Follow Us @soratemplates

Monday 7 November 2022

Memperbesar Katup

23:21 0 Comments



Pernah ga kamu merasa nominal tertentu itu bagi kamu besar sekali tapi dianggap kecil oleh orang lain? Baru-baru ini saya mengalaminya.


Ceritanya, beberapa waktu yang lalu suami pergi ke suatu daerah. Begitu pulang, beliau langsung cerita, "Mi, di daerah X itu ada pondok pesantren bagus lho. Itu murid-muridnya begini begono begene"

Mendengar ceritanya yang cuma sekilas itu, saya langsung menimpali. "Oh, aku tahu itu. Anaknya Bu X sekolah di situ. Itu kan blablabla" Langsung nyambung lah kami hingga kemudian terpikir gimana ya kalau Kak A nanti sekolah di situ.


Lalu suatu ketika saat scroll di sosial media, tiba-tiba saya teringat. Cari info tentang sekolah itu ah. Alhamdulillah ketemu instagram. Kebetulan sekali postingan beberapa waktu sebelumnya menampilkan info pendaftaran sekolah tersebut. Saya pun langsung meluncur ke laman yang dimaksud. Setelah membaca dari atas ke bawah, mata saya terbelalak, "Wow, uang masuknya segini? SPP-nya juga?"


Masih dalam nuansa takjub, saya pun cari info dua sekolah lain yang menjadi incaran semula. Ternyata sekolah ini tetap paling tinggi biayanya, bahkan tiga kali lipat dari pilihan sekolah alternatif kedua. Wow!


Esoknya ketika kebetulan membahas sekolah, saya pun melaporkan hasil penelusuran saya. Spontan saya berkata, "Itu mahal banget ternyata, Pi. Masa uang masuknya sekian. SPP sebulannya di situ bisa jadi SPP satu semester di pondok A."


Dengan santainya suami berkata,"Berarti kita perlu memperbesar katup, Mi, biar uang segitu ga kerasa mahal." Seketika saya pun bungkam. Beberapa saat Pak Su melanjutkan, "Kalau aku ga mikir gitu, Mi. Wong kita punya aset yang mencukupi kok. Harus yakin segitu biasa aja"


Blarr... Rasanya seperti tamparan keras!


Saya seperti ditabok dengan bahan bacaan saya beberapa waktu lalu tentang self talk. Salah satu bahasan tentang self talk ada konsep seseorang memandang rezeki. 


Di buku yang saya baca, penulis menceritakan pengalamannya dengan si anak yang berkata, "Seratus juta tuh besar atau kecil". Dengan santainya si anak berkata "Kecil". Benarkah kecil? Ya tentu saja tergantung mind setnya. Kalau dia sejak kecil termind set bahwa uang seratus juta itu kecil maka dia akan menganggap uang itu tidak seberapa. Beda halnya kalau menganggap uang seratus itu besar, maka dia tak terbayang hal yang lebih besar lagi di atasnya.


Perkara mind set ini memang gampang-gampang susah. Secara spontan orang menganggap sesuatu (dalam hal ini nominal tertentu) besar atau kecil seringkali karena sudah tertanam dalam alam bawah sadar. Mungkin paparan dari sejak dia masih kanak-kanak dianggap bahwa nominal tertentu itu sangat besar sekali.


Dalam kasus saya tadi, saya tertampar. Oh, berarti nominal sekian tadi sudah cukup besar ya buat saya? Berarti kalau saya mau dapat yang lebih besar, saya harus menganggap itu kecil agar layak mendapat yang lebih besar ya? Berarti memang benar harus memperbesar katup ya? Tapi untuk memulai memperbesar katup, berarti dimulai dari mengubah mind set dulu ya? Buat mengubah mind set, berarti saya harus berdamai dengan alam bawah sadar untuk menset up ulang nominal itu ya?


Wow! Dari obrolan singkat itu saja saya semacam disadarkan untuk mengubah salah satu self talk saya. Yup, bagaimana kita bisa meraih sesuatu kalau ita beranggapan kita tak pantas dan tak mampu. Maka, ubah dirimu lewat mengubah pikiranmu agar kamu benar-benar pantas menerima hal besar itu. Bismillah



Monday 31 October 2022

Me and Yumi

17:46 0 Comments


Beberapa hari terakhir ini saya sedang menonton drama korea Yumi's Cells. Eh, drakor lagi? Haha iya. Telat? Hehe iya juga. Maklum saja, saya bukan drakor addict, yang selalu update dengan drama-drama baru lalu konsisten menuis reviewnya. Bahkan pernah suatu waktu saya mengikuti sebuah drama yang baru on going. Waktu itu saya justru merasa bosan. Sepertinya akan lebih menarik ketika drama itu sudah selesai, lalu saya menyimak secara marathon. Haha, ini karena selera saja.


Begitu juga dengan Yumi's Cells ini. Sejujurnya, saya pun tidak menyimak drakor ini sebelumnya. Saya tahu drama ini karena bertanya pada salah seorang adik kesayangan. Pasalnya waktu itu saya sedang begitu penat dan ingin punya sweet escape sejenak. Tiba-tiba saja langsung terbayang untuk menyimak sebuah drama. Lalu muncullah nama drakor ini sebagai salah satu rekomendasinya.


Meski sekedar sweet escape, ternyata saya sangat menikmatinya. Bahkan drakor yang sudah sampai season dua ini pun dengan rela hati saya simak dari season pertama. Buang-buang waktu? Tidak. Saya menyukainya. Buktinya saya sampai menuliskan kesan saya terhadap drama ini di sini. Bukankah kalau tidak ada kesan maka akan lewat begitu saja?


Kenapa saya begitu terkesan?


Pertama menonton thrillernya, saya cukup bingung. Apa sih ini kok ada gambar-gambar kartunnya segala. Tapi, begitu menonton episode pertama, saya langsun berbinar. Wow, ini sel-sel dalam pikiran yang sedang berbicara ya? Bukankah ini berarti sebuah self talk. Seketika saya pun bersemangat menyimaknya.


Kebetulan sekali beberapa bulan belakangan ini saya memang sedang tertarik dengan tema self talk. Hal-hal yang ada kaitannya dengan pengelolaan pikiran dan semacamnya menjadi concern saya hampir setahun ini. Nah, ketika menemukan drama korea yang berbau self talk, rasanya seperti menemukan cinta sejati. Ah, ini nih drama yang aku mau.


Yang bikin betah bahkan beberapa kali saya tergelak adalah pengemasan self talk ini dibuat dengan animasi. Sel-sel dalam pikiran itu lucu sekali menyampaikan apa yang ingin mereka utarakan. Jika dipikir-pikir rasanya memang serumit itu ketika kita akan memikirkan atau mengucapkan sesuatu. Tapi bisa jadi juga memang selucu itu ketika kita menikmati apa saja yang melintas dalam pikiran kita.




Lalu yang membuat saya semakin relate dengan drama ini adalah di season kedua Yumi mendadak keluar dari kerja dan ingin menjadi penulis. Wow, ini mirip sekali dengan kondisi saya saat ini. Sudah enam bulan ini saya berhenti bekerja. Lalu menjadi pengangguran luntang-luntung seharian di rumah. Yah, meskipun alasan mendasarnya karena ada adik baby, tapi sedikit banyak planning yang ingin saya kerjakan hampir sama dengan Yumi. Saya ingin di rumah dan mulai menulis. Sama persis kan?


Di salah satu scene ketika Yumi meratapi nasibnya kenapa harus keluar kerja dan mulai belajar menulis di usia 33 tahun, saya pun kembali tersenyum simpul. Helow ini mirip sekali dengan saya yang juga tidak menjadi pegawai di usi 32 tahun. Pun ketika Yumi mulai membandingkan kondisinya yang semula digaji tiap bulan dengan keadaannya sekarang yang tanpa penghasilan, sedikit banyak saya pun merasakannya. Yah, tidak memungkiri kalau mendapat penghasilan tetap itu cukup membuat nyaman. Haha


Tapi akhirnya Yumi mendapat debutnya menulis novel. Di poin ini agak sedikit berbeda. Bukankah sebenarnya saya sudah memulai debut saya bahkan sepuluh tahun yang lalu? Tapi, ketika Yumi berada di performa maksimalnya, bagaimana dengan saya yang sudah sepuluh tahun tapi ternyata tidak berprogres signifikan? 


Di sini saya justru mendapat booster tersendiri. Yah, mau bagimana lagi. Maksud hati melipir sejenak untuk bersenang-senang, apa daya justru mendapat suntikan semangat untuk kembali berlari kencang. 


Haha, bismillah saja. Fighting!


Monday 17 October 2022

Pagar Mangkok

21:07 0 Comments


 


Ada istilah yang pernah saya dapat waktu masih kecil dulu. Lebih baik punya pagar mangkok daripada pagar tembok. Ada yang paham maknanya? 


Ini bukan berarti bahwa kita mensubstitusi tumpukan bata menjadi tumpukan mangkok untuk pagar di sekeliling rumah kita. Maksud dari istilah itu adalah akan lebih baik jika kita mengelilingi rumah kita dengan memberikan mangkok kepada tetangga. 


Kenapa begitu? Karena sesungguhnya tetangga adalah saudara terdekat kita. Maka, ketika kita berbuat pada tetangga dekat kita, mereka akan menjadi pagar yang ikut menjaga rumah dan keluarga kita. Kurang lebih begitu maknanya.


