Follow Us @soratemplates

Monday 10 October 2011

Menulis Itu Sulit

23:13 0 Comments


Hm, saya bisa ‘dibunuh’ teman saya kalau saya membuat pernyataan itu. Beberapa waktu lalu saya sering mengompor-ngompori teman saya untuk menulis. Kata saya, “menulis itu gampang, apa susahnya menulis. Tinggal ambil bolpoin, tulis. Buka laptop, ketik. Jadi.”

Oke, dari segi teknis memang semudah itu. Tapi proses untuk menulis itu bukan sesuatu hal yang semudah itu. Terkadang muncul kendala yang tak terduga.

Mulai dari sarana. Banyak yang mengeluh tak bisa menulis karena tak ada sarana. Mungkin belum ada computer atau laptop, tapi bukan berarti tak punya bolpoin dan kertas kan. Kalau menyerah, ya bisa saja dianggap susah. Tapi kalau memang niat menulis, tak akan ada halangan. Tumpukan kertas pun jadi.

Lalu, ide. Hm, perkara ide seprtinya sudah berkali-kali saya jadikan bahan PSH. Intinya, tangkap saja semuanya. Tapi ini juga tak semudah kedengarannya. Barangkali saat suntuk, hati tak mudah mencerna kehidupan untuk menjadi sebuah ide. Ketika pikiran penat, tak mudah mengolah kata menjadi tulisan yang nikmat. Ya, ada saja kondisi psikis kita yang mungkin membuat kita tak segampang itu menjaring ide yang bertebaran di muka bumi.

Ini berkaitan dengan perkara mood. Tak sedikit teman-teman yang mengeluh tidak punya mood. Rasanya malas untuk nulis. Ujung-ujungnya hanya buang-buang waktu. Dan barangkali karena tidak produktif itu lantas lain hari justru makin malas untuk meluangkan waktu. Takut waktunya terbuang sia-sia lagi. Kalau sudah begini, kapan mau nulisnya?

Belum lagi kalau sudah berani mengirim ke media atau berbagai media. Karya yang tak kunjung dimuat, karya yang tak juga menang-menang lomba, rasanya menambah daftar buruk kalau menulis itu perkara susah. Ujung-ujungnya bosan berharap, dan malas untuk menerima ketidakenakan serupa. Maka berhentilah menulis.

Yah, menulis memang tidak semudah mengambil bolpoin dan menggoreskannya di kertas. Dulu saya menganggapnya, aktifitas itu adalah menulis. Tapi setelah saya pertimbangkan, rasanya itu lebih pantas dikatakan sebagai mencoret-coret. Ya, mencoret-coret itu gampang. Tapi mengubahnya menjadi tulsian, mungkin butuh perjuangan.

Jadi benar kiranya kalau menulis itu sulit. Kalimat ini sebenarnya saya dapatkan dari seorang penulis beberapa waktu yang lalu. Penulis itu menceritakan bahwa dia memiliki sebuah komunitas. Di komunitas itu, hampir 500 orang yang mendaftar sebagai anggota. Tapi, menghilang semua. Hanya hitungan jari yang benar-benar bisa menjadi penulis, dilihat dari eksistensinya maupun karyanya dalam bentuk buku.

Dari data itu saja kita sudah bisa mengiyakan kalau menulis itu adalah perkara susah. Jangan harap karena bergabung dalam komunitas menulis lantas bisa dikatakan sebagai penulis. Seorang penulis dikatakan penulis ketika ada tulisan. Dan menciptakan sebuah tulisan itulah yang membutuhkan perjuangan.

Mungkin benar adanya, bahwa seorang penulis itu akan mengalami seleksi alam. Penulis yang tak tahan menghadapai susahnya menulis, akan memilih mundur dan berhenti. Tapi penulis yang mau merasakan susahnya menulis, tak akan pernah berhenti. Dan karena tidak berhenti menulis itulah, suatu waktu ia akan mengatakan bahwa menulis itu mudah.

Ya, menulis itu sulit. Tapi menulis itu mudah kalau kita mau menghadapi yang sulit. Karena tak ada kesulitan, tanpa ada kemudahan.

Keep writing!  

  

Saturday 8 October 2011

Plagiat Halus

23:11 0 Comments
Berhubung akhir-akhir ini saya sering bergesekan dengan karya tulis ilmiah, kata plagiat seakan berdengung-dengung di telinga saya setiap harinya. Hm, lebay. Tapi memang begitu adanya. Setiap akan menentukan tema dari karya tulis, hal yang pertama terpikirkan adalah, “Ini plagiat atau bukan?”

