Follow Us @soratemplates

Wednesday 15 June 2022

No Ijir!

22:13 0 Comments




Ada istilah menarik yang saya dapat malam ini. Kebetulan saya baru selesai mengikuti sesi zoom yang mengundang Pak Dodik Maryanto, inisiator Ibu Profesional. Dalam sesi tersebut Pak Dodik menyampaikan bahwa karakter orang yang hangat dan guyup adalah tidak ijir. Apa itu?


Pak Dodik memberi contoh seperti ini. Misalkan di sebuah rumah sudah dibuat kesepakatan pembagian tugas. Si kakak bertugas mencuci piring, si adik menyapu lantai. Suatu ketika kakak sedang sibuk ujian sekolah. Alhasil cucian piring pun menumpuk. Melihat hal itu adik seolah menutup mata. Baginya, itu adalah tugas kakak. Tugas dia cukup menyapu lantai lalu selesai. Nah, inilah yang disebut ijir. Bisa dibilang sikap ini semacam membuat perhitungan.


Saya pun langsung terefleksikan kejadian kemarin dengan Mas Z. Saya mempunyai beberapa peraturan yang sudah disepakati dengan anak, salah satunya yaitu tentang aturan kalau setelah selesai makan maka piring dikembalikan ke tempat cuci piring. Nah kemarin Mas Z makan sambil menonton video. Ketika selesai makan, piring masih tergeletak begitu saja.


Saya pun mengingatkan (note: di sini saya mengingatkan, bukan menyuruh karena memang sudah disepakati sebelumnya. Plus karena dalam teori komunikasi dengan anak dikatakan bahwa anak sebaiknya tidak disuruh tapi dipantik atau dipancing untuk melakukan sesuatu). 


"Mas, piringnya kalau selesai ditaruh mana?" Ya, saya memakai teknik bertanya. Ini ada triknya juga. Dengan bertanya begini, anak tidak merasa untuk disuruh. Namun ketika menjawab pertanyaan artinya dia tahu apa yang memang seharusnya dia lakukan.


Seolah sudah tahu apa yang saya harapkan, Mas Z menjawab, "Mami aja yang naruh ke belakang"


Waduh, ini sih di luar skenario. Kok dia malah minta saya yang naruh ke belakang. Hm....

Maka, saya pun memakai trik konsekuensi. Saya ingatkan,"Yang makan kan kamu. Ya berarti kamu yang ngembalikan ke belakang."

Bukannya mengambil piring lalu beranjak ke belakang, si bocah justru menjawab, "Yang nyuruh makan kan Mami. Mami aja yang ngembalikan"

Lhah!


Dari kejadian itu, ada beberapa poin yang saya refleksikan. Pertama tentang ijir itu tadi. Kalau memakai pendekatan ijir, seharusnya tidak perlu saling melimpahkan tanggung jawab untuk mengembalikan piring. Siapa yang merasa 'terpanggil' seharusnya langsung mengambil aksi untuk mengembalikan piring ke belakang.


Namun, ini sedikit bertolak belakang dengan prinsip saya yang membiasakan tanggung jawab dan konsekuensi. Contoh lain misal melihat bungkus bekas makanan tergeletak di lantai. Dibandingkan langsung memungut dan membuang ke sampah, saya cenderung akan melontarkan pertanyaan, "Siapa ini yang sudah makan jajan tapi bungkusnya ditaruh di lantai?" Biasanya dengan pertanyaan begini, anak akan menengok dan begitu tahu itu bungkus bekas makanannya maka dia yang akan memungut dan membuang ke tempat sampah. Kalau memakai konsep tidak ijir, maka seharusnya saya tidak ambil perhitungan dan langsung membuang sampah itu begitu saja.


Sebagai solusinya, saya melihat ada poin kedua di kejadian kemarin, yaitu tentang kesepakatan. Karena saya yang meminta anak untuk makan (padahal dia sebenarnya tidak ingin makan) maka dia merasa saya lah yang seharusnya mengembalikan piring. Artinya sebenarnya ijir ini meski mungkin muncul karena kesepakatan, bisa juga dieliminasi dengan kesepakatan. Misal, oke karena Mami yang meminta makan, maka Mami yang akan mengembalikan. Dalam kasus cucian piring kakak tadi juga bisa dibuat demikian. Boleh saja dibuat kesepakatan tambahan, misal oke karena kakak sedang ujian maka adik yang akan membantu mencuci piring dan lain waktu kakak gantian membantu menyapu lantai.