Nah, konsep itu saya alami betul ketika berumah tangga (walaupun dulu ketika masih tinggal dengan ibu pun saya juga tahu dan mempraktikkan hal ini). Bermula dari satu mangkok ternyata akan muncul mangkok-mangkok lain yang turut menjaga kita. Dan hingga saya menuliskan cerita ini, saya cukup takjub dengan efeknya.


Awalnya, saya membagikan gula jawa ke tetangga depan, belakang, dan samping rumah. Iya, hanya gula jawa saja. Itupun karena ada anak kos yang membawakan gula cukup banyak. Oleh-oleh dari ibunya katanya. Itu pula karena semula si anak sakit dan saya memberi obat dengan cuma-cuma. Nah kan, dari sini saja kami sudah saling memberi.


Pekan ini, saya kebanjiran 'mangkok-mangkok' lagi. Dari hari Rabu kemarin, ada tetangga yang datang membawakan pisang, es krim, dan makanan frozen seperti bakso, sosis, dan nugget. Hari Jumat kembali datang tetangga yang lain ke rumah. Beliau membawakan ayam mentah dan karak. Padahal di pagi harinya suami baru saja beli karak, dan beberapa hari sebelumnya saya juga baru membeli ayam. Auto penuh freezer kami.


Siangnya, ketika suami akan pergi keluar kota bersama rekannya, ternyata sang teman membawakan pisang raja dua lirang. Katanya panen sendiri. Masya Allah, padahal pisang canvendish yang dari hari Rabu saja belum habis. Alhamdulillah...


Hari Sabtu saya kembali membagikan gula jawa ke tetangga samping. Kebetulan hari-hari sebelumnya belum mendapat moment yang pas. Barulah tetangga samping ini diberi hari Sabtu itu. Siapa sangka hari Ahad paginya si ibu tetangga samping membawakan sop-sopan untuk kami. Jelas-jelas sop-sopan itu beli di warung. Padahal sungguh kami tidak berharap dibalas begitu. Cuma bisa bersyukur Alhamdulillah.


Agak siangnya, bapak dan ibu datang ke rumah. Lagi-lagi kami kebanjiran amunisi. Ibu membawa ayam mentah, telur, tempe, tahu, cabai, tomat, kangkung, dan bayam. Masya Allah, kulkas kami benar-benar full. Pasalnya, hari Jumat saya juga baru saja beli cabe. Suami juga beli tempe, kangkung, dan telur. Hehe kalau dipikir-pikir, belanjanya hampir mirip. Lagi-lagi Alhamdulillah... 


Belum berhenti sampai di situ. Senin pagi ini, ibu tetangga depan rumah kembali beraksi. Pintu rumah kami diketuk dan Mbak depan rumah membawakan tomat, kubis, dan labu siam. Masya Allaah... Agaknya mereka baru saja ke rumah besannya hari Ahad kemarin. Dulu ketika keluarga besan datang ke sini pun dibawakan sayur yang sama persis. Dan saya pun kecipratan sayur yang memang banyak dan segar-segar itu. Padahal pekan sebelumnya, si ibu depan rumah baru saja panen mangga. Lagi-lagi saya pun dapat jatah juga.


Masya Allah Alhamdulillah. Hanya bisa bersyukur dan berterima kasih pada Allah. Kulkas kami full, bahkan sebagian bahan masih kami taruh di luar kulkas. Rasanya sangat cukup untuk jadi bahan masakan sepekan ke depan. 


Dari sini saya diingatkan kembali tentang pagar mangkok. Ternyata bukan hanya sekedar mengurangi jatah belanja, melainkan membuat hati menjadi hangat juga. Bukankah dengan saling memberi makan akan saling menyayangi? Manakah yang tidak lebih menyenangkan dari disayangi oleh tetangga sekitar kita. Sekali lagi, Alhamdulillah...


Saturday 15 October 2022

Menguak Salah Satu Innerchild

22:23 0 Comments



Kali ini saya ingin sedikit menorehkan jejak ala-ala menulis diary. Wow, sebuah keberanian tersendiri bagi saya untuk menguploadnya di blog ini. Seringkali tulisan-tulisan ala diary hanya teronggok pasrah memenuhi drive, atau kadang tertuang dengan tak sengaja di lembaran kertas yang kemudian tidak diketahui bagaimana nasibnya. But, it is okay to share with you.


Tadi pagi saya mengikuti salah satu event yang diadakan oleh Ibu Profesional Soloraya. Agenda utama adalah launching buku NBB2, tentu saja tidak ada nama saya di sana karena saya belum bergabung dengan IP waktu itu. Tema buku yang diangkat adalah tentang innerchild. Dalam rangka launching itulah, ada semacam kuliah zoom tentang mengelola innerchild demi menumbuhkan fitrah ayah dan bunda.


Sejujurnya, tema ini bukan makanan baru bagi saya. Agaknya saya pertama kali mengenal istilah ini ketika ikut kelas online dari ummamy bubby. Waktu itu Kak A masih batita, sudah lama kan berarti. Tapi nyatanya, saya tetap menemukan insight baru dari kulzoom tadi. Salah satu poin yang menarik dan memang dihighlight oleh pembicara adalah bahwa masa lalu apapun itu adalah hadiah terbaik dari Sang Pencipta. Masya Allah...


Nah, di sesi tadi kami diminta untuk menulis bebas atau istilahnya free writing. Kami diminta untuk menuangkan apapun yang terlintas di kepala, pun dengan melibatkan emosi jika ada. Sejujurnya saya tidak menuliskan apapun tadi, namun saya tertarik dengan salah satu tulisan yang secara sukarela dibacakan oleh salah satu peserta. Dia meminta maaf kepada anak pertamanya karena menuntut suatu hal, mungkin karena orang tuanya dulu melakukan hal yang sama.


Saya pun seolah berkaca pada diri saya sendiri. Kebetulan sekali, akhir-akhir ini saya memang sedang mengurai kondisi hati saya terkait Kak A. Lelah fisik, lelah psikis, ekspektasi dan harapan yang dihadapkan pada kenyataan kadang membuat sisi tersembunyi dalam diri muncul tanpa dibendung. Kalau dipikir-pikir, kenapa juga saya harus merasa geram ketika Kak A keliru mengaji? Kenapa pula saya harus senewen mendengar suara keras Kak A? Saya sadar dan saya benar-benar bertanya. Dan saya seolah diingatkan di sesi kulzoom tadi pagi. Jangan-jangan karena innerchild saya terluka di kedua poin ini.


Saya mendadak teringat, waktu kecil dulu seringkali saya bermain ke rumah tetangga. Yah, layaknya anak-anak kecil, pasti kami bermain dengan asyik, saling tertawa, saling teriak. Tapi waktu itu, si empunya rumah berkata, "Weh Dik Avi suarane banter banget" (Wah, Dik Avi suaranya kencang sekali) Refleks tentu saja saya akan mengerem volume suara saya. Tapi kejadian itu tidak terjadi sekali, di lain waktu saya mengalaminya lagi.


Waktu itu ada rasa malu. Ibaratnya seperti anak perempuan main ke rumah orang kok suaranya kenceng banget. Sekalipun saya masih anak-anak waktu itu, tapi tidak dipungkiri ada rasa malu, tidak enak hati, merasa bersalah, dan semacamnya. Boleh jadi, rasa itu bercokol dalam diri saya hingga saya dewasa dan berdampak pada saya saat membersamai Kak A.


Kebetulan beberapa terakhir ini setiap pulang sekolah Kak A langsung bermain dengan tetangga. Mainnya di rumah sebenarnya, dan saya tak ada masalah dengan itu. Tapi ketika di suatu hari mereka bermain di jalan depan rumah, saya meradang. Kenapa? Karena Kak A berbicara dengan suara sangat kencang.


Besoknya, terjadi lagi. Mereka main bola di jalan sampai sore. Asyiknya main bola pasti bisa dibayangkan dong. Tentu saja Kak A dan teman-temannya berteriak kencang. Dan bisa diduga, saya meradang. Saya menghardik Kak A karena suara lantangnya.


Setelah dipikir-pikir, volume suara Kak A memang keras. Tapi, kenapa ketika main di rumah (tentunya dengan suara tak jauh berbeda) saya biasa saja, tetapi ketika di luar rumah saya menjadi tak tahan dan ingin marah? Ketika saya telisik, jangan-jangan ada faktor innerchild yang bermain di sini. Jangan-jangan saya marah pada Kak A karena saya merasa terluka ketika dulu bersuara lantang dan dikomentari oleh tetangga. Mungkin saya akan merasa sakit lagi ketika Kak A bersuara keras di luar rumah dan membuat tetangga ikut mengeluarkan komentar juga. Na'udzubillah...


Ini baru satu poin, dan saya sadar tentang hal itu. Dari sini saya jadi tahu bahwa kondisi yang terjadi saat ini bukan serta merta langsung diatasi. Namun, seandainya bisa dikaji dulu penyebabnya, tentu akan lebih baik lagi untuk bisa diterima dan direlease lagi.


Bismillah, semangat menyelami diri lagi dan lagi. Semoga terurai apa-apa yang masih menjadi PR di dalam diri. Aamiin...