Awalnya, definisi kata plagiat dalam kamus saya adalah mencontek persis semua ide atau tulisan dari suatu sumber. Mungkin ekstremnya seperti mencomot karya orang lain lalu mengganti namanya dengan nama kita. Ternyata, plagiat tak semata-mata tindakan yang seanarki itu. Hal kecil yang kadang tak kita sadari pun bisa jadi sebuah plagiat.

Saya baru mengetahuinya ketika seorang teman menceritakan pengalaman salah seorang dosen saya. Selama sepuluh tahun, dosen saya mengadakan sebuah penelitian. Penelitian itu benar-benar murni hasil pemikirannya. Bahkan, menurut beliau, penelitian tersebut merupakan hal baru di Indonesia. Ketika penelitian itu selesai dan akan didaftarkan untuk publikasi jurnal ilmiah internasional, dosen saya dicap sebagai plagiat. Mengapa? Karena beberapa waktu sebelum dosen saya mendaftar, ada peneliti lain dengan metode dan ide yang sama telah mendaftarkan hasil penelitiannya.

Bayangkan! Penelitian sepuluh tahun tertolak hanya karena kalah cepat publikasi. Dan hanya karena kalah cepat, penelitian kita dianggap sebagai plagiat. Hm, rasanya kejam sekali definisi plagiat dalam hal ini.
Diakui atau tidak, mencari ide yang benar-benar murni terkadang merupakan hal yang sulit. Mungkin diperlukan keahlian tingkat dewa untuk menjadi seorang penemu, benar-benar yang pertama meneliti hal itu. Kalaupun kita merasa telah menjadi penggagas utama, jangan-jangan ternyata ada orang di luar sana yang memiliki pemikiran yang sama dan lebih dulu mengungkapkan gagasannya.

Ya, manusia di dunia ini begitu banyak. Masing-masing otak bisa memikirkan berbagai hal. Bukan sesuatu yang mustahil jika perkara yang kita anggap baru ternyata juga dipikirkan oleh orang lain di muka bumi ini. Contoh kasusnya saat saya dan teman-teman mencari ide untuk karya tulis beberapa waktu lalu. Kami merasa bahwa inovasi A untuk mencegah penyakit B merupakan hal baru. Tapi begitu kami mencari sumber jurnal, ternyata begitu banyak jurnal yang menyatakan itu. Dan kalau kami murni mengangkat itu, bisa-bisa kami dicap plagiat pula karena mencuri pemikiran mereka. Di sini letak susahnya.

Tapi sebenarnya bisa dijadikan hal yang mudah. Jika kita bukan dalam tingkat penemu, setidaknya bisa menjadi penguat atau pengecek. Misalkan inovasi A untuk mencegah penyakit B. Bisa saja kita mencari penyakit C yang memiliki mekanisme perjalanan penyakit hampir sama dengan penyakit B. Atau misalkan efektifitas zat A untuk organ B, bisa diubah menjadi organ C. Atau tindakan A di daerah B yang notabene adalah luar negeri, bisa diubah menjadi di daerah C alias Indonesia. Siapa tahu karena berbeda daerah lantas memiliki faktor risiko berbeda atau dipengaruhi iklim, gen, dan ras tertentu.

Sepertinya terkesan simpel. Ya, memang simpel. Tapi ketika sebuah pertanyaan “Inovasi dari karya tulismu apa?” atau “Apa bedanya dengan penelitian sebelumnya?” dan nyatanya kita tidak bisa menjawabnya, patut dipertanyakan apakah kita telah melakukan plagiat?

 Ini baru sebatas ide atau metode penelitiannya saja. Belum lagi perkara mengutip referensi dari sumber tertentu. Asal mengutip tanpa pengolahan diksi dari diri kita sendiri, bisa menjadi sebuah plagiat tersendiri. Lebih parah lagi jika mengutip sebuah kalimat saja dari suatu sumber tanpa mencantumkan daftar pustaka, seakan-akan itu adalah kalimat ciptaannya sendiri.

Hm, repot! Mungkin memang terkesan begitu. Barangkali ada yang menggerutu, mengapa harus seribet itu?
Jawabnya, karena karya adalah sebuah karya. Yang diciptakan melalui proses pemikiran dan perwujudan yang barangkali tidak mudah. Sungguh wajar jika suatu karya yang telah diperjuangkan patut untuk dihargai dan diakui. Bayangkan saja jika kita telah capek-capek membuat sesuatu lantas orang lain mengaku-aku bahwa bukan kita yang membuat itu. Rasanya semua perjuangan seakan tak ada harganya.

