Follow Us @soratemplates

Tuesday, 9 August 2011

Bantai!

Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata bantai? Barangkali akan terlintas di benak Anda, seseorang yang lemah diserang habis-habisan oleh orang lain atau bahkan oleh sekelompok orang sekaligus. Atau sebuah tindakan keji yang mendera seseorang tanpa kenal ampun. Hm, begitukah?

Memang, kata bantai terkesan menyeramkan. Seperti berita-berita di surat kabar misalnya. Terjadi pembantaian di Palestina, dan berita lainnya. Secara tidak langsung ini membangun stigma masyarakat bahwa kata bantai adalah tindakan yang menyakitkan, memakan korban, tak berperi kemanusiaan.

Sungguh sayang. Padahal kata bantai juga bisa memiliki tujuan yang positif. Dalam hal ini, kata bantai dapat diartikan sebagai proses menempa. Membantai seseorang bukan dalam arti menjadikannya sebagai korban, tapi menempanya untuk menjadi lebih kuat. Bukankah ini pembantaian yang baik?

Saya teringat akan cerita seorang guru saya. Waktu itu beliau menceritakan seorang penulis terkenal Indonesia AA Navis. Beliau juga memiliki banyak murid seperti guru saya itu. Tapi ada hal unik yang dilakukan AA Navis sebagai guru. Beliau sama sekali tidak pernah memuji karya murid-muridnya. Setiap karya yang disodorkan padanya, pasti beliau cela habis-habisan. Yup, sebuah pembantaian!

Tapia pa hasilnya? Para murid yang dimaki habis-habisan itu ternyata justru bisa survive dalam bidang tulis-menulis. Setiap karya yang dibantai, mereka revisi dengan susah payah. Begitu revisi, dibantai lagi. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya secara tak sadar, karya itu mendekati sempurna. Bukankah ini lebih baik?

Yup, pembantaian memang tak selamanya buruk. Ibaratnya seperti sebuah besi. Besi hanya akan menjadi besi ketika saat itu dia hanya dipuji. Misalkan, “Wah, kuat sekali besi itu”. Dengan pujian itu, besi sudah cukup menjadi besi saja. Toh, sudah memiliki sebuah kekuatan.

Tapi lain ceritanya jika besi itu dicela. “Apa bagusnya besi. Cuma menang kuat. Bentuknya gitu-gitu aja.” Apa yang akan terjadi? Mau tak mau besi akan diusahakan untuk berubah bentuk. Besi akan terus ditempa, diubah menjadi sebuah pedang misalnya. Bisa jadi ketika menjadi pedang pun, si besi akan terus dicela. Hingga akhirnya dia akan diasah hingga tajamnya tak terkira. Begitu seterusnya. Yang intinya, makin ditempa, makin diasah, makin kuatlah kemampuan besi tadi.

Demikian juga manusia. Manusia cenderung mudah puas terhadap pujian. Ketika sebuah karyanya dipuji, manusia cenderung merasa bahwa dirinya paling baik sendiri. Lantas merasa bahwa apa yang dia lakukan sudah mencapai puncak. Sudah top, sudah berpengalamanlah dia. Dampak buruknya, dengan perasaan sudah merasa mampu itu, bisa jadi dia tidak mau belajar. Ujung-ujungnya, dia akan terpuruk dengan sendirinya karena mungkin karya yang dinilai bagus hanya karya yang itu saja.

Di lain sisi, manusia juga cenderung tak suka dikritik. Ketika sebuah kritikan masuk, tak jarang manusia memilih jalan perlawanan. Menganggap bahwa orang yang mengkritik itu adalah musuh. Dampak buruknya, dia bisa jadi gelap mata. Ujung-ujungnya tak mau belajar dan akhirnya terpuruk juga.

Lantas, harus bagaimana? Kuncinya adalah keinginan untuk maju. Sebuah visi untuk terus menjadi lebih baik. Ketika dibantai, orang yang memiliki keinginan untuk maju akan menjadikan bantaian itu sebagai pendorong dirinya untuk memperbaiki diri. Tak masalah baginya berapa kali dia akan dibantai. Asal dengan bantaian itu dia akan bisa menjadi lebih baik.

Demikian juga jika dia dipuji. Seorang yang memiliki keinginan untuk maju tak akan mudah puas dengan pujian yang dia dapatkan kala itu. Dia akan mempelajari apa yang membuat orang lain puas. Lalu menjadikannya sebagai formulanya, hingga ke depannya dia dapat membuat orang lain kembali puas dan dia kembali mendapatkan pujian itu. Begitu seterusnya.

Jadi, intinya adalah keinginan untuk maju. Adakah keinginan itu di dalam dirimu?




No comments:

Post a Comment