Thursday 13 October 2022

Hati Seluas Samudera

22:05 0 Comments



Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak. Peribahasa itu sepertinya sudah banyak yang tahu. Kurang lebih maknanya adalah kebaikan orang yang jauh akan tampak begitu besar dan bermakna. Di sisi lain, kebaikan orang terdekat seringkali justru tidak dianggap dan diremehkan begitu saja.


Saya teringat dengan peribahasa tersebut ketika pergi ke rumah simbah pekan lalu. Simbah memiliki empat orang putri. Ibu sebagai anak pertama sudah tiada, tinggal tiga orang bulik. Ada satu bulik yang tinggalnya tak jauh dari rumah simbah. Sedangkan dua bulik yang lain tinggal di luar kota.


Akhir pekan lalu kami menginap di rumah Simbah. Ada satu bulik juga yang dari luar kota ikut menginap. Kami memang biasa bergiliran menginap di sana menemani Simbah. Tak jarang kami justru janjian untuk bisa berkumpul bersama, di luar waktu lebaran tentunya.


Pagi itu Simbah yang memang sudah sepuh dan demensia sedikit menjadi tantangan bagi anak-anaknya. Bulik kedua yang tinggal di dekat rumah Simbah sudah menyiapkan beras dalam magic com untuk dimasak. Ternyata oleh Simbah beras itu diambil.


Selang beberapa lama, bulik mencoba memasak nasi lagi untuk kami sarapan bersama. Apa daya diambil lagi oleh Simbah. Hingga akhirnya terdengar suara keras dari mulut Simbah yang membuat bulik tidak tahan.


Akhirnya urusan masak nasi pagi itu diambil alih oleh bulik ketiga. Tentunya setelah dengan sedikit jeda waktu dan memberi pengertian cukup panjang pada simbah. Alhamdulillah nasi bisa matang.


Siangnya, hal itu terjadi lagi. Perkara mau mandi sore dan butuh merebus air untuk mandi, tiba-tiba kompor mati karena gas habis. Simbah pun mulai berkomentar ini itu, "Gimana gasnya habis" dan semacamnya. Termasuk bingung ke mana mau membeli gas.


Bulik pertama mencoba pergi ke toko yang paling dekat dari rumah. Ternyata kosong. Beberapa meter di dekatnya, toko yang lain malah tutup. Pulang dengan tangan kosong membuat Simbah tak henti-hentinya meracau. Bulik pun pergi ke toko yang lain yang agak jauh. Ternyata kosong juga.


Karena mulai rame, akhirnya lagi-lagi urusan ini diambil alih oleh bulik ketiga. Bulik dan om keluar ke jalan besar mencari toko yang lebih besar. Alhamdulillah pulang dengan berhasil membawa tabung gas baru.


Kejadian seperti hari itu bukan terjadi satu atau dua kali saja. Ini sudah menjadi makanan sehari-hari yang biasa kami temui. Dari situ saya teringat bahwa bulik kedua yang setiap hari menemani Simbah akan tampak selalu tak sempurna. Seolah banyak kesalahan, seakan tak sabar untuk menghadapi keadaan. Dibandingkan bulik lainnya yang hanya datang saat weekend, dengan energi yang lebih fresh, tidak penat karena menjadi situasi harian, tentu treatment dari bulik lain akan terasa lebih baik.


Padahal apa yang dilakukan bulik pertama jelas amat sangat besar dan tak tergantikan. Meskipun saya tahu bahwa kami memiliki porsi sendiri-sendiri. Barangkali bulik yang lain memang tidak bisa selalu ada, namun selalu sedia jika harus mengantar Simbah ke mana-mana misalnya. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan porsinya masing-masing.


Kalau dilanjutkan pembahasannya, ini bisa menjadi hal yang lebih runyam kalau menyerempet tetang Pondok Mertua Indah atau Pondok Orang Tua Indah. Yah, kalau akur-akur saja dan sudah menjadi kesepakatan bersama insya Allah akan menjadi pondok yang benar-benar indah. Tapi kalau justru menjadi gajah di pelupuk mata yang tak tampak, apa masih bersedia?


Di sini memang butuh hati yang seluas samudra. Tidak ada tepi dan batasan untuk mengabdi. Semua hanya berharap bisa memberikan sebenar-benar bakti.

Sunday 9 October 2022

Pahala Bagi Kak A

16:56 0 Comments



Sadar ga kalau kadang anak kecil yang masih polos itu seringkali justru menjadi pengingat bagi kita yang sudah dewasa? Menurut saya, mungkin karena mereka masih pure fitrahnya. Belum terkontaminasi lingkungan, belum tergerus nafsu apapun. Itu juga yang secara sadar maupun tak sadar saya dapatkan dari Kak A.


Dulu ketika awal-awal Kak A masuk sekolah, terlihat betul bagaimana perubahan akhlaknya. Salah satu poinnya adalah dia mau melakukan sesuatu karena ingin dapat pahala. Hm, sepertinya konsep pahala sebagai reward sudah bercokol di dalam hatinya. Bukan sekedar tahu bahwa berbuat baik akan dapat pahala, tapi dia paham bahwa harus berlomba-lomba mengumpulkan pahala.


Contohnya begini. Suatu waktu ada sampah berserakan di rumah. Alhamdulillah dia memiliki inisiatif untuk mengambil sampah itu. Sempat suatu ketika dia berkata, "Biar aku aja, Mi. Biar jadi pahalaku."


Wow, menurut saya ini keren sekali. Pertama, dia punya keinginan untuk berbuat baik. Tanpa diminta dan disuruh, Kak A menawarkan diri untuk membantu. Poin lainnya, dia memiliki tujuan yang benar. Ada kan anak yang doing something karena berharap hadiah atau pujian. Tapi, Kak A melakukan hal itu karena mengharap pahala. Masya Allah...


Sejujurnya ini menjadi pengingat buat saya. Sekedar membuang sampah pada tempatnya bisa jadi pahala lho. Apa kabar para orang dewasa yang melakukan ini itu sebatas rutinitas saja tanpa menyelipkan niat mengharap pahala. Padahal innamal a'malu binniat kan. Amal tergantung niatnya. Ya udah deh rutinitas sebatas rutinitas saja tanpa berimbas apa-apa di akhirat sana. Hm..., cukup sia-sia ternyata.


Tapi kondisi itu tak sepenuhnya selalu terjadi pada Kak A. Layaknya anak-anak pada umumnya, kadang kala Kak A memang mungkin sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Jangankan memiliki inisiatif, ketika jelas-jelas diminta untuk membantu sesuatu pun Kak A menolak. 


Waktu itu saya berkata, "Ayo Kak, biar dapat pahala lho."

Dengan santainya dia menjawab, "Pahalaku udah banyak, Mi." Hahaha, pede sekali anak ini.


Yah, walaupun tidak berlaku untuk orang dewasa, tapi jawaban pahalaku sudah banyak cukup menggelitik juga. Pertama, kadang kita sebagai orang dewasa merasa diri kita sudah sholeh, sudah banyak melakukan amal kebaikan. Katanya sih golongan orang-orang yang sudah booking kavling di surga. Padahal tidak ada jaminan kan. 


Kedua, bisa jadi kondisinya justru dia termasuk orang yang sombong dan bebal. Dia menolak kebenaran dan tidak mau melakukan amal kebaikan karena merasa tak butuh lagi. Na'udzubillahimindzalik. Semoga tidak termasuk poin kedua ini.


Menariknya lagi, di lain waktu Kak A punya tanggapan berbeda tentang mencari pahala. Suatu kali inisiatif Kak A untuk membantu everything mencuat lagi. Saya yang melihat justru terkesan kasihan karena sepertinya di luar batas kemampuannya dan khawatir dia akan kelelahan. Tapi karena dia yang ingin membantu, tentu saja dia tak mau di-stop.


Waktu itu saya bilang, "Sudah kak, ga usah bantuin lagi ga papa. Kan pahalamu udah banyak." Hehe, saya membalik statement dia sendiri ketika dia sedang malas membantu.


Tak taunya, dia justru menjawab begini. "Ga papa, Mi. Nanti kalau pahalaku banyak bisa kutransfer ke Mami sama Papi."


Masya Allaah... melting mendengarnya. Ada poin beda lagi yang disampaikan oleh Kak A. Pertama tentang konsep mencari pahala tak akan ada masa berhentinya. Meskipun pahala sudah banyak, tetap harus dicari juga.


Kedua tentang makna birrulwalidain. Bahwa seorang anak yang sholeh bisa menjadi wasilah kebaikan buat orang tuanya. Bukankah anak yang sholeh termasuk salah satu amalan yang tak akan terputus meski nyawa sudah berpisah dengan raga.


Masya Allah Tabaarakallah. Semoga Allah selalu meridhai Kak A sehingga selalu terjaga niat baiknya dan semua amalannya berbuah pahala. Aamiin.


Wednesday 5 October 2022

Tulisan Dulu vs Sekarang

00:47 0 Comments



Malam ini saya sedang melakukan kontemplasi. Ada yang berbeda dengan diri saya saat ini dengan diri saya di masa lalu. Tentu saja, status saya berubah, aktivitas harian saya berubah, dan banyak hal lain. Termasuk salah satunya tentang tulisan saya.