Maka, jika kita ingin karya kita juga dihargai, cobalah untuk menghargai karya yang telah ada. Karena karya memang sebuah karya, yang butuh suatu apresiasi. Meskipun itu sekedar mengakui bahwa karya itu bukan milik kita pribadi.


Friday 7 October 2011

Lupakan Aku?

23:09 0 Comments
Saya mendapat sebuah pelajaran beberapa waktu lalu, mengenai pentingnya suatu bentuk pelupaan atas sesuatu. Waktu saya seorang penulis berkata, “Jangan berkespektasi terlalu tinggi. Tulis karya dan lupakan. Muat atau tidak dimuat biarlah karya itu yang mencari jalannya sendiri.”

Ada dua hal yang bisa digarisbawahi di atas, tapi untuk saat ini saya memilih hanya membahas kata ‘lupakan’. Ya, lupakan.

Di lihat dari sisi positif, melupakan bisa menjadi suatu motivasi tersendiri. Melupakan bisa menjadi obat mujarab jika suatu karya kita ternyata tidak layat muat. Berhubung lupa, kita tak perlu terlalu sakit hati. Dan berhubung tidak terlalu sakit hati, kita tetap akan menulis lagi.

Melupakan juga bisa menjadi pemicu untuk mengembangkan diri. Misalkan kita menulis dan memenangkan suatu lomba. Jika kita melupakan, maka kita lupa bahwa kita pernah menang. Bagi orang yang cepat berpuas diri, ini bisa menjauhkan dirinya dari tindakan berhenti berkarya karena merasa sudah menjadi juara. Karena lupa, dia akan tetap mengejar kepuasannya. Karena terus mengejar kepuasannya, dia tak akan berhenti berkarya.

Ya, melupakan terkadang memang ada baiknya. Memang, dengan mengingat dan senantiasa berharap juga tidak ada salahnya. Misalkan sedang mengikuti lomba, lalu mengingat-ingat sepanjang waktu sambil terus berdoa mengharap agar karyanya menjadi juara. Tak salah. Karena senantiasa berharap juga baik. Apalagi berharap pada Allah SWT. Bukankah Allah suka pada hamba-Nya yang senantiasa meminta? Barangkali karena Allah menyukai cara kita lantas kita dijadikannya sebagai juara.

Tapi, satu yang harus dipersiapkan. Sebuah mental kuat untuk menerima kekalahan. Bisa jadi karena berharap terlalu tinggi dan ternyata tak lolos, rasa sakit yang mendera justru makin terasa.

Inti di sini adalah agar tidak berhenti berkarya. Perkara melupakan atau tidak, mungkin memang tergantung individunya.

Jika kita termasuk orang yang mudah puas diri, mungkin lebih baik lupakan saja. Apalagi jika berharap terlalu tinggi justru membuatnya berhenti. Mungkin karena dia menyangka karyanya akan lolos, dia akan bersantai sejenak dan justru tidak menciptakan karya lagi. Di sini letak salahnya. Berhenti karena berharap terlalu tinggi. Belum lagi kalau karyanya tidak lolos. Bisa-bisa dia benar-benar berhenti karena merasa karyanya yang dari sudut pandangnya sudah bagus kok tidak diterima juga. Jadi, lebih baik lupakan saja.

Tapi bagi orang yang justru makin terlecut semangatnya jika mengingat, tak masalah jika senantiasa mengenang pahit manis karyanya. Misakan ketika dia kalah, mungkin dia bisa mengingat di mana letak kesalahannya. Atau dia mengingat bagaimana tidak enaknya perasaan ketika mengetahui kekalahan. Barangkali dengan perasaan tidak enak itu justru memotivasi dirinya untuk maju. Kalau sudah begitu, lebih baik tetap ingat saja.

Ya, intinya adalah jangan berhenti berkarya. Jangan cepat puas, jangan mudah kecewa. Mau melupakan? Itu terserah Anda.

Tuesday 4 October 2011

Baik atau Tidak Sama Sekali

23:06 0 Comments

Ada sesuatu yang saya dapatkan hari ini. Seharian tadi saya benar-benar memanjakan diri. Sejak pagi, saya sudah stand by di depan laptop. Beberapa film sudah mengantri untuk ditonton. Beberapa majalah sudah sabar menanti giliran. Beberapa buku masih setia menunggu untuk dijamah.

Rasanya banyak sekali daftar ‘senang-senang’ saya seharian ini. Dari banyaknya macam bacaan atau film itu, saya jadi menyadari sesuatu.