Kesepakatan ini seharusnya dibuat di awal, bukan di akhir sehingga tidak terkesan lari dari tanggung jawab dan terkesan ijir tadi. Dengan begitu artinya melatihkan tanggung jawab dan konsekuensi tetap bisa berjalan. Namun di satu sisi tidak menimbulkan sikap egois dan saling melempar kewajiban.

Tuesday 14 June 2022

Mami Capek

19:45 0 Comments

menyapu lantai



Brak! Saya meletakkan ember berisi pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran ke lantai kamar siang tadi. Ya, memang ada suara 'brak' karena kali ini saya meletakkan dengan sedikit keras, jika tidak ingin disebut membanting. Lalu saya memalingkan badan begitu saja, keluar dari kamar, dan menutup pintu dengan cepat hingga muncul suara yang hampir serupa.


Beberapa menit sebelumnya, saya sempat bernada tinggi pada dua bocah yang sedang bermain di kasur. "Mami capek!"

Sejak bangun Subuh tadi, ada saja yang harus dikerjakan. Kebetulan adik baby kurang kooperatif dari tadi malam. Jam tidur malam hari berkurang, sejak pagi pun tidak mau dibaringkan. Alhasil pekerjaan satu demi satu saling beruntun hingga lepas dhuhur belum juga selesai dirampungkan.


Di jam krusial energi yang mulai menipis, sedikit ulah duo kakak itu memang menjadi tantangan yang sangat menggoda iman. Maksud hati ingin rebahan barang sejenak, tapi apa daya baru beberapa menit mata terpejam bersama baby, duo kakak justru berteriak. Refleks, saya pun ikut berteriak, "Mami capek!"


Belum seratus persen saya menetralkan diri, mendadak terdengar suara air menghantam genteng rumah. Hujan! Saya sontak beranjak dari kasur dan bergegas ke atas, mengambil jemuran. Maka terjadilah adegan tadi. Saya yang masih kesal karena mendadak terbangun dari tidur dilanjut kewalahan karena segera mengangkat jemuran, langsung membanting ember berisi baju ke lantai kamar.


Ketika akhirnya saya memilih keluar kamar dan merebahkan diri di kursi tamu bersama baby, saya mendengar kedua kakak itu bercakap. Mas Z sempat membuka pintu kamar sejenak, memastikan kondisi Maminya yang mendadak mengurung diri di luar kamar. Lewat celah pintu yang tak sengaja terbuka karena Mas Z tidak menutupnya lagi, saya melihat mereka berdua tengah asyik sendiri. Tidak ada suara ribut, yang ada mereka seperti sedang sibuk melakukan sesuatu.


Beberapa saat kemudian (cukuplah buat saya melakukan afirmasi dan hipnosis agar merasa rileks meski hanya beberapa menit) Kak A keluar dari kamar dan berkata, "Udah, Ma". Semula saya tak menggubrisnya. Saya memilih tetap bersandar di kursi dan tidak menghiraukan perkataanya yang seolah meminta saya kembali ke kamar. Namun karena melihat dia yang seperti berharap, akhirnya saya memutuskan masuk kamar juga.


Ternyata, baju bersih yang di ember tadi sudah terlipat dan ditata berjajar di kasur. Masya Allaah...

Kak A pun di luar kamar berkata, "Udah ya, Ma. Aku mau nyapu dulu." Dia pun lantas mengambil sapu dan menyapu ruang tengah dan ruang tamu. Tak berapa lama, dia keluar rumah dan mengambil sapu lidi untuk menyapu jalan. Saya sempat menahan biar tidak usah di sapu saja, tapi dia bersikeras menyapu karena baru saja selesai hujan dan pasti ada daun yang berjatuhan.


Dari dalam kamar saya mendengar ada suara di luar sana. Entahlah, mungkin tetangga akan mempertanyakan tumben sekali anak ini menyapu. Atau justru tidak habis pikir kenapa anak enam tahun mendadak menyapu jalan di siang menjelang sore begitu. Biarlah...


Dari kejadian tadi saya banyak belajar. Ada poin positif ketika saya menyampaikan kondisi saya pada duo kakak. Ya, saya bilang dengan jujur kalau saya capek. Meskipun cara saya menyampaikan masih kurang baik karena dengan nada keras, setidaknya mereka tahu kenapa Maminya mendadak menjadi emosional. Paling tidak mereka belajar bahwa saya marah bukan karena ingin marah, tetapi karena saya lelah sehingga butuh istirahat.