Kalau diingat ulang beberapa tahun lalu, rasanya saya tidak perlu pikir panjang ketika akan menorehkan kata di sini. Rasa-rasanya saya sudah hampir tak peduli. Ibarat kata, ini adalah rumah saya. Blog saya. Terserah saya mau diisi dengan apa. Agaknya saya lebih banyak skeptis, memangnya siapa yang akan baca? Mungkin dengan asumsi itulah saya jadi bebas untuk menuliskan apapun tanpa peduli apakah tulisan saya bagus atau tidak, apakah layak dibaca atau tidak, bermanfaat atau tidak, dan seterusnya. Lagi-lagi saya bebas berekspresi di sini.


Tapi dunia berubah. Begitu juga dengan sosial media, termasuk blog salah satunya bagi saya. Rasanya, jejak media itu perlu dipertimbangkan. Personal branding seseorang tentu tak luput dari media apapun yang dia gunakan. Entah itu sekedar facebook atau instagram, atau sampai ranah blog, channel youtube, dan akun-akun lainnya.


Dampaknya saya rasa jadi seperti saya saat ini. Ketika akan menorehkan kata, saya seolah dipaksa untuk mengkaji lagi: ini harus jadi naskah yang layak konsumsi. Tidak boleh kalau hanya cerita tak jelas. Tak boleh juga kalau hanya aliran rasa. Tapi malam ini saya merenungkan lagi. Memangnya saya menulis buat siapa? Pun untuk apa?


Beberapa malam sebelumnya, saya mengorek-orek isi gdrive saya. Bertebaran file-file gdoc di drive saya. Beberapa saya baca lagi dan waktu saya tersadar. Hey, kenapa tulisan begini hanya ditulis di drive? Kenapa tidak sekalian diunggah di blog? Bukankah beberapa tahun lalu tulisan semacam ini bebas saja keluar di blog tanpa perlu ragu?


Ya, benar juga. Kadang, kita yang justru membatasi diri kita sendiri. Kita (mungkin lebih tepatnya saya) yang justru membuat standar untuk diri saya sendiri bahwa menulis harus bagus. Menulis ga boleh sekedar curahatan hati. Padahal, siapa yang mengharuskan itu?


Kebetulan karena iseng, saya tergabung dalam sebuah komunitas yang goalsnya adalah konsisten menulis dalam setahun. Lalu saya melirik-lirik link yang telah dibagikan oleh teman-teman sesama peserta. Dari beberapa nama itu, ada peserta yang full menulis tanpa putus. Dan ketika saya buka, "Lho ini sederhana kan".


Saya teringat dengan program seratus hari zaman di Laskar Kang Nass dulu. Bukankah saya tak ada masalah ketika dulu upload tiap hari? Yang saya share pun adalah hal yang remeh temeh. Tapi, siapa sangka dari hal-hal yang sepele itu juga ada yang suka dan merada terinspirasi. Masya Allah...


Jadi sepertinya saya seharuanya membuang ego saya untuk menulis lagi. Kalau memang apa yang saya tulis benar-benar parah hingga khawatir akan menjadi energi negatif yang membawa lebih banyak madharat daripada manfaat, oke saya terima kondisi tersebut. Tapi kalau ternyata itu adalah hal netral, yang mungkin bisa jadi bisa diambil ibrohnya, so what gitu lho? Tuliskan saja di sini.


Tak perlu takut apakah tulisan itu berdampak atau tidak. Toh mereka yang hadir dan mampir hingga membaca kalimat terakhir di tulisan ini pun tidak saya paksa untuk membaca kata demi kata. So, win win solution kan. Saya bisa menuliskan ide dan rasa setiap hari, mengisi blog, tanpa harus merasa mendzalimi.


Bismillah, semoga bisa menjadi titik balik tersendiri.

Saturday 3 September 2022

Optimasi Instagramku

03:20 0 Comments

Sambil menyelam minum air. Itulah yang sedang saya lakukan sekarang. Sambil ngisi blog yang sudah beberapa hari tak terjamah, sambil bikin setoran KLIP, plus sambil mengerjakan tugas recook dari Dapur Sosmed IP Soloraya. Eh, satu lagi ding. Sekalian sambil ngerjain Makcep Wary karena jawaban recooknya kudu baca satu postingan ini juga. Haha...


Baiklah..., pekan ini kami para koki dapur sosmed diminta untuk melakukan optimasi instagram. Hm..., sebenarnya bukan sekali ini saja sih saya tahu tentang materi ini. Tapi tetap saja, ketika makcep menyajikan materinya tuh kayak padat dan super kenyang banget. Alhamdulillah pokoknya. Nah dari masakan itu, kami para koki diminta untuk recook beberapa hal.


Pertama, kami diminta untuk menentukan niche. Setelah melalui perenungan panjang, menyelami lubuk hati paling dalam, menimbang dalam bimbang, memilih meski perih (halah, mesti Makcep Wary males bacanya wkwkwk) untungnya ga sampai mendakai gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama teman bertualang... Oke, ini lagu ninja hatori. Akhirnya saya memutuskan untuk saat ini mengambil niche tentang mental health atau manajemen emosi atau semacamanya begitulah, namun dengan membubuhkan aroma islami di dalamnya.


Kenapa saya memilih niche itu? Alasan utamanya karena beberapa bulan sebelumnya saya mengupas tentang hal itu secara terus-menerus di kelas bunda cekatan. Jadi mumpung masih kemebul di ubun-ubun, diwujudkan saja dalam bentuk konten. Itung-itung anggap saja buat catatan alias rekam jejak biar apa yang ditangkap selama beberapa bulan kemarin tidak sirna begitu saja tak berbekas.


Next, kami diminta mencari 20 hashtag yang terkait niche tersebut. Nah ini nih tantangannya. Soalnya Makcep Wary request hashtag yang dipilih harus dalam interval 500 ribu sampai satu juta. Susah-susah gampang kan. Banyak hashtag yang oke, tapi sudah dipakai puluhan juta. Kata Makcep sih kalau pilih yang itu nanti bakal tenggelam di antara puluhan juta konten. Tapi..., kalau ternyata mampu berenang gimana mak? Eh lhah, malah nawar di sini.


Alhasil, saya baru nemu segelintir ini aja mak. Siwer euy. Nanti mudah-mudahan seiring berjalannya waktu bisa menemukan hashtag yang sifatnya insidental sesuai dengan tema konten yang akan dipost. Untuk hashtag yang sifatnya general tentang mental health atau manajemen emosi yang saya tulis antara lain #selftalk (732.157), #positivewords (517.847), #positivequote (663.272), #positiveparenting (724.396), #positivevibe (882.114), #reminders (931.580), #inspirationquotes (934.993), #motivasiislami (615.081), #motivasibijak (712.034). Udah berapa tuh makcep? Hitung sendiri ya, sisanya ngutang haha...


Nah buat sunnah muakadnya, kami boleh juga tuh menampilkan bio instagram kami dan screenshoot instgram sebelum dan sesudah dilakukan optimasi. Untuk gambarnya kurang lebih begini.





Saya sengaja membuat branding diri saya sebagai a moslem doctor-writer. Kenapa begitu? Wah ceritanya panjang, saya kasihan makcep kalau harus membaca satu naskah lagi. Intinya branding itu memang terkait dengan aktivitas publik saya namun dengan tidak melupakan peran saya sebagai seorang muslim.


Lalu saya breakdown lagi satu persatu, bahwa status saya sebagai general practitioner alias dokter umum. Kenapa? Ya biar orang ga salah kaprah mengira saya sebagai psikiater misalnya. Saya tuliskan juga bahwa saya author dari buku blablabla. Memang tidak semua saya tulis, cuma yang kebetulan ada akun instagramnya saja yang saya mention di bio. 


Di sana saya tuliskan juga beberapa akun terkait bisnis. Yah, siapa tahu setelah ini jadi beli kan hehe. Yang terakhir saya beri informasi juga kalau saya ibu dari 3 anak. Ngapain sih dicantumin segala? Ya biar followernya pada tahu gitu kalau yang bikin konten dari sudut pandang emak-emak. Plus biar ga ada yang macem-macem ngegoda. Eh...


Terakhir kami diminta mencantumkan capture sebelum dan sesudah. Nah, ini nih ajaibnya. Setelah sekian lama anget-angetan bikin konten, dua hari ini dipaksa banget harus bikin postingan setiap hari minimal satu, lebih baik kalau tiga. Hm..., di sini nih tantangannya. Kudu menyiapkan amunisi ide dan waktu untuk eksekusi.





Ternyata ada yang menarik yang saya alami. Ceritanya saya baru belajar bikin reels. Reels pertama saya tanggal 17 Agustus lalu diikuti dua reels karena diminta makcep bikin postingan tiap hari. And you know, reels saya yang terakhir udah lima ribu lebih viewersnya. Terharu ga sih...


So, kesimpulannya memang butuh niat besar kalau mau serius main sosial media. Semoga saja bisa selalu terjaga strong why-nya. Last, thank you ya makcep buat materinya. Terima kasih juga kalau kamu sudah membaca postingan ini sampai di kata terakhir. Haha...

Thursday 18 August 2022

May I Help You?

21:04 0 Comments



Adakah yang merasa bahwa membantu sesama adalah perbuatan tercela? Rasanya tidak ada. Hampir semua orang secara aklamasi sepakat bahwa membantu orang lain adalah perbuatan yang baik. Namun ternyata yang baik belum tentu selamanya baik.


