Follow Us @soratemplates

Saturday 8 October 2011

Plagiat Halus

Berhubung akhir-akhir ini saya sering bergesekan dengan karya tulis ilmiah, kata plagiat seakan berdengung-dengung di telinga saya setiap harinya. Hm, lebay. Tapi memang begitu adanya. Setiap akan menentukan tema dari karya tulis, hal yang pertama terpikirkan adalah, “Ini plagiat atau bukan?”

Awalnya, definisi kata plagiat dalam kamus saya adalah mencontek persis semua ide atau tulisan dari suatu sumber. Mungkin ekstremnya seperti mencomot karya orang lain lalu mengganti namanya dengan nama kita. Ternyata, plagiat tak semata-mata tindakan yang seanarki itu. Hal kecil yang kadang tak kita sadari pun bisa jadi sebuah plagiat.

Saya baru mengetahuinya ketika seorang teman menceritakan pengalaman salah seorang dosen saya. Selama sepuluh tahun, dosen saya mengadakan sebuah penelