Suatu waktu saya diminta untuk mengklasifikasian semua aktivitas saya sehari-hari. Kegiatan-kegiatan itu digolongkan menjadi empat kuadran: suka dan bisa; suka tapi tidak bisa; bisa tapi tidak suka; serta tidak suka dan tidak bisa. Kuadran pertama (suka bisa) menjadi potensi untuk difokuskan di sana. Kuadra kedua (suka tidak bisa) menjadi salah satu ranah hobi kita. Sekedar suka saja, tapi tidak sampai benar-benar menjadi maestro di bidang itu. Kuadran tiga (bisa tidak suka) mungkin menjadi salah satu kompetensi kita untuk bekerja misalnya. Dan kuadran keempat (tidak bisa tidak suka) menjadi aktivitas yang sebaiknya ditinggalkan karena membuang-buang waktu.
Semua aktivitas yang pernah kita lakukan diminta untuk digolongkan dalam empat kuadran tersebut. Salah satu aktivitas yang membingungkan adalah memasak.
Bagi saya, memasak bukanlah sebuah hobi. Maka, tentu dia bukan 'suka dan tidak bisa'. Tapi tidak juga sebagai aktivitas yang membuang-buang waktu. Berarti memasak seharusnya menjadi akitivitas di kuadran tiga bukan? Artinya memasak adalah aktivitas di mana saya bisa, tetapi saya tidak suka. Tapi entah kenapa, bagi saya memasak bukanlah aktivitas yang saya 'bisa'.
Saya 'tidak bisa' memasak. Setiap pagi ibu mertua sudah asyik membenamkan dirinya di dapur, meramu masakan sesuai selera beliau. Maka saya 'tidak bisa' memasak. Sejak pagi saya harus mengambil peran ini itu, dengan shift dapur yang masih dipakai ibu, maka saya 'tidak bisa' memasak karena harus segera memburu waktu mengambil peran berikutnya. Maka saya selalu menganggap waktu saya 'tidak bisa' untuk memasak. Pun karena saya tak terbiasa memasak, mungkin insting rasa saya pun tak semahir jika sudah memegang panci dan segala alat tempur masak lainnya. Hingga boleh jadi saya memang benar-benar tidak bisa memasak.
Parahnya, mungkin saja saya justru 'tidak suka' memasak. Saya 'tidak suka' jika harus memasak dan lantas masakan yang sudah dibuat ibu semula jadi tidak termakan. Pertama mubadzir, kedua membuang waktu dan tenaga, ketiga akan membuat luka. Jadi, mungkin saya juga 'tidak bisa' memasak karena saya 'tidak suka' konsekuensi jika saya memasak.
Tapi, ternyata saya 'bisa' memasak. Qodarullah ibu sakit beberapa hari belakangan. Urusan dapur tak ada yang memegang. Serta merta ibu mertua memberi lampu hijau bagi saya untuk sejenak duduk di dapur dan melakukan apapun yang saya mau. Maka saya bisa memasak dari segi ruang dan waktu. Dari segi rasa? Saya tak berani berharap banyak. Namun melihat dua bocah mau dengan ikhlas memakan masakan saya, bahkan sesekali minta tambah untuk menu tertentu membuat saya tersadar, "Ah, barangkali saya sebenarnya memang 'bisa' masak."
Ada yang menarik yang saya tangkap di sini. Boleh jadi kita menganggap diri kita tak berarti, tak berdaya, tak bisa melakukan sesuatu, tetapi mungkin rasa tak bisa itu karena tak ada kesempatan yang datang pada kita. Mungkin jika moment itu tiba, maka akan terbukti bahwa sebenarnya kita bisa. Jadi PRnya adalah bagaimana menemukan kesempatan demi kesempatan untuk membuktikan bahwa kita bisa dan bukan termakan oleh asumsi diri sendiri jika kita tak bisa apa-apa.
Fighting! Just do the best!
No comments:
Post a Comment