Konsep itu saya sampaikan pada Kak A beberapa waktu lalu. Ini bermula ketika Kak A membuat Mas Z menangis. Kedua anak ini memiliki karakter yang berbeda. Dari catatan ustadzahnya, Kak A memiliki karakter suka membantu. Entah diminta atau tidak, Kak A cenderung ringan hati menawarkan bantuan. Beda halnya dengan Mas Z yang sedang fase egosentris. Dia sedang memiliki keinginan kuat untuk belajar bisa melakukan apa-apa sendiri.


Tak ayal, kedua karakter ini sedikit bertolak belakang. Ketika Mas Z ingin merangkai lego misalnya, Kak A serta merta membantu merangkai. Ketika Mas Z mau turun dari mobil dengan tentengan beraneka ragam di tangannya, Kak A secara refleks meraih tentengan itu. Tentu saja Mas Z sontak menangis.


Dalam keadaan begitu, semula saya biasanya langsung menegur Kak A. Saya katakan agar dia tidak mengganggu adiknya. Tapi, setelah saya pikir-pikir, sepertinya respon saya tidak adil. Karena terjadi berulang kali, saya pun menyadari bahwa Kak A sama sekali tak ada niat mengganggu adiknya. Sebaliknya, dia justru berbaik hati ingin membantu.


Akhirnya saya pun berkata pada Kak A: Mungkin kita memang ingin membantu. Kita berharap mendapat banyak pahala. Sayangnya, tidak semua orang mau dibantu. Ada orang yang ketika dibantu justru menjadi marah. Ada juga yang ketika mendapat bantuan justru merasa direndahkan, tidak dihargai. Jadi tidak selamanya semua bantuan itu baik. Apalagi kalau bantuan itu justru membantu berbuat jelek. Makin tidak baik lagi.


Jadi, jika memang ingin membantu, tanyakan dulu pada orang yang mau dibantu, "Boleh dibantu tidak?" Kalau dia membolehkan, berarti kita bisa segera mengulurkan bantuan. Tapi kalau ternyata dia tidak mau, ya jangan dibantu. Biarkan saja. Mungkin dia ingin mencoba dan berusaha sendiri. Kalau kita memaksa membantu, mungkin dia justru akan marah atau sedih. Justru jadi tidak baik. Jadi, tanyakan dulu boleh dibantu atau tidak.


Alhamdulillah dengan pengertian itu Kak A bisa mengerti. Walaupun dari raut mukanya terlihat betul bahwa dia berusaha mencerna. Mungkin dalam benaknya bagaimana mungkin karena mau membantu justru jadi perkara pertengkaran baru.


Di kesempatan berikutnya, Alhamdulillah Kak A bisa mempraktikkan prinsip ini. Ketika Mas Z terlihat kewalahan mau membuka bungkus makanan, naga-naganya Kak A sudah geregetan ingin mengambil alih pekerjaan. Untungnya Kak A ingat untuk meminta izin. Dia bilang, "Aku bantu buka boleh ga?" Serta merta Mas Z pun menyerahkan bungkus makanan beserta guntingnya pada Kak A. Yup, tanpa drama.


Saya yang mengamati dari kejauhan tersenyum penuh kemenangan. Tidak ada lagi ribut-ribut hanya karena beda karakter. Mereka hanya perlu divalidasi keunggulan karakternya, dan diberi pengertian bagaimana berinteraksi dengan harmonis jika bertemu dengan karakter berbeda. Alhamdulillah, solved! Sampai jumpa lagi di tantangan berikutnya.

Sunday 10 July 2022

Sibuk

11:38 0 Comments

busy




“Mbak, baru sibuk apa?”

Pertanyaan itu tidak satu dua kali dilontarkan kepada saya. Entah sejak kuliah dulu, sampai sekarang berumah tangga dan memiliki beberapa anak, tetap saja pertanyaan itu menyapa saya. Rasanya saya sedikit bertanya, “Kok pertanyaannya begitu ya? Emang saya terkesan sibuk?” Ketika saya telaah ulang, ternyata image sibuk memang tidak jauh-jauh dari diri saya. 


Saya cukup takjub ketika diajak mengisi assesment bareng tim Mommenkeu beberapa waktu lalu. Test itu untuk menilai apa sih motivasi terbesar seseorang dalam melakukan sesuatu. Ada yang memiliki motivasi terbesar karena uang, ingin berkomunikasi, ingin berbuat baik dll. Ada sekitar seratus motivasi yang dihimpun oleh tim pembuat assesment itu. Ternyata, hasil motivasi tertinggi saya adalah ‘aktif’, yang mana poinnya cukup mendominasi.


Saya pun kemudian menyadari. Ketika sedang off kerja karena punya baby seperti sekarang pun, tetap saja saya tidak bisa diam. Ada aja yang dikerjakan di rumah. Entah bersih-bersih rumah, entah mengerjakan hal-hal yang sifatnya mubah yang sebenarnya bisa dikerjakan nanti aja atau malah ga usah dikerjakan juga ga papa, atau sempat-sempatnya ngelirik laptop atau kerjaan ranah publik. Sampai-sampai almarhumah ibu waktu itu berkata, “Leren o mbak, ojo kesel-kesel. Aku wae sing nyawang kesel”. Hehe… 


Waktu ibu bilang begitu, saya cukup merasa kaget juga. Masa sih yang ngliat capek? Padahal saya ga merasa capek lho. Jangankan capek, saya justru merasa bahagia semacam berhasil melakukan sesuatu yang produktif. Saya justru berpikir sebaliknya. Kalau cuma diam saja, sepertinya saya bakal mati gaya. 


Saat selebrasi Superkamp#2 yang diadakan Kampung Komunitas Ibu Profesional saya menemukan jawabannya. Seorang peserta bertanya pada Ibu Septi, “Ibu, bagaimana ibu bisa punya begitu banyak kegiatan, seakan tidak pernah capek dan punya banyak energi?”


Ibu pun menjawab, “Waktu itu Pak Dodik berkata pada Bu Septi, ‘Kamu ga bisa kalau cuma diam begini. Kamu harus punya banyak kegiatan. Semakin kamu punya banyak aktivitas, semakin banyak kamu bisa beristirahat’”.


Aih, that’s true. Itu terjadi pada saya. 

Kalau dengan sibuk justru membuat kita lebih bahagia, kenapa tidak?


Trus, gimana dong solusinya biar bisa sibuk tapi ga capek?

Kalau versi Bu Septi, beliau mengalokasikan waktunya setiap hari. Misal, setiap hari beliau menyediakan satu jam untuk Ibu Profesional, satu jam untuk Padepokan Margosari, begitu seterusnya. Ketika satu jam itu sudah berlalu, beliau komitmen untuk switch. Artinya masing-masing kegiatan memang ada alokasinya, ga bisa nambah. Dengan begitu beliau punya waktu untuk aktivitas lain. Kesannya jadi punya banyak aktivitas kan.


Lalu, bagaimana dengan istirahat beliau?

Ternyata, beliau menyediakan waktu satu hingga tiga jam setiap hari untuk jalan-jalan di alam. Nah, jalan-jalan inilah yang merecharge energi beliau. Artinya, beliau tidak melulu melakukan banyak aktivitas yang sifatnya sosial atau organisasi. Beliau juga menyediakan waktu untuk me time yang bisa menjadi ajang rileks atau istirahat itu sendiri.


Hm, menarik… Artinya, selagi kita bisa menyeimbangkan diri, tidak ada salahnya untuk bergerak aktif kan. Daripada waktunya terbuang sia-sia tanpa bisa dipertanggungjawabkan. Setuju?



Wednesday 15 June 2022

No Ijir!

22:13 0 Comments




Ada istilah menarik yang saya dapat malam ini. Kebetulan saya baru selesai mengikuti sesi zoom yang mengundang Pak Dodik Maryanto, inisiator Ibu Profesional. Dalam sesi tersebut Pak Dodik menyampaikan bahwa karakter orang yang hangat dan guyup adalah tidak ijir. Apa itu?


Pak Dodik memberi contoh seperti ini. Misalkan di sebuah rumah sudah dibuat kesepakatan pembagian tugas. Si kakak bertugas mencuci piring, si adik menyapu lantai. Suatu ketika kakak sedang sibuk ujian sekolah. Alhasil cucian piring pun menumpuk. Melihat hal itu adik seolah menutup mata. Baginya, itu adalah tugas kakak. Tugas dia cukup menyapu lantai lalu selesai. Nah, inilah yang disebut ijir. Bisa dibilang sikap ini semacam membuat perhitungan.


Saya pun langsung terefleksikan kejadian kemarin dengan Mas Z. Saya mempunyai beberapa peraturan yang sudah disepakati dengan anak, salah satunya yaitu tentang aturan kalau setelah selesai makan maka piring dikembalikan ke tempat cuci piring. Nah kemarin Mas Z makan sambil menonton video. Ketika selesai makan, piring masih tergeletak begitu saja.


Saya pun mengingatkan (note: di sini saya mengingatkan, bukan menyuruh karena memang sudah disepakati sebelumnya. Plus karena dalam teori komunikasi dengan anak dikatakan bahwa anak sebaiknya tidak disuruh tapi dipantik atau dipancing untuk melakukan sesuatu). 


"Mas, piringnya kalau selesai ditaruh mana?" Ya, saya memakai teknik bertanya. Ini ada triknya juga. Dengan bertanya begini, anak tidak merasa untuk disuruh. Namun ketika menjawab pertanyaan artinya dia tahu apa yang memang seharusnya dia lakukan.


