Ada yang tahu makna single fighter? Ini bukan tentang adu tinju, gulat, atau olahraga fisik semacam itu. Istilah ini mengacu pada keadaan di mana kita berjuang sendirian, berjuang seorang diri. Jadi terasa benar-benar ‘single’ yang menjalankan tugas sebagai ‘fighter’.
Keadaan ini sering dialami oleh teman-teman di sekitar saya. Entah memang benar-benar single fighter, atau hanya sekedar ‘merasa’ sebagai single fighter. Saya sendiri pun pernah mengalaminya. Waktu itu, saya dan sahabat sejati saya dengan berdiskusi ngalor ngidul tanpa ada fokus bahasan. Tiba-tiba muncul saja mosi kalau masing-masing dari kami merasa lebih menjadi single fighter disbanding yang lain.
Sahabat karib saya merasakan kalau hidup di perantauan itu susah. Apalagi dia belum memiliki pekerjaan. Setiap keputusan hidup harus ia tetapkan sendiri. Segala risiko pilihan harus ia tanggung sendiri. Belum ada seseorag yang mendampinginya. Dia merasa benar-benar seperti single fighter di dunia ini.
Demikian juga saya. Saya yang telah kehilangan sahabat terbaik saya pun merasa kalau saya adalah single fighter di dunia ini. Saya tak bisa menumpahkan segala keruwetan hidup lagi bersamanya. Saya tak bisa lagi mendengar bagaimana dia berjuang untuk keluarganya. Hingga akhirnya saya merasa kalau di dunia, dalam kehidupan pribadi saya, hanya ada saya yang berjuang untuk semuanya.
Tapi semua pendapat kami tersebut terbantahkan. Saya melemahkan pendapatnya, begitu pun dia. Saya merasa kalau dia itu tidak single fighter. Demikian pula dia. Dia merasa saya juga tak pantas dibilang sebagai single fighter. Kenapa?
Karena sejatinya, kita lah yang membatasi diri kita sendiri. Kita sendiri lah yang merasa kalau diri kita ini sendiri. Saya membantah sahabat saya itu karena sejatinya ada teman-teman terdekatnya yang membantu memberikan masukan dalam mengambil keputusan. Pun dalam menghadapi risiko yang akan muncul dari sebuah pilihan. Begitu pula dalam kehidupan saya. Saya punya sahabat lain yang bisa dijadikan teman berjuang. Bahkan, dia sendiri bukankah sahabat saya juga?
Memang aneh. Tapi begitulah adanya. Merasa sendiri itu memang tidak menyenangkan. Tapi setelah itu kami jadi bisa memahami. Kami lah yang kurang membuka diri. Seandainya kami lebih terbuka pada orang lain, mungkin sahabat saya akan merasakan andil orang lalin tersebut dalam keputusaannya. Demikian pula saya, kalau saya mau sedikit saja membuka pintu untuk andil seseorang, saya pasti tidak merasa sedang berjuang sendirian.
Masalahnya, manusia memang cenderung suka menutup diri. Padahal, di luar sana ada manusia-manusia lain yang siapa tahu siap menemani. Percaya saja. Manusia itu adalah makhluk sosial. Mau sekuat apapun, manusia pasti membutuhkan orang lain dan mau merasa sesendiri apapun, manusia lain pasti akan terlibat dalam hidup kita.
Dalam hal penting selama hidup misalnya. Ketika kita lahir, mau sesendiri apapun, ibu kita tetap butuh bidan atau dokter untuk proses melahirkan. Untuk menikah pun, kita butuh saksi. Apalagi ketika kita mati. Tak mungkin diri kita mengkafani sendiri, atau langsung stan by menggali kubur dan memasukinya sendiri.
Tapi, bagaimana jika kita telah terbuka tapi tetap saja tak ada satu makhluk pun yang menunjukkan jiwa sosialnya? Tak masalah. Tinggal kuatkan diri kita saja. Karena semakhluk sosial apapun, kita tetaplah seorang diri. Dalam arti, kita ini seseorang yang tunggal. Kita lahir juga seorang diri. Ketika kita mati juga akan sendiran. Begitu pula ketika di akhirat. Kita benar-benar akan menjadi single fighter di sana. Tak ada lagi makhluk sosial yang sudi ikut menanggung segala amal perbuatan kita.
So, cobalah terbuka. Atau opsi kedua dengan menguatkan diri saja. Bukalah mata, kau pasti akan kuat karena ada jutaan single fighter di luar sana.
*special untuk kawanku. Semangat…^^
sip :)
ReplyDelete