Ketika membaca cerita konyol, saya sedikit menyunggingkan senyum. Ketika membaca tentang kisah haru, terbayang pula ide-ide membuat puisi sendu. Ketika melihat film romance, terbawa juga suasana romantis dan tulus kasih para pemeran. Ketika melihat film pemberontakan, tersulut juga semangat untuk melakukan perubahan.

Yup, kalau di dunia kesehatan ada istilah you’re what you eat, rasanya tak salah juga jika dikatakan you’re what you see. You’re what you read. Dan segala macam you’re what you bla..bla..bla.. lainnya.

Seperti dampak televisi. Seorang anak kecil mendadak menjadi pegulat karena menonton pertunjukan gulat di TV. Seorang anak juga bisa menjadi suka jahil dan balas dendam karena melihat film kartun yang lucu namun sarat contoh keburukan. Ya, mereka adalah apa yang mereka lihat.

Mungkin bisa sedikit dianalogikan dengan hadits yang mengatakan bermain dengan penjual minyak wangi, bisa jadi tertular wangi. Bermain dengan pandai besi, bisa jadi tertular bau besi. Nah, karena sering melihat film atau membaca buku tentang kekerasan, bisa jadi pula mereka tertular tindakan kekerasan itu.

Ya, sepertinya itu memang memperngaruhi. Dari sini sebenarnya bisa diambil banyak banyak penerapan. Misal sedang ingin bersemangat, harusnya menonton flm atau buku yang bisa membakar semangat. Begitu juga sebaliknya, jika sedang sedih, harusnya tidak menonton film yang sedih, apalagi musik-musik sedih. Bisa-bisa jadi tambah sedih kan.

Sebenarnya memang tidak mutlak begitu. Bagi seorang penulis misalnya, membaca berbagai karakter buku bisa meningkatkan kemampuannya. Bagi seorang guru, melihat film-film kekerasan begitu bisa dijadikan cara untuk mempersiapkan  antisipasi dalam menghadapi muridnya.

Kuncinya adalah filter. Mampu tidak orang tersebut memfilter mana yang baik dan mana yang buruk. Jika mampu memilih, tentu semua tak masalah. Jika tak mampu, hati-hati saja. Kalau tak yakin itu benar-benar baik, lebih baik tinggalkan saja.

Monday 3 October 2011

Pelan-pelan Saja

23:07 2 Comments
Ada sebuah pelajaran yang saya peroleh dari film korea Dream High yang tayang beberapa waktu lalu di Indosiar. Film tersebut merupakan film korea tentang sekolah musik atau menyanyi. Pada suatu adegan, tokoh A telah sukses mendapatkan debut. Jalan yang diraihnya terasa mudah sekali. Sedangkan tokoh B, dia mengalami kegagalan berkali-kali. Tokoh B hampir patah semangat, tapi sang guru berkata, “Tidak masalah kita berjalan lambat. Lihat saja, dari kalian berdua, siapa yang akan lebih berhasil? Orang yang berjalan cepat atau orang yang berjalan lambat. Saya percaya, orang yang berjalan lebih lambat akan lebih berhasil. Karena dia memiliki kesempatan untuk melihat lebih banyak.” Hm…, menarik!

Secara spontan saja, kata-kata itu mengingatkan saya pada segudang audisi penyanyi yang sejak beberapa tahun terakhir memenuhi layar televisi. Puluhan orang telah dinyatakan lulus. Tak sedikit pula yang meraih gelar juara. Tapi, kalau sekarang diingat-ingat lagi, ke mana perginya mereka semua? Rasanya mereka hanya tenar ketika sedang berjuang itu saja. Selepasnya? Blaaar…, menguap. Hanya beberapa saja yang bisa eksis dengan perjuangannya sendiri.

Ada yang menarik di sini. Suatu hal yang instan sepertinya tidak bertahan lama. Seperti pembuatannya. Dibuat secara instan, berakhir pula dengan instan.

Saya jadi teringat komentar guru saya. Sekarang manusia itu sukanya instan. Mau jadi penulis, pinginnya instan. Bikin tulisan, jadi buku. Bahkan bukan tak mungkin akan mengerahkan segala cara untuk memenuhi keinstanannya. Padahal instan belum tentu bagus. Saking ingin instannya, penulis cenderung manja. Malas ngedit, malas belajar. Inginnya begitu tulisan jadi, langsung jadi buku.

Hm, cukup menohok sekali. Tapi saya setuju kata-kata yang menyebutkan kalau instan belum tentu bagus. Lihat saja mie instan. Memang dari segi waktu sangat praktis, tapi dari segi kesehatan jika dikonsumsi terus-menerus jelas tidak bagus. Berarti yang instan ga bagus kan.