Seolah sudah tahu apa yang saya harapkan, Mas Z menjawab, "Mami aja yang naruh ke belakang"


Waduh, ini sih di luar skenario. Kok dia malah minta saya yang naruh ke belakang. Hm....

Maka, saya pun memakai trik konsekuensi. Saya ingatkan,"Yang makan kan kamu. Ya berarti kamu yang ngembalikan ke belakang."

Bukannya mengambil piring lalu beranjak ke belakang, si bocah justru menjawab, "Yang nyuruh makan kan Mami. Mami aja yang ngembalikan"

Lhah!


Dari kejadian itu, ada beberapa poin yang saya refleksikan. Pertama tentang ijir itu tadi. Kalau memakai pendekatan ijir, seharusnya tidak perlu saling melimpahkan tanggung jawab untuk mengembalikan piring. Siapa yang merasa 'terpanggil' seharusnya langsung mengambil aksi untuk mengembalikan piring ke belakang.


Namun, ini sedikit bertolak belakang dengan prinsip saya yang membiasakan tanggung jawab dan konsekuensi. Contoh lain misal melihat bungkus bekas makanan tergeletak di lantai. Dibandingkan langsung memungut dan membuang ke sampah, saya cenderung akan melontarkan pertanyaan, "Siapa ini yang sudah makan jajan tapi bungkusnya ditaruh di lantai?" Biasanya dengan pertanyaan begini, anak akan menengok dan begitu tahu itu bungkus bekas makanannya maka dia yang akan memungut dan membuang ke tempat sampah. Kalau memakai konsep tidak ijir, maka seharusnya saya tidak ambil perhitungan dan langsung membuang sampah itu begitu saja.


Sebagai solusinya, saya melihat ada poin kedua di kejadian kemarin, yaitu tentang kesepakatan. Karena saya yang meminta anak untuk makan (padahal dia sebenarnya tidak ingin makan) maka dia merasa saya lah yang seharusnya mengembalikan piring. Artinya sebenarnya ijir ini meski mungkin muncul karena kesepakatan, bisa juga dieliminasi dengan kesepakatan. Misal, oke karena Mami yang meminta makan, maka Mami yang akan mengembalikan. Dalam kasus cucian piring kakak tadi juga bisa dibuat demikian. Boleh saja dibuat kesepakatan tambahan, misal oke karena kakak sedang ujian maka adik yang akan membantu mencuci piring dan lain waktu kakak gantian membantu menyapu lantai.


Kesepakatan ini seharusnya dibuat di awal, bukan di akhir sehingga tidak terkesan lari dari tanggung jawab dan terkesan ijir tadi. Dengan begitu artinya melatihkan tanggung jawab dan konsekuensi tetap bisa berjalan. Namun di satu sisi tidak menimbulkan sikap egois dan saling melempar kewajiban.

Tuesday 14 June 2022

Mami Capek

19:45 0 Comments

menyapu lantai



Brak! Saya meletakkan ember berisi pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran ke lantai kamar siang tadi. Ya, memang ada suara 'brak' karena kali ini saya meletakkan dengan sedikit keras, jika tidak ingin disebut membanting. Lalu saya memalingkan badan begitu saja, keluar dari kamar, dan menutup pintu dengan cepat hingga muncul suara yang hampir serupa.


Beberapa menit sebelumnya, saya sempat bernada tinggi pada dua bocah yang sedang bermain di kasur. "Mami capek!"

Sejak bangun Subuh tadi, ada saja yang harus dikerjakan. Kebetulan adik baby kurang kooperatif dari tadi malam. Jam tidur malam hari berkurang, sejak pagi pun tidak mau dibaringkan. Alhasil pekerjaan satu demi satu saling beruntun hingga lepas dhuhur belum juga selesai dirampungkan.


Di jam krusial energi yang mulai menipis, sedikit ulah duo kakak itu memang menjadi tantangan yang sangat menggoda iman. Maksud hati ingin rebahan barang sejenak, tapi apa daya baru beberapa menit mata terpejam bersama baby, duo kakak justru berteriak. Refleks, saya pun ikut berteriak, "Mami capek!"


Belum seratus persen saya menetralkan diri, mendadak terdengar suara air menghantam genteng rumah. Hujan! Saya sontak beranjak dari kasur dan bergegas ke atas, mengambil jemuran. Maka terjadilah adegan tadi. Saya yang masih kesal karena mendadak terbangun dari tidur dilanjut kewalahan karena segera mengangkat jemuran, langsung membanting ember berisi baju ke lantai kamar.


Ketika akhirnya saya memilih keluar kamar dan merebahkan diri di kursi tamu bersama baby, saya mendengar kedua kakak itu bercakap. Mas Z sempat membuka pintu kamar sejenak, memastikan kondisi Maminya yang mendadak mengurung diri di luar kamar. Lewat celah pintu yang tak sengaja terbuka karena Mas Z tidak menutupnya lagi, saya melihat mereka berdua tengah asyik sendiri. Tidak ada suara ribut, yang ada mereka seperti sedang sibuk melakukan sesuatu.


Beberapa saat kemudian (cukuplah buat saya melakukan afirmasi dan hipnosis agar merasa rileks meski hanya beberapa menit) Kak A keluar dari kamar dan berkata, "Udah, Ma". Semula saya tak menggubrisnya. Saya memilih tetap bersandar di kursi dan tidak menghiraukan perkataanya yang seolah meminta saya kembali ke kamar. Namun karena melihat dia yang seperti berharap, akhirnya saya memutuskan masuk kamar juga.


Ternyata, baju bersih yang di ember tadi sudah terlipat dan ditata berjajar di kasur. Masya Allaah...

Kak A pun di luar kamar berkata, "Udah ya, Ma. Aku mau nyapu dulu." Dia pun lantas mengambil sapu dan menyapu ruang tengah dan ruang tamu. Tak berapa lama, dia keluar rumah dan mengambil sapu lidi untuk menyapu jalan. Saya sempat menahan biar tidak usah di sapu saja, tapi dia bersikeras menyapu karena baru saja selesai hujan dan pasti ada daun yang berjatuhan.


Dari dalam kamar saya mendengar ada suara di luar sana. Entahlah, mungkin tetangga akan mempertanyakan tumben sekali anak ini menyapu. Atau justru tidak habis pikir kenapa anak enam tahun mendadak menyapu jalan di siang menjelang sore begitu. Biarlah...


Dari kejadian tadi saya banyak belajar. Ada poin positif ketika saya menyampaikan kondisi saya pada duo kakak. Ya, saya bilang dengan jujur kalau saya capek. Meskipun cara saya menyampaikan masih kurang baik karena dengan nada keras, setidaknya mereka tahu kenapa Maminya mendadak menjadi emosional. Paling tidak mereka belajar bahwa saya marah bukan karena ingin marah, tetapi karena saya lelah sehingga butuh istirahat.


Saya pun belajar menangkap sisi lain dari duo kakak. Ternyata mereka berhati peka. Tanpa diminta, mereka melakukan pekerjaan rumah, sebagai tanda bahwa mereka memahami Maminya yang memang sedang lelah. Saya tidak berharap mereka akan membantu melakukan pekerjaan rumah, yang saya harapkan sekedar mereka tidak ribut dan saya bisa beristirahat sejenak bersama baby. Namun ternyata saya justru mendapat lebih. Saya bisa sejenak menepi dan justru duo kakak menyelesaikan pekerjaan rumah atas kemauannya sendiri. Masya Allah tabaarakallah...


Dari sini saya belajar untuk berkomunikasi dengan lebih baik lagi. Saya juga harus belajar untuk lebih memahami mereka, karena ternyata mereka pun sebenarnya bisa memahami saya. Alhamdulillah.


Friday 10 June 2022

Mamamu Nekat

10:29 0 Comments



Mamamu nekat. Kalimat itu dilontarkan oleh ibu pemilik usaha jasa foto di dekat kampus. Dia berkomentar begitu karena melihat saya membawa adik bayi yang baru satu bulan keluar rumah. Bisa dibayangkan saya menggendong baby sambil membonceng Mas Z dan mengendarai motor sendiri. Saat dikomentari itu, saya cuma tersenyum.


Sebetulnya suami sempat berkomentar saerupa juga sebelumnya. Bahaya! Masa iya mau keluar naik motor sambil bawa adik bayi? Tapi, ya mau gimana lagi. Mas Z mau daftar sekolah dan salah satu persyaratannya adalah melampirkan pas foto. Karena tidak punya, mau tidak mau harus membuat dulu kan. Berhubung tidak ada yang mengantar, suka atau tidak suka harus beraksi sendiri jadinya. Nekat? Ya mau gimana lagi.


Beberapa pekan sebelumnya pun si bayi ini saya bawa praktik sore. Usianya baru 3 pekan tapi sudah saya ajak untuk mengais rejeki. Emang urgent? Dipikirnya segitu amat sih cari uang. Kenapa ga ntar aja. Kasihan kan bayi belum sebulan udah harus diajak pergi. Tapi karena ada pasien yang sudah menghubungi beberapa kali, saya pun mencoba untuk kembali buka. Dan karena support system belum terbentuk, semua pasukan pun diajak serta. Dibilang nekat? Maybe, tapi mau gimana lagi.