Saya pun belajar menangkap sisi lain dari duo kakak. Ternyata mereka berhati peka. Tanpa diminta, mereka melakukan pekerjaan rumah, sebagai tanda bahwa mereka memahami Maminya yang memang sedang lelah. Saya tidak berharap mereka akan membantu melakukan pekerjaan rumah, yang saya harapkan sekedar mereka tidak ribut dan saya bisa beristirahat sejenak bersama baby. Namun ternyata saya justru mendapat lebih. Saya bisa sejenak menepi dan justru duo kakak menyelesaikan pekerjaan rumah atas kemauannya sendiri. Masya Allah tabaarakallah...


Dari sini saya belajar untuk berkomunikasi dengan lebih baik lagi. Saya juga harus belajar untuk lebih memahami mereka, karena ternyata mereka pun sebenarnya bisa memahami saya. Alhamdulillah.


Friday 10 June 2022

Mamamu Nekat

10:29 0 Comments



Mamamu nekat. Kalimat itu dilontarkan oleh ibu pemilik usaha jasa foto di dekat kampus. Dia berkomentar begitu karena melihat saya membawa adik bayi yang baru satu bulan keluar rumah. Bisa dibayangkan saya menggendong baby sambil membonceng Mas Z dan mengendarai motor sendiri. Saat dikomentari itu, saya cuma tersenyum.


Sebetulnya suami sempat berkomentar saerupa juga sebelumnya. Bahaya! Masa iya mau keluar naik motor sambil bawa adik bayi? Tapi, ya mau gimana lagi. Mas Z mau daftar sekolah dan salah satu persyaratannya adalah melampirkan pas foto. Karena tidak punya, mau tidak mau harus membuat dulu kan. Berhubung tidak ada yang mengantar, suka atau tidak suka harus beraksi sendiri jadinya. Nekat? Ya mau gimana lagi.


Beberapa pekan sebelumnya pun si bayi ini saya bawa praktik sore. Usianya baru 3 pekan tapi sudah saya ajak untuk mengais rejeki. Emang urgent? Dipikirnya segitu amat sih cari uang. Kenapa ga ntar aja. Kasihan kan bayi belum sebulan udah harus diajak pergi. Tapi karena ada pasien yang sudah menghubungi beberapa kali, saya pun mencoba untuk kembali buka. Dan karena support system belum terbentuk, semua pasukan pun diajak serta. Dibilang nekat? Maybe, tapi mau gimana lagi.


Sepekan setelah melahirkan pun saya sudah membuka laptop dan keluar naik motor sendiri. Waktu itu masih cukup waras si jabang bayi tidak saya ajak serta. Seperti yang sudah diduga, ada komentar yang menyertai juga, "Sudah berani naik motor?" Lhah, memang kenapa? Mungkin di benaknya saya dianggap nekat juga. Baru sepekan melahirkan kok sudah mblayang dan mengerjakan apa saja.


Kalau ditelaah mungkin kesannya memang nekat. Tapi terkadang ada kondisi yang mau tidak mau memang harus dilakukan. Sesuatu yang rasanya impossible, suka atau tidak suka akhirnya berubah menjadi i'm possible. Bukannya memforsir atau memaksakan diri, tapi jika memang harus dilalui ternyata bisa juga terlampaui. Mungkin faktor the power of kepepet berlaku di sini.


Setiap orang tidak selalu memiliki kondisi yang 'biasa' dialami oleh mayoritas wanita pada umumnya. Terkadang harus ada kondisi luar biasa yang datang dengan sendirinya. Berhubung ada kondisi luar biasa itulah, dia pun berubah menjadi wanita luar biasa. Sayangnya kondisi yang di luar dari kebiasaan ini kemudian dianggap sebagai sebuah keanehan hingga dianggap nekat bagi sebagian orang.


Namun jika dikaji ulang, nyatanya bisa saja kan wanita itu melakukan hal tak biasa tadi. Bahkan kalau mau songong, bisa saja kita bertanya apa sih yang tidak bisa dilakukan oleh seorang ibu. Ups, ini bukan nyerempet isu tentang emansipasi atau feminisme. Maksudnya gini. Ibarat kata, seorang wanita sudah melahirkan dengan demikian sakitnya hingga akhirnya punya baby. Istilahnya dia sudah mengorbankan separuh nyawanya. Masa iya hanya untuk berjuang pada hal lain yang jelas tidak sampai mengorbankan nyawa saja dia tidak bisa. 


