Follow Us @soratemplates

Sunday 23 May 2021

Kenapa Tidak Kerja di Rumah Sakit?

06:05 0 Comments



Postingan tentang ini pernah saya unggah di sosial media. Judulnya "Kerja di Rumah Sakit mana?" Yah, sebagai dokter memang sangat wajar kalau mindsetnya adalah bekerja di rumah sakit. Sayangnya tidak semua dokter harus bekerja di sana kan? Di postingan itu saya memberikan jawaban secara general, tapi di sini saya ingin sedikit mengalirkan rasa.


Awalnya sejak memasuki periode koas saya cukup excited mendapat pasien dengan kasus rumit. Adrenalin saya terpacu ketika melihat pasien emergency. Ritme kerja yang harus cepat tanggap juga membuat saya lebih bergairah. Namun semua sirna ketika gelar dokter tersemat di nama saya dan mulai menjalani program internship.


Banyak yang bilang masa internship adalah masa yang paling menyenangkan. Gimana tidak, seorang dokter fresh graduate bisa bekerja 'amatir' tapi sudah mendapat income meski judulnya sekedar bantuan hidup dasar. Sayangnya itu tidak berlaku di saya. Bukan karena tempat internship saya yang kurang menyenangkan, tapi karena saya sudah memiliki peran yang berbeda.


Saat internship saya sudah berstatus sebagai seorang istri dan ibu. Kak A yang berusia 9 bulan waktu itu saya boyong ikut merantau keluar Solo. ART? Tentu saja tidak ada. Untuk keluarga mungil seperti kami rasanya terlalu lebay untuk menghire asisten di perantauan. Terlebih saya punya dalih ingin memantau sendiri setiap tumbuh kembang anak.


Nyatanya itu tidak mudah. Bekerja dengan sistem shift dan meninggalkan anak dengan jam yang berbeda-beda itu memberi tantangan tersendiri. Shift pagi mungkin masih aman. Sejak subuh anak dikondisikan, rumah beres, tinggal berangkat. Sayangnya kadang itu tidak berlaku saat shift siang atau malam. Anak sudah tidur di malam hari misalnya, lima menit sebelum berangkat ternyata rewel dan minta dininabobokan dsb. Tentu itu akan memakan waktu sendiri.


Padahal sistem kerja shift mengharuskan ada operan dengan shift sebelum dan sesudahnya. Jika saya terlambat datang lima belas menit saja, pasti sudah membuat resah shift sebelumnya. Saya terkesan dzalim pada rekan sejawat karena dalam lima belas menit itu bisa saja ada beberapa pasien yang masuk dan harus ditangani. Begitu pula ketika jam pulang. Ketika shift berakhir dan ternyata ada pasien yang sudah terpegang dan belum selesai dilakukan rumatan, maka ada penambahan waktu untuk menuntaskan. Dampaknya mungkin akan terlambat pulang setengah jam, atau bahkan bisa sampai satu atau dua jam.


Bukankah memang harus begitu risikonya? Yah, tentu saja. Saya paham betul bahwa memang demikian tugas seorang dokter. Sayangnya itu tidak sesuai dengan hati nurani saya. Bukan karena saya tidak pantas menjadi dokter, tapi karena peran sebagai istri dan ibu terusik dengan cara kerja yang demikian.


Maka saya memilih bekerja di klinik semacam praktik pribadi dengan jam buka dari jam sekian hingga sekian. Pasien datang akan saya layani, begitu selesai maka klinik tutup. Kalaupun ada penambahan waktu karena pasien datang di injury time, paling hanya menambah waktu lima atau sepuluh menit.


Dengan begitu, ritme hidup saya lebih teratur. Saya tahu jam berapa saya akan fokus menjadi dokter. Saya juga tahu mulai jam berapa saya akan berganti peran menjadi seorang ibu dengan sadar penuh membersamai anak.


Yah, ini hanya kasus pada diri saya saja. Dokter wanita yang tetap prima dengan segala perannya meski bekerja di rumah sakit juga ada. So, tidak selayaknya setiap dokter dipukul rata.

Tuesday 18 May 2021

I'm Back

20:07 0 Comments



Aku kembali di sini, setelah beberapa hari kemarin bermain-main di instagram dan facebook. Aku bilang di sana bahwa aku butuh menepi, butuh sepi, butuh bebas bermain-main dengan sudut pandang, pun bebas untuk merayakan cerita. Yah, semua itu benar adanya.


Aku memang butuh menepi. Bagiku sosial media terasa begitu menjadi pusat perhatian. Terlalu banyak orang yang mencetak personal brandingnya dan sengaja membuat dirinya menjadi poros utama. Ah, aku memang tak nyaman dipandang banyak orang. Maka aku memilih di sini, yang tak terlalu mencolok mata dan hanya orang tertentu saja yang memang menyengaja untuk berkunjung di sini.


Aku memang butuh suasana sepi. Bagiku sosial media begitu bising dan riuh. Sekali waktu akan ada banyak yang berkomentar, atau memberikan tanda love pada postingan. Ah, padahal ternyata tidak semua benar-benar dibaca. Tak sedikit yang sekedar formalitas atau semacam solidaritas, atau malah sekedar boom like agar postingan miliknya sendiri akan muncul di beranda. Yah, semacam meningkatkan engegament begitulah. Maka aku memilih di sini yang sepi, yang tak banyak orang saling bersahut-sahutan menimpali atau berbasa-basi membubuhkan tanda cinta di sana-sini.


Aku memang masih butuh bermain-main dengan banyak sudut pandang. Instagram bagiku terlalu membatasi diri. Yah, meskipun menjadi tantangan tersendiri untuk bisa menulis di atas 300 kata tapi di bawah 2200 karakter. Tapi bagiku ini nanggung. Jika ingin lepas memainkan sudut pandang, seharusnya aku mengambil ruang tanpa batas. Dan di sinilah pilihanku, tanpa aku perlu memikirkan apakah space masih tersedia. Aku bebas berekspresi sejauh apa yang aku mau.


Aku pun ingin bebas merayakan cerita. Yah, bagiku ada hal-hal tabu untuk dishare di sosial media. Pun ada banyak hati yang perlu dijaga. Tentang relasi suami istri misalnya, sungkan untuk dibaca teman yang sudah kenal. Tentang keseruan bersama anak barangkali, padahal ada beberapa yang sedang mendamba hadirnya buah hati. Yah, bisa saja sebenarnya saya memposting apapun sesuai keinginan saya, toh itu media sosial saya sendiri. Tapi tetap saja rasa sungkan dan filter itu perlu dijaga. Maka kembali lagi pada alasan pertama dan kedua. Di sini lebih sepi dan tak terlalu menjadi pusat perhatian. Aku tak mengganggu suasana hati mereka yang perlu dijaga. Toh mereka bisa saja tak perlu repot-repot mampir ke sini.


Yah, inilah jalan yang kupilih saat ini. Meski sempat beranggapan masa iya mau jadi blogger, tapi aku memilih sebatas sebagai jalan yang paling nyaman untuk dilalui. Apakah ini bearti aku akan beralih dari penulis media atau penulis buku menjadi penulis blog? Wallahua'lam.