Sepekan setelah melahirkan pun saya sudah membuka laptop dan keluar naik motor sendiri. Waktu itu masih cukup waras si jabang bayi tidak saya ajak serta. Seperti yang sudah diduga, ada komentar yang menyertai juga, "Sudah berani naik motor?" Lhah, memang kenapa? Mungkin di benaknya saya dianggap nekat juga. Baru sepekan melahirkan kok sudah mblayang dan mengerjakan apa saja.


Kalau ditelaah mungkin kesannya memang nekat. Tapi terkadang ada kondisi yang mau tidak mau memang harus dilakukan. Sesuatu yang rasanya impossible, suka atau tidak suka akhirnya berubah menjadi i'm possible. Bukannya memforsir atau memaksakan diri, tapi jika memang harus dilalui ternyata bisa juga terlampaui. Mungkin faktor the power of kepepet berlaku di sini.


Setiap orang tidak selalu memiliki kondisi yang 'biasa' dialami oleh mayoritas wanita pada umumnya. Terkadang harus ada kondisi luar biasa yang datang dengan sendirinya. Berhubung ada kondisi luar biasa itulah, dia pun berubah menjadi wanita luar biasa. Sayangnya kondisi yang di luar dari kebiasaan ini kemudian dianggap sebagai sebuah keanehan hingga dianggap nekat bagi sebagian orang.


Namun jika dikaji ulang, nyatanya bisa saja kan wanita itu melakukan hal tak biasa tadi. Bahkan kalau mau songong, bisa saja kita bertanya apa sih yang tidak bisa dilakukan oleh seorang ibu. Ups, ini bukan nyerempet isu tentang emansipasi atau feminisme. Maksudnya gini. Ibarat kata, seorang wanita sudah melahirkan dengan demikian sakitnya hingga akhirnya punya baby. Istilahnya dia sudah mengorbankan separuh nyawanya. Masa iya hanya untuk berjuang pada hal lain yang jelas tidak sampai mengorbankan nyawa saja dia tidak bisa. 


Maka, mewakili emak yang sedang dalam kondisi luar bisa, bukan maksud hati kami untuk berbuat nekat dan di luar nalar kewajaran. Namun situasilah yang menempa kami untuk menyesuaikan diri. Bahwa kami adalah emak tak biasa yang bertransformasi menjadi supermom yang harus mengusahakan segalanya. Jangan anggap kami nekat, tapi lihatlah bahwa kami punya cinta untuk melakukan semuanya.

Sunday 5 June 2022

Aku Tidak Bisa Memasak

11:23 0 Comments

memasak


Suatu waktu saya diminta untuk mengklasifikasian semua aktivitas saya sehari-hari. Kegiatan-kegiatan itu digolongkan menjadi empat kuadran: suka dan bisa; suka tapi tidak bisa; bisa tapi tidak suka; serta tidak suka dan tidak bisa. Kuadran pertama (suka bisa) menjadi potensi untuk difokuskan di sana. Kuadra kedua (suka tidak bisa) menjadi salah satu ranah hobi kita. Sekedar suka saja, tapi tidak sampai benar-benar menjadi maestro di bidang itu. Kuadran tiga (bisa tidak suka) mungkin menjadi salah satu kompetensi kita untuk bekerja misalnya. Dan kuadran keempat (tidak bisa tidak suka) menjadi aktivitas yang sebaiknya ditinggalkan karena membuang-buang waktu.


Semua aktivitas yang pernah kita lakukan diminta untuk digolongkan dalam empat kuadran tersebut. Salah satu aktivitas yang membingungkan adalah memasak.


Bagi saya, memasak bukanlah sebuah hobi. Maka, tentu dia bukan 'suka dan tidak bisa'. Tapi tidak juga sebagai aktivitas yang membuang-buang waktu. Berarti memasak seharusnya menjadi akitivitas di kuadran tiga bukan? Artinya memasak adalah aktivitas di mana saya bisa, tetapi saya tidak suka. Tapi entah kenapa, bagi saya memasak bukanlah aktivitas yang saya 'bisa'.


Saya 'tidak bisa' memasak. Setiap pagi ibu mertua sudah asyik membenamkan dirinya di dapur, meramu masakan sesuai selera beliau. Maka saya 'tidak bisa' memasak. Sejak pagi saya harus mengambil peran ini itu, dengan shift dapur yang masih dipakai ibu, maka saya 'tidak bisa' memasak karena harus segera memburu waktu mengambil peran berikutnya. Maka saya selalu menganggap waktu saya 'tidak bisa' untuk memasak. Pun karena saya tak terbiasa memasak, mungkin insting rasa saya pun tak semahir jika sudah memegang panci dan segala alat tempur masak lainnya. Hingga boleh jadi saya memang benar-benar tidak bisa memasak.


Parahnya, mungkin saja saya justru 'tidak suka' memasak. Saya 'tidak suka' jika harus memasak dan lantas masakan yang sudah dibuat ibu semula jadi tidak termakan. Pertama mubadzir, kedua membuang waktu dan tenaga, ketiga akan membuat luka. Jadi, mungkin saya juga 'tidak bisa' memasak karena saya 'tidak suka' konsekuensi jika saya memasak.


Tapi, ternyata saya 'bisa' memasak. Qodarullah ibu sakit beberapa hari belakangan. Urusan dapur tak ada yang memegang. Serta merta ibu mertua memberi lampu hijau bagi saya untuk sejenak duduk di dapur dan melakukan apapun yang saya mau. Maka saya bisa memasak dari segi ruang dan waktu. Dari segi rasa? Saya tak berani berharap banyak. Namun melihat dua bocah mau dengan ikhlas memakan masakan saya, bahkan sesekali minta tambah untuk menu tertentu membuat saya tersadar, "Ah, barangkali saya sebenarnya memang 'bisa' masak."


Ada yang menarik yang saya tangkap di sini. Boleh jadi kita menganggap diri kita tak berarti, tak berdaya, tak bisa melakukan sesuatu, tetapi mungkin rasa tak bisa itu karena tak ada kesempatan yang datang pada kita. Mungkin jika moment itu tiba, maka akan terbukti bahwa sebenarnya kita bisa. Jadi PRnya adalah bagaimana menemukan kesempatan demi kesempatan untuk membuktikan bahwa kita bisa dan bukan termakan oleh asumsi diri sendiri jika kita tak bisa apa-apa.


Fighting! Just do the best! 

Saturday 4 June 2022

Anak Biasa dari Ibu Luar Biasa?

09:50 0 Comments
ibu dan anak



Saya sedang menonton serial drama korea Green Mother's Club saat ini. Buat emak-emak yang anaknya sudah masuk sekolah seperti saya, drama ini sangat relate dengan kehidupan pribadi saya sendiri.


Tokoh utama drama ini adalah Lee Eun Pyo, seorang calon profesor muda yang tiba-tiba berhenti bekerja karena ulah anaknya mengunggah artikel pribadi di media. Lalu mereka pindah ke lingkungan baru dengan gaya parenting ambisius di sekolah anaknya. Eun Pyo yang memiliki gaya mendidik permisif tanpa memaksakan ini itu pada sang anak dihadapkan pada kenyataan bahwa anaknya membuat ulah dan tidak konsentrasi di kelas. Sang anak dianggap tertinggal dan tak pantas berada di lingkungan high class seperti mereka.


Meski saya baru menyimak sampai episode empat, beberapa scene drama ini seolah menceritakan diri saya sendiri. Eun Pyo sebagai seorang dosen dianggap berpendidikan dan sukses. Lantas seolah menjadi stereotype kalau anaknya pun seharusnya cerdas dan mumpuni layaknya sang ibu. Bukankah ibunya profesor.


Tapi ternyata di awal episode sang anak terkesan tak berpendidikan. Dia tak bisa mengikuti pelajaran. Lantas dengan kondisi itu seolah muncul omongan miring, "Ibunya sibuk dengan dirinya sendiri dan tak peduli dengan pendidikan anaknya."


Jlebb


Rasanya poin ini sedikit menampar. Di kehidupan pribadi kadang kala orang beranggapan begitu juga. Kan anaknya dokter pasti pinter. "Pasti"? Siapa yang membuat kata pasti ini? Lalu ketika sebagai dokter masih berkomitmen untuk praktik, mungkin di satu sisi dia akan terkesan hebat. Namun dengan kesibukannya di ranah publik, ternyata ada pendidikan sang anak yang barangkali harus disesuaikan. Lalu, di poin ini apakah akan menjadi terkesan egois karena tidak totalitas pada akademis anaknya karena sambil memikirkan kariernya?


Lantas ketika sang anak sekolah, ternyata perkembangannya tidak optimal. Dia bukan si anak paling cerdas di kelasnya, yang mungkin berbeda dengan sang ibu yang menjadi primadona di masa sekolahnya. Hingga orang tua lain pun mungkin menyayangkan, apa anak ini tidak pernah belajar dan dididik ibunya di rumah? Belum lagi ketika gaya mendidik yang muncul terkesan berbeda dengan mayoritas orang tua. Stigma aneh dan tidak selevel kemudian muncul seketika.


Diakui atau tidak, perasaan itu muncul ketika Kak A mulai sekolah. Saya dengan paham parenting yang tidak memaksakan calistung pada anak mendadak melongo ketika anak usia 5 tahun sudah bisa membaca buku cerita, menulis, atau membaca mushaf quran. Awalnya merasa tidak ada yang salah, toh memang saya tidak mengajarkannya. Lalu, seperti di serial drama tersebut, muncul rasa bersalah kenapa tidak diajarkan lebih awal. Bukankah anak-anak pada umumnya sudah belajar demikian sejak usianya sangat muda. Bukankah tuntutan akademis memang begitu.


