Ada istilah menarik yang saya dapat malam ini. Kebetulan saya baru selesai mengikuti sesi zoom yang mengundang Pak Dodik Maryanto, inisiator Ibu Profesional. Dalam sesi tersebut Pak Dodik menyampaikan bahwa karakter orang yang hangat dan guyup adalah tidak ijir. Apa itu?
Pak Dodik memberi contoh seperti ini. Misalkan di sebuah rumah sudah dibuat kesepakatan pembagian tugas. Si kakak bertugas mencuci piring, si adik menyapu lantai. Suatu ketika kakak sedang sibuk ujian sekolah. Alhasil cucian piring pun menumpuk. Melihat hal itu adik seolah menutup mata. Baginya, itu adalah tugas kakak. Tugas dia cukup menyapu lantai lalu selesai. Nah, inilah yang disebut ijir. Bisa dibilang sikap ini semacam membuat perhitungan.
Saya pun langsung terefleksikan kejadian kemarin dengan Mas Z. Saya mempunyai beberapa peraturan yang sudah disepakati dengan anak, salah satunya yaitu tentang aturan kalau setelah selesai makan maka piring dikembalikan ke tempat cuci piring. Nah kemarin Mas Z makan sambil menonton video. Ketika selesai makan, piring masih tergeletak begitu saja.
Saya pun mengingatkan (note: di sini saya mengingatkan, bukan menyuruh karena memang sudah disepakati sebelumnya. Plus karena dalam teori komunikasi dengan anak dikatakan bahwa anak sebaiknya tidak disuruh tapi dipantik atau dipancing untuk melakukan sesuatu).
"Mas, piringnya kalau selesai ditaruh mana?" Ya, saya memakai teknik bertanya. Ini ada triknya juga. Dengan bertanya begini, anak tidak merasa untuk disuruh. Namun ketika menjawab pertanyaan artinya dia tahu apa yang memang seharusnya dia lakukan.
Seolah sudah tahu apa yang saya harapkan, Mas Z menjawab, "Mami aja yang naruh ke belakang"
Waduh, ini sih di luar skenario. Kok dia malah minta saya yang naruh ke belakang. Hm....
Maka, saya pun memakai trik konsekuensi. Saya ingatkan,"Yang makan kan kamu. Ya berarti kamu yang ngembalikan ke belakang."
Bukannya mengambil piring lalu beranjak ke belakang, si bocah justru menjawab, "Yang nyuruh makan kan Mami. Mami aja yang ngembalikan"
Lhah!
Dari kejadian itu, ada beberapa poin yang saya refleksikan. Pertama tentang ijir itu tadi. Kalau memakai pendekatan ijir, seharusnya tidak perlu saling melimpahkan tanggung jawab untuk mengembalikan piring. Siapa yang merasa 'terpanggil' seharusnya langsung mengambil aksi untuk mengembalikan piring ke belakang.
Namun, ini sedikit bertolak belakang dengan prinsip saya yang membiasakan tanggung jawab dan konsekuensi. Contoh lain misal melihat bungkus bekas makanan tergeletak di lantai. Dibandingkan langsung memungut dan membuang ke sampah, saya cenderung akan melontarkan pertanyaan, "Siapa ini yang sudah makan jajan tapi bungkusnya ditaruh di lantai?" Biasanya dengan pertanyaan begini, anak akan menengok dan begitu tahu itu bungkus bekas makanannya maka dia yang akan memungut dan membuang ke tempat sampah. Kalau memakai konsep tidak ijir, maka seharusnya saya tidak ambil perhitungan dan langsung membuang sampah itu begitu saja.
Sebagai solusinya, saya melihat ada poin kedua di kejadian kemarin, yaitu tentang kesepakatan. Karena saya yang meminta anak untuk makan (padahal dia sebenarnya tidak ingin makan) maka dia merasa saya lah yang seharusnya mengembalikan piring. Artinya sebenarnya ijir ini meski mungkin muncul karena kesepakatan, bisa juga dieliminasi dengan kesepakatan. Misal, oke karena Mami yang meminta makan, maka Mami yang akan mengembalikan. Dalam kasus cucian piring kakak tadi juga bisa dibuat demikian. Boleh saja dibuat kesepakatan tambahan, misal oke karena kakak sedang ujian maka adik yang akan membantu mencuci piring dan lain waktu kakak gantian membantu menyapu lantai.
Kesepakatan ini seharusnya dibuat di awal, bukan di akhir sehingga tidak terkesan lari dari tanggung jawab dan terkesan ijir tadi. Dengan begitu artinya melatihkan tanggung jawab dan konsekuensi tetap bisa berjalan. Namun di satu sisi tidak menimbulkan sikap egois dan saling melempar kewajiban.
No comments:
Post a Comment