Awalnya, definisi kata plagiat dalam kamus saya adalah
mencontek persis semua ide atau tulisan dari suatu sumber. Mungkin ekstremnya
seperti mencomot karya orang lain lalu mengganti namanya dengan nama kita.
Ternyata, plagiat tak semata-mata tindakan yang seanarki itu. Hal kecil yang
kadang tak kita sadari pun bisa jadi sebuah plagiat.
Saya baru mengetahuinya ketika seorang teman menceritakan
pengalaman salah seorang dosen saya. Selama sepuluh tahun, dosen saya
mengadakan sebuah penelitian. Penelitian itu benar-benar murni hasil
pemikirannya. Bahkan, menurut beliau, penelitian tersebut merupakan hal baru di
Indonesia. Ketika penelitian itu selesai dan akan didaftarkan untuk publikasi
jurnal ilmiah internasional, dosen saya dicap sebagai plagiat. Mengapa? Karena
beberapa waktu sebelum dosen saya mendaftar, ada peneliti lain dengan metode
dan ide yang sama telah mendaftarkan hasil penelitiannya.
Bayangkan! Penelitian sepuluh tahun tertolak hanya karena
kalah cepat publikasi. Dan hanya karena kalah cepat, penelitian kita dianggap
sebagai plagiat. Hm, rasanya kejam sekali definisi plagiat dalam hal ini.
Diakui atau tidak, mencari ide yang benar-benar murni
terkadang merupakan hal yang sulit. Mungkin diperlukan keahlian tingkat dewa
untuk menjadi seorang penemu, benar-benar yang pertama meneliti hal itu.
Kalaupun kita merasa telah menjadi penggagas utama, jangan-jangan ternyata ada
orang di luar sana yang memiliki pemikiran yang sama dan lebih dulu
mengungkapkan gagasannya.
Ya, manusia di dunia ini begitu banyak. Masing-masing otak
bisa memikirkan berbagai hal. Bukan sesuatu yang mustahil jika perkara yang
kita anggap baru ternyata juga dipikirkan oleh orang lain di muka bumi ini.
Contoh kasusnya saat saya dan teman-teman mencari ide untuk karya tulis
beberapa waktu lalu. Kami merasa bahwa inovasi A untuk mencegah penyakit B
merupakan hal baru. Tapi begitu kami mencari sumber jurnal, ternyata begitu
banyak jurnal yang menyatakan itu. Dan kalau kami murni mengangkat itu,
bisa-bisa kami dicap plagiat pula karena mencuri pemikiran mereka. Di sini
letak susahnya.
Tapi sebenarnya bisa dijadikan hal yang mudah. Jika kita
bukan dalam tingkat penemu, setidaknya bisa menjadi penguat atau pengecek.
Misalkan inovasi A untuk mencegah penyakit B. Bisa saja kita mencari penyakit C
yang memiliki mekanisme perjalanan penyakit hampir sama dengan penyakit B. Atau
misalkan efektifitas zat A untuk organ B, bisa diubah menjadi organ C. Atau
tindakan A di daerah B yang notabene adalah luar negeri, bisa diubah menjadi di
daerah C alias Indonesia. Siapa tahu karena berbeda daerah lantas memiliki
faktor risiko berbeda atau dipengaruhi iklim, gen, dan ras tertentu.
Sepertinya terkesan simpel. Ya, memang simpel. Tapi ketika
sebuah pertanyaan “Inovasi dari karya tulismu apa?” atau “Apa bedanya dengan
penelitian sebelumnya?” dan nyatanya kita tidak bisa menjawabnya, patut
dipertanyakan apakah kita telah melakukan plagiat?
Ini baru sebatas ide
atau metode penelitiannya saja. Belum lagi perkara mengutip referensi dari
sumber tertentu. Asal mengutip tanpa pengolahan diksi dari diri kita sendiri,
bisa menjadi sebuah plagiat tersendiri. Lebih parah lagi jika mengutip sebuah
kalimat saja dari suatu sumber tanpa mencantumkan daftar pustaka, seakan-akan itu
adalah kalimat ciptaannya sendiri.
Hm, repot! Mungkin memang terkesan begitu. Barangkali ada
yang menggerutu, mengapa harus seribet itu?
Jawabnya, karena karya adalah sebuah karya. Yang diciptakan
melalui proses pemikiran dan perwujudan yang barangkali tidak mudah. Sungguh
wajar jika suatu karya yang telah diperjuangkan patut untuk dihargai dan
diakui. Bayangkan saja jika kita telah capek-capek membuat sesuatu lantas orang
lain mengaku-aku bahwa bukan kita yang membuat itu. Rasanya semua perjuangan
seakan tak ada harganya.
Maka, jika kita ingin karya kita juga dihargai, cobalah
untuk menghargai karya yang telah ada. Karena karya memang sebuah karya, yang
butuh suatu apresiasi. Meskipun itu sekedar mengakui bahwa karya itu bukan milik
kita pribadi.
No comments:
Post a Comment