Follow Us @soratemplates

Saturday 13 August 2011

Pedagang Kaki Banyak

Sepertinya judul ini agak aneh. Pedagang kaki banyak? Memangnya ulil si ulat bulu yang berkaki seribu? Atau karena si pedagang memakai kruk penyangga kaki di kanan kiri sehingga kakinya jadi empat lalu dikatakan kaki banyak? Hm, tidak begitu kawan.

Istilah itu muncul seminggu yang lalu saat saya, ibu, dan adik akan buka puasa di luar. Memang sudah menjadi kebiasaan di keluarga saya kalau bulan Ramadhan diusahakan paling tidak satu kali saja buka bersama di luar rumah. Sholat magrib di luar lalu lanjut mampir di salah satu rumah makan.

Ramadhan kali ini, kesempatan itu terjadi di Sabtu minggu lalu. Waktu itu ibu ingin jajan buka di luar. Ibu memberi rekomendasi sate sapi yang ada di Penumping. Saya dan adik sama sekali belum pernah mencoba. Bahkan untuk sate sapinya itu sendiri pun belum pernah mencicipi bagaimana rasanya. Kalau saya sih nurut-nurut saja. Berhubung di kamus saya cuma ada istilah makanan enak dan enak banget. Tapi, bagi adik saya yang cukup peka lidahnya, karena belum pernah mencoba membuat dirinya jadi begitu penasaran.

Waktu sore hari kami akan berangkat, adik saya sudah bertanya ini itu. Mulai dari bentuknya, rasanya, enak ga, sampai tempatnya di mana. Salah satu pertanyaan yang cukup menarik adalah pertanyaan tentang genre pedaganganya.

Adik saya bertanya, ”Itu warung atau rumah makan?”

Ibu saya menjawab, ”Warung.”

Pertanyaan adik saya pun berlanjut. ”Warung kaki lima?”

Dengan santai ibu saya menjawab, ”Ora, kakine wis banyak.”

Sink..., udara seperti mencekam. Saya dan adik saya saling menatap. Kakinya udah banyak? Macam mana pula itu?

Lalu saya berdebat dengan adik saya. Kalau kaki lima kan penjualnya kaki dua, ditambah gerobaknya kaki tiga. Hm, saya kurang sependapat. Sepanjang perjalanan menuju warung tersebut, saya mengamati gerobak-gerobak pedagang kaki lima. Ternyata bervariasi. Ada yang memang tiga, tapi ada juga yang empat.

Oke lah, saya tak akan panjang lebar membahas tentang kaki itu. Tapi komentar ibu saya yang mengatakan kakinya sudah banyak cukup menggelitik juga. Di sini tersirat kalau pedagang ini bukan pedagang kaki lima biasa tapi sudah sedikit mengembangkan usahanya. Hingga dibilang kakinya sudah banyak.

Hm, memang seorang pedagang kadang bisa dilihat perbedaan tingkatnya dari luasnya usaha mereka. Berhubung saya bukan seorang pedagang, ada banyak tanya dalam diri saya. Kenapa bisa begitu ya? Maksud saya, kalau pedagang kaki lima dibilang lebih rendah dari pedagang kaki banyak. Lalu tingkat selanjutnya rumah makan, lalu naik sedikit ke kafe atau resto.

Entah lah mengapa begitu. Mungkin beda modalnya, atau lama beroperasinya. Tapi kalau dipikir-pikir, makin lama beroperasi juga tak menjamin akan makin meningkat tarafnya. Buktinya sejak kecil, ada mie ayam langganan saya yang sampai sekarang gerobaknya tetap sama. Ada juga pedagang tahu yang sejak saya kecil tetap dijajakan dengan naik sepeda onthel. Atau penjual es dhong dhong yang dari dulu tetap jalan kaki. Padahal saya sering melihat bapak itu di sekitar rel kereta api Palur. Bayangkan saja, dari Palur ke Jaten jalan kaki. Masih harus putar-putar perumahan lagi. Kok ya tidak mengembangkan usahanya dengan naik sepeda ya?

Kalau dipikir-pikir, seharusnya para pedangang itu berusaha untuk mengembangkan usaha. Tapi, bagaimana kalau tidak bisa? Ya sudah, dengan tarafnya yang biasa pun bukan berarti mereka tidak bisa mendapatkan untung kan. Buktinya, meski ada rumah makan mie ayam di dekat rumah saya yang buka akhir-akhir ini, saya tetap saja lebih suka mie ayam pedagang kaki lima itu. Pedagang kaki lima juga tak kalah menarik pelanggan dibanding resto atau kafe. Bahkan nasi liwet yang terkenal di Solo dan juga gudeg ceker yang menarik pelanggan dari luar kota adalah pedagang dengan konsep kaki lima.

Nah, kalau direfleksikan ke kehidupan manusia, sepertinya tak jauh beda. Manusia secara tak sengaja seperti memeliki tingkatan sosial. Ada bawah, menengah ke bawah, menengah, menengah ke atas, dan atas. Mereka yang kelas bawah, wajar dan sudah seharusnya berusaha untuk menjadi orang menengah ke bawah, lalu menengah, dan hingga akhirnya berusaha untuk menjadi orang kalangan atas. Tapi bagaimana kalau tidak bisa?

Layaknya pedagang kaki lama yang tetap bisa terkenal, meski orang bawah, kita tetap tak kalah dengan mereka kalangan atas. Tak kalah apa? Apa saja, asal yang baik tentunya. Tak kalah ibadahnya, tak kalah ilmunya, tak kalah amalnya. Nah, kalau sudah begini, bisa jadi orang bawah justru lebih terkenal baik daripada orang atas kan.

Intinya, mau jadi pedagang berkaki sebanyak apapun yang penting makin banyak pelanggannya. Mau jadi manusia dengan tingkat setinggi apapun yang penting makin banyak perilaku baiknya. Begitu?




No comments:

Post a Comment