Hanya saja di episode keempat ini muncul fakta bahwa ternyata sang anak sangat jenius. Eun Pyo dipanggil oleh sang guru bahwa anaknya istimewa sehingga harus diperhatikan dengan lebih baik. Begitu juga ketika di tes kecerdasan, ternyata sang anak memiliki kecerdasan 0,01% teratas.


Di sini poinnya. Setiap anak pasti memiliki titik kelebihannya. Hanya saja mungkin orang tua belum bisa menggalinya. Mungkin kita kurang peka, atau karena terlalu memukul rata bahwa semua anak harus pintar secara akademis dan diraih dengan cara yang sama. Padahal burung tidak bisa dinilai jika dia diminta berenang, kuda tak akan dianggap tangguh jika dia diminta memanjat.


Ya, itu PR buat saya. Buat kita semua. Bagaimana kita bisa menemukan kelebihan anak dan membuatnya bersinar tanpa rendah diri karena mungkin berbeda dengan mayoritas anak lainnya. Semoga kita bisa menumbuhkan fitrahnya tanpa mencederainya hanya demi serupa dengan anak pada umumnya. Aamin.

Friday 27 May 2022

Sosial di Masa Tua

20:30 0 Comments



Kemarin siang seorang tetangga datang ke rumah. Beberapa hari ini ibu memang sedang tidak enak badan. Karenanya, tetangga itu ke rumah untuk melihat keadaan ibu. Sempat terdengar obrolan beliau berdua. Salah satunya tentang betapa di usia tua hanya sendirian saja dan tak ada teman bicara.


Ketika akhirnya saya keluar kamar dan menemui beliau, ibu tetangga itu berkata, "Ngapunten mbak, ngobrol-ngobrol kaliyan ibu niki. Lha jenengan niku kan tiyang mendel mawon. Kados mantu kula nggih ngoten niku. Nek ora ditutuk ora metu suarane," (Maaf mbak, ngobrol-ngobrol sama ibu ini. Soalnya kamu itu kan orangnya diam saja. Seperti menantuku juga begitu. Kalau tidak 'dipukul'--diajak bicara--ga keluar suaranya)


Hm..., saya hanya tersenyum saja.


Padahal beberapa jam sebelumnya, saya sedang membahas dengan mentor saya di kelas bunda cekatan. Saya bercerita bagaimana saya sangat tertutup hingga tidak terbiasa bercakap-cakap bahkan dengan keluarga terdekat. Entah apakah karena memang dasarnya saya pendiam dan tidak cerewet, atau saya kurang terbiasa basa-basi, atau memang karena saya tak bisa membangun komunikasi?


Kita pasti tahu betul kalau manusia adalah makhluk sosial. Kita butuh berinteraksi dengan orang lain, membaur dengan yang lain, dan tak bisa sendirian karena saling membutuhkan. Terlebih lagi ditambah embel-embel kami kaum wanita butuh mengeluarkan dua puluh ribu kata tiap harinya. Seolah-olah memang harus bersosialisasi. Hanya saja sosial yang dimaksud di sini seperti apa? Apakah di era modern sekarang ini makna sosial bergeser ke sosial media?


Bukan satu dua orang yang mengalami ini. Mungkin saja ada orang yang aktif di media sosial, tapi di kehidupan nyata tidak terlihat gaungnya. Dia butuh sesuatu, langaung mencari info dengan berselancar di dunia maya. Dia butuh interaksi, langsung membuat akun dan komentar atau chat di sana-sini. Namun di kehidupan nyatanya tidak demikian. Mungkin dia akan tetap di dalam rumah karena sibuk bersosialisasi dengan dunia yang ada dalam genggamannya. Maka apakah orang seperti ini akan disebut sebagai pendiam yang tak biasa basa-basi dan tak mahir berkomunikasi?


Lalu saya berandai-andai, bagaimana ya kalau para manula ini juga bersosial lewat media? Kebetulan saja mereka orang sepuh yang tidak kenal gadget. Andai mereka tahu sedikit saja, apakah mereka akan merasa kesepian juga? Atau jangan-jangan justru berubah 'status' menjadi lansia sosialita karena saking hitsnya?


Lantas saya pun membayangkan diri saya sendiri pula. Kira-kira apa ya yang akan saya lakukan di usia senja nanti? Ketika anak-anak sudah sibuk dengan dunianya sendiri. Lalu sudah tak ada 'pekerjaan' karena purna masa kerja tersebab usia. Ditambah fisik yang mulai melemah. Apakah saya akan diam saja nanti? Mungkinkah nanti saya akan rebahan di kasur sambil menatap layar. Atau bisakah saya menggenggam pena dan menggoreskan kata demi kata. Atau masih mungkinkah otak diajak berpacu mengurus ini itu meski raga mulai layu. Mengontrol bisnis misalnya, menyimak kajian atau video-video, dan yang lainnya.


Wallahua'lam, tidak ada yang tahu. Yang penting adalah berusaha bagaimana agar sisa usia tidak menjadi sia-sia. Aamiin

Sunday 27 March 2022

Keluarga? Siapa?

21:52 0 Comments

keluarga

 
Saya mendapat tema wajib untuk menuliskan tentang keluarga. Pertama kali membaca tema yang ditentukan itu, mendadak saya berubah menjadi skeptis. Jika orang lain mungkin menggambarkan tentang keindahan sebuah keluarga, atau tentang bagaimana menciptakan keluarga yang bahagia, saya justru mempertanyakan apa itu sebenarnya keluarga. Lebih lanjut saya kembali menanyakan, siapa sebenarnya yang dianggap sebagai keluarga.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada empat arti dari keluarga. Pertama, ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah. Kedua, orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Ketiga, kaum, sanak saudara; kaum kerabat. Yang terakhir, keluarga yaitu satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.

Dari pengertian pertama, ada beberapa sudut pandang yang bisa diambil. Jika menjadi ibu dan bapak, keluarga berarti adalah anak. Tapi nyatanya anak tak menjadi milik kita selamanya. Bukankah sudah tidak asing lagi istilah bahwa anak hanyalah titipan. Ketika akhirnya anak-anak menjadi dewasa dan menemukan pasangan hidupnya, mereka pun berpisah begitu saja. Lantas rumah pun tanpa anak-anak lagi. Maka, keluarga hanyalah menjadi sepasang bapak dan ibu saja.

Jadi, keluarga yang utama adalah sosok bapak dan ibu itukah? Tapi nyatanya, hubungan mereka pun terbentuk karena sebuah ikatan perkawinan. Yang mana sebuah ikatan bisa saja akan terurai, beda halnya jika itu ada darah yang mengalir dalam daging karena ikatan keturunan. Memang benar, menjadi anak tak bisa memilih siapa orang tuanya, dan suami atau istrilah satu-satunya sosok yang kita pilih dalam hidup kita. Tapi karena ikatan yang terjadi itulah ketika tercerai maka kembali lagi ke definisi semula. Tak sedikit pasangan yang bercerai kemudian berazzam, “Tak apa, aku akan hidup fokus bersama anak-anakku”. Padahal kembali lagi ke kasus pertama, ketika anak dewasa toh akan pergi juga.

Atau mungkin, jika dilihat dari sudut pandang anak, keluarga yang sejati adalah orang tuanya? Bagaimana tidak, dia bisa terlahir ke dunia pastinya karena peran orang tuanya. Maka, orang tua lah sosok keluarga yang abadi untuknya. Mungkin ini sejalan dengan hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa meskipun seorang lelaki telah menikah, tetap saja yang utama adalah ibunya. Yah, bisa jadi memang orang tua sosok keluarga itu.

Ini berkorelasi dengan definisi kedua dari KBBI yang menyatakan bahwa keluarga adalah sosok yang menjadi tanggungan. Terlepas dari anak-anak yang memang belum bisa menghasilkan, nyatanya orang tua tetap menjadi sosok yang akan ditanggung anaknya. Bukan karena sandwich generation, tapi agaknya sangat jarang di masa sekarang ketika seorang anak bersikap acuh dan tak menanggung orang tuanya. Ah, tentu saja masih ada. Mungkin saking sibuknya dan gila harta, dia asyik menimbun pundi-pundinya sendiri dan mengabaikan orang tua yang sebenarnya masih menjadi tanggungannya. Kalau begitu, gugur sudah definisi kedua.

Pengertian ketiga dan keempat justru lebih menarik. Bukankah tidak sedikit orang yang lebih percaya pada rekan dekatnya atau tetangga ketimbang ayah ibu atau anaknya. Ketika ada masalah, dia lari pada koleganya. Durasi waktunya pun lebih banyak dihabiskan dengan mereka ketimbang sosok di definisi pertama atau kedua. Mungkin pantas kiranya mereka memang disebut sebagai keluarga.

Sayangnya, mereka mungkin tak punya ikatan apa-apa. Tak ada darah yang mengalir sama, ataupun catatan sipil yang terdaftar di negara. Artinya ikatan ini pun tak akan berlangsung selamanya. Insidental dan seperlunya saja. Jika pindah kerja, maka sudah tidak ada komunikasi intens lagi. Begitu seterusnya. Maka, ini pun tak kekal juga.

Jadi, siapa sebenarnya keluarga? Ah, ini hanya keisengan bertanya-tanya saja.