Maka, mewakili emak yang sedang dalam kondisi luar bisa, bukan maksud hati kami untuk berbuat nekat dan di luar nalar kewajaran. Namun situasilah yang menempa kami untuk menyesuaikan diri. Bahwa kami adalah emak tak biasa yang bertransformasi menjadi supermom yang harus mengusahakan segalanya. Jangan anggap kami nekat, tapi lihatlah bahwa kami punya cinta untuk melakukan semuanya.

Sunday 5 June 2022

Aku Tidak Bisa Memasak

11:23 0 Comments

memasak


Suatu waktu saya diminta untuk mengklasifikasian semua aktivitas saya sehari-hari. Kegiatan-kegiatan itu digolongkan menjadi empat kuadran: suka dan bisa; suka tapi tidak bisa; bisa tapi tidak suka; serta tidak suka dan tidak bisa. Kuadran pertama (suka bisa) menjadi potensi untuk difokuskan di sana. Kuadra kedua (suka tidak bisa) menjadi salah satu ranah hobi kita. Sekedar suka saja, tapi tidak sampai benar-benar menjadi maestro di bidang itu. Kuadran tiga (bisa tidak suka) mungkin menjadi salah satu kompetensi kita untuk bekerja misalnya. Dan kuadran keempat (tidak bisa tidak suka) menjadi aktivitas yang sebaiknya ditinggalkan karena membuang-buang waktu.


Semua aktivitas yang pernah kita lakukan diminta untuk digolongkan dalam empat kuadran tersebut. Salah satu aktivitas yang membingungkan adalah memasak.


Bagi saya, memasak bukanlah sebuah hobi. Maka, tentu dia bukan 'suka dan tidak bisa'. Tapi tidak juga sebagai aktivitas yang membuang-buang waktu. Berarti memasak seharusnya menjadi akitivitas di kuadran tiga bukan? Artinya memasak adalah aktivitas di mana saya bisa, tetapi saya tidak suka. Tapi entah kenapa, bagi saya memasak bukanlah aktivitas yang saya 'bisa'.


Saya 'tidak bisa' memasak. Setiap pagi ibu mertua sudah asyik membenamkan dirinya di dapur, meramu masakan sesuai selera beliau. Maka saya 'tidak bisa' memasak. Sejak pagi saya harus mengambil peran ini itu, dengan shift dapur yang masih dipakai ibu, maka saya 'tidak bisa' memasak karena harus segera memburu waktu mengambil peran berikutnya. Maka saya selalu menganggap waktu saya 'tidak bisa' untuk memasak. Pun karena saya tak terbiasa memasak, mungkin insting rasa saya pun tak semahir jika sudah memegang panci dan segala alat tempur masak lainnya. Hingga boleh jadi saya memang benar-benar tidak bisa memasak.


Parahnya, mungkin saja saya justru 'tidak suka' memasak. Saya 'tidak suka' jika harus memasak dan lantas masakan yang sudah dibuat ibu semula jadi tidak termakan. Pertama mubadzir, kedua membuang waktu dan tenaga, ketiga akan membuat luka. Jadi, mungkin saya juga 'tidak bisa' memasak karena saya 'tidak suka' konsekuensi jika saya memasak.


Tapi, ternyata saya 'bisa' memasak. Qodarullah ibu sakit beberapa hari belakangan. Urusan dapur tak ada yang memegang. Serta merta ibu mertua memberi lampu hijau bagi saya untuk sejenak duduk di dapur dan melakukan apapun yang saya mau. Maka saya bisa memasak dari segi ruang dan waktu. Dari segi rasa? Saya tak berani berharap banyak. Namun melihat dua bocah mau dengan ikhlas memakan masakan saya, bahkan sesekali minta tambah untuk menu tertentu membuat saya tersadar, "Ah, barangkali saya sebenarnya memang 'bisa' masak."


Ada yang menarik yang saya tangkap di sini. Boleh jadi kita menganggap diri kita tak berarti, tak berdaya, tak bisa melakukan sesuatu, tetapi mungkin rasa tak bisa itu karena tak ada kesempatan yang datang pada kita. Mungkin jika moment itu tiba, maka akan terbukti bahwa sebenarnya kita bisa. Jadi PRnya adalah bagaimana menemukan kesempatan demi kesempatan untuk membuktikan bahwa kita bisa dan bukan termakan oleh asumsi diri sendiri jika kita tak bisa apa-apa.


Fighting! Just do the best! 

Saturday 4 June 2022

Anak Biasa dari Ibu Luar Biasa?

09:50 0 Comments
ibu dan anak



Saya sedang menonton serial drama korea Green Mother's Club saat ini. Buat emak-emak yang anaknya sudah masuk sekolah seperti saya, drama ini sangat relate dengan kehidupan pribadi saya sendiri.


Tokoh utama drama ini adalah Lee Eun Pyo, seorang calon profesor muda yang tiba-tiba berhenti bekerja karena ulah anaknya mengunggah artikel pribadi di media. Lalu mereka pindah ke lingkungan baru dengan gaya parenting ambisius di sekolah anaknya. Eun Pyo yang memiliki gaya mendidik permisif tanpa memaksakan ini itu pada sang anak dihadapkan pada kenyataan bahwa anaknya membuat ulah dan tidak konsentrasi di kelas. Sang anak dianggap tertinggal dan tak pantas berada di lingkungan high class seperti mereka.


Meski saya baru menyimak sampai episode empat, beberapa scene drama ini seolah menceritakan diri saya sendiri. Eun Pyo sebagai seorang dosen dianggap berpendidikan dan sukses. Lantas seolah menjadi stereotype kalau anaknya pun seharusnya cerdas dan mumpuni layaknya sang ibu. Bukankah ibunya profesor.


Tapi ternyata di awal episode sang anak terkesan tak berpendidikan. Dia tak bisa mengikuti pelajaran. Lantas dengan kondisi itu seolah muncul omongan miring, "Ibunya sibuk dengan dirinya sendiri dan tak peduli dengan pendidikan anaknya."


Jlebb


Rasanya poin ini sedikit menampar. Di kehidupan pribadi kadang kala orang beranggapan begitu juga. Kan anaknya dokter pasti pinter. "Pasti"? Siapa yang membuat kata pasti ini? Lalu ketika sebagai dokter masih berkomitmen untuk praktik, mungkin di satu sisi dia akan terkesan hebat. Namun dengan kesibukannya di ranah publik, ternyata ada pendidikan sang anak yang barangkali harus disesuaikan. Lalu, di poin ini apakah akan menjadi terkesan egois karena tidak totalitas pada akademis anaknya karena sambil memikirkan kariernya?


Lantas ketika sang anak sekolah, ternyata perkembangannya tidak optimal. Dia bukan si anak paling cerdas di kelasnya, yang mungkin berbeda dengan sang ibu yang menjadi primadona di masa sekolahnya. Hingga orang tua lain pun mungkin menyayangkan, apa anak ini tidak pernah belajar dan dididik ibunya di rumah? Belum lagi ketika gaya mendidik yang muncul terkesan berbeda dengan mayoritas orang tua. Stigma aneh dan tidak selevel kemudian muncul seketika.


Diakui atau tidak, perasaan itu muncul ketika Kak A mulai sekolah. Saya dengan paham parenting yang tidak memaksakan calistung pada anak mendadak melongo ketika anak usia 5 tahun sudah bisa membaca buku cerita, menulis, atau membaca mushaf quran. Awalnya merasa tidak ada yang salah, toh memang saya tidak mengajarkannya. Lalu, seperti di serial drama tersebut, muncul rasa bersalah kenapa tidak diajarkan lebih awal. Bukankah anak-anak pada umumnya sudah belajar demikian sejak usianya sangat muda. Bukankah tuntutan akademis memang begitu.


Hanya saja di episode keempat ini muncul fakta bahwa ternyata sang anak sangat jenius. Eun Pyo dipanggil oleh sang guru bahwa anaknya istimewa sehingga harus diperhatikan dengan lebih baik. Begitu juga ketika di tes kecerdasan, ternyata sang anak memiliki kecerdasan 0,01% teratas.


Di sini poinnya. Setiap anak pasti memiliki titik kelebihannya. Hanya saja mungkin orang tua belum bisa menggalinya. Mungkin kita kurang peka, atau karena terlalu memukul rata bahwa semua anak harus pintar secara akademis dan diraih dengan cara yang sama. Padahal burung tidak bisa dinilai jika dia diminta berenang, kuda tak akan dianggap tangguh jika dia diminta memanjat.


Ya, itu PR buat saya. Buat kita semua. Bagaimana kita bisa menemukan kelebihan anak dan membuatnya bersinar tanpa rendah diri karena mungkin berbeda dengan mayoritas anak lainnya. Semoga kita bisa menumbuhkan fitrahnya tanpa mencederainya hanya demi serupa dengan anak pada umumnya. Aamin.