Saya sedang menonton serial drama korea Green Mother's Club saat ini. Buat emak-emak yang anaknya sudah masuk sekolah seperti saya, drama ini sangat relate dengan kehidupan pribadi saya sendiri.
Tokoh utama drama ini adalah Lee Eun Pyo, seorang calon profesor muda yang tiba-tiba berhenti bekerja karena ulah anaknya mengunggah artikel pribadi di media. Lalu mereka pindah ke lingkungan baru dengan gaya parenting ambisius di sekolah anaknya. Eun Pyo yang memiliki gaya mendidik permisif tanpa memaksakan ini itu pada sang anak dihadapkan pada kenyataan bahwa anaknya membuat ulah dan tidak konsentrasi di kelas. Sang anak dianggap tertinggal dan tak pantas berada di lingkungan high class seperti mereka.
Meski saya baru menyimak sampai episode empat, beberapa scene drama ini seolah menceritakan diri saya sendiri. Eun Pyo sebagai seorang dosen dianggap berpendidikan dan sukses. Lantas seolah menjadi stereotype kalau anaknya pun seharusnya cerdas dan mumpuni layaknya sang ibu. Bukankah ibunya profesor.
Tapi ternyata di awal episode sang anak terkesan tak berpendidikan. Dia tak bisa mengikuti pelajaran. Lantas dengan kondisi itu seolah muncul omongan miring, "Ibunya sibuk dengan dirinya sendiri dan tak peduli dengan pendidikan anaknya."
Jlebb
Rasanya poin ini sedikit menampar. Di kehidupan pribadi kadang kala orang beranggapan begitu juga. Kan anaknya dokter pasti pinter. "Pasti"? Siapa yang membuat kata pasti ini? Lalu ketika sebagai dokter masih berkomitmen untuk praktik, mungkin di satu sisi dia akan terkesan hebat. Namun dengan kesibukannya di ranah publik, ternyata ada pendidikan sang anak yang barangkali harus disesuaikan. Lalu, di poin ini apakah akan menjadi terkesan egois karena tidak totalitas pada akademis anaknya karena sambil memikirkan kariernya?
Lantas ketika sang anak sekolah, ternyata perkembangannya tidak optimal. Dia bukan si anak paling cerdas di kelasnya, yang mungkin berbeda dengan sang ibu yang menjadi primadona di masa sekolahnya. Hingga orang tua lain pun mungkin menyayangkan, apa anak ini tidak pernah belajar dan dididik ibunya di rumah? Belum lagi ketika gaya mendidik yang muncul terkesan berbeda dengan mayoritas orang tua. Stigma aneh dan tidak selevel kemudian muncul seketika.
Diakui atau tidak, perasaan itu muncul ketika Kak A mulai sekolah. Saya dengan paham parenting yang tidak memaksakan calistung pada anak mendadak melongo ketika anak usia 5 tahun sudah bisa membaca buku cerita, menulis, atau membaca mushaf quran. Awalnya merasa tidak ada yang salah, toh memang saya tidak mengajarkannya. Lalu, seperti di serial drama tersebut, muncul rasa bersalah kenapa tidak diajarkan lebih awal. Bukankah anak-anak pada umumnya sudah belajar demikian sejak usianya sangat muda. Bukankah tuntutan akademis memang begitu.
Hanya saja di episode keempat ini muncul fakta bahwa ternyata sang anak sangat jenius. Eun Pyo dipanggil oleh sang guru bahwa anaknya istimewa sehingga harus diperhatikan dengan lebih baik. Begitu juga ketika di tes kecerdasan, ternyata sang anak memiliki kecerdasan 0,01% teratas.
Di sini poinnya. Setiap anak pasti memiliki titik kelebihannya. Hanya saja mungkin orang tua belum bisa menggalinya. Mungkin kita kurang peka, atau karena terlalu memukul rata bahwa semua anak harus pintar secara akademis dan diraih dengan cara yang sama. Padahal burung tidak bisa dinilai jika dia diminta berenang, kuda tak akan dianggap tangguh jika dia diminta memanjat.
Ya, itu PR buat saya. Buat kita semua. Bagaimana kita bisa menemukan kelebihan anak dan membuatnya bersinar tanpa rendah diri karena mungkin berbeda dengan mayoritas anak lainnya. Semoga kita bisa menumbuhkan fitrahnya tanpa mencederainya hanya demi serupa dengan anak pada umumnya. Aamin.
No comments:
Post a Comment