Memang, ada pepatah yang bilang lebih cepat lebih baik. Tapi lebih cepat yang bagaimana dulu. Kalau cepat dalam arti instan yang tidak baik, atau justru terkesan tergesa-gesa, justru jadi tidak baik. Boleh saja cepat, asal kecepatan itu kecepatan yang baik.

Intinya, bagaimanapun suatu proses itu tetap penting. Kalau dalam waktu cepat tapi proses yang dilalui sudah cukup ya tak masalah. Tapi jika memang belum, lebih baik sedikit mengambil waktu dulu. Karena dalam waktu ya dilalui bisa jadi ada sebuah pengalaman baru atau informasi baru yang justru akan mendulang kesuksesan itu.

So, ayo berproses. Entah lebih cepat lebih baik, atau pelan-pela saja.

Sunday 2 October 2011

Right Man in the Right Place

23:04 0 Comments

Kalimat itu menjadi salah satu motto ketika menyeleksi anggota OSIS dulu. Ya, kami sebagai inti OSIS harus pintar-pintar memilih orang plus menempatkannya di tempat yang tepat. Right man yang ditempatkan di right place.

Barangkali itu hanya masalah sepele saja. Tapi sebenarnya hal ini bisa memiliki dampak yang besar. Mengapa? Karena tidak semua orang cocok di semua tempat. Pasti ada suatu tempat di mana dia ditakdirkan untuk survive bahkan menonjol di situ.

Saya menyadarinya tadi malam saat melihat adik saya yang sedang sibuk belajar. Bagi saya ini hal yang aneh. Adik saya itu termasuk orang susah sekali disuruh belajar. Disuruh saja tak mau, apalagi belajar dengan kemauannya sendiri. Tapi tadi malam berbeda. Saya dan ibu saya yang ribut sampai ditegur gara-gara dia ingin konsentrasi belajar.

Waktu itu saya berpikir. Wah, berarti adik saya sudah menemukan tempatnya, yaitu di IPS. Memang peminatan jurusan kali ini dia memilih IPS, meski gurunya mengatakan dia bisa saja masuk IPA. Tapi barangkali memang di situlah right place untuk dirinya. Hinggga rasa butuh untuk belajar pun mencuat dengan sendirinya.

Saya juga jadi teringat teman saya waktu SMA. Waktu itu dia ‘dibenci’ oleh guru-guru karena cara berpikirnya yang ‘aneh’. Nilai ujiannya pun tak selalu baik. Padahal sebenarnya dia cerdas. Yang ada, kemampuannya justru seakan dihambat. Begitu dia lulus dan diterima di ITB, tak menunggu berapa lama, santer sudah terdengar kabar kalau dia dielu-elukan di ITB. Menjadi mahasiswa kesayangan dosen, menjadi mahasiswa yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Dia telah menjadi right man in the right place.

Begitulah. Hal sepele namun nyatanya menjadi dasar untuk sebuah jalan panjang menuju kesuksesan. Right man belum tentu menjadi right place. Di suatu tempat pasti akan ada proses seleksi alam. Ketika dari proses seleksi ala mini dia bisa berhasil, kemungkinan itulah right place untuk dirinya. Ya, kemungkinan.

Tetapi ketika di suatu tempat itu dia justru bisa mengembangkan potensinya, bisa menemukan hal baru yang meningkatkan kemampuan dirinya, di situlah the Right place. Tempat yang paling tepat untuk membesarkan dirinya.

Masalahnya bagaimana kita bisa menemukan the right place? Apakah harus dengan mencoba satu demi satu semua tempat yang ada, lantas melihat apakah kita bisa survive di tempat itu?

Bisa ya, bisa juga tidak.

Bisa ya, dalam arti memang kita harus mau mencoba. Tapi bisa juga tidak, dalam arti tak semua tempat harus dicoba. Bagaimanapun kita tetap harus pandai-pandai memilih, pandai-pandai menentukan tempat mana yang sekiranya ‘pantas’ untuk kita coba.

Kalau masih susah juga menentukan apakah itu tempat yang baik untuk kita coba? Istikharah saja. Kalau kita tak sanggup memilih, biarlah Allah yang memilihkan untukmu. Dan lihatlah apakah kau akan survive di tempat yang Allah pilihkan untukmu.

Yup, ayo cari tempat terbaik. Agar kita menjadi right man in the right place. Semakin berkembang di tempat yang menakjubkan.