengan masakan istrinya daripada ibunya.
Di lain sisi, bisa juga karena perbedaan cara memasak itu sendiri. Karena ibu mertua juga memasak sejak dulu, pastinya beliau memiliki aturan pakem untuk bumbu-bumbu tertentu. Mulai dari kadarnya, cara memasaknya, dan lain sebagainya. Begitu ada orang baru, alias istri anaknya, belum tentu kadar bumbu dan cara masaknya sama. Tentu rasa pun akan berubah. Bisa jadi, inilah yang dicela. Karena bagi beliau, tidak ‘biasa’ dengan masakan yang beliau makan sehari-hari.
Okelah, tak perlu dipermasalahkan. Yang lebih penting, bagaimanakah solusinya?
Belajar masak tetap yang utama. Kalau perlu, belajar masak dengan ibu mertua. Biar tahu, bagaimana kebiasaan ibu mertua. Biar bisa belajar bagaimana selera ibu mertua dan anaknya. Bukankah anaknya pasti juga tetap merasakan masakan ibunya lebih lezat. Kalau bisa menyerupai masakan ibunya, paling tidak masakan kita pun akan mendekati kadar lezat menurut lidah anaknya.
Sepertinya, memang itu solusi terbaik. Bukan seperti solusi yang diberikan adik saya.
Waktu ngobrol itu, saya menggoda adik saya, “Berarti masakan istrimu ntar bakal dikritik sama ibu.”
Dengan enteng adik saya menjawab, “Ga bakal tak suruh masak,” adik pun melanjutan, “Tak bilangin, kalau masak jangan sampai ketahuan ibu.”
Hm, masa begitu solusinya?
ayo belajar masak...
ReplyDelete-____-"
kadang teori masaknya udah tau, cuma pas terjun ke dapur sering dihadang rasa males
hehe
hihihi, saya juga amatir dan masih 'males' masak ni mb.. :D
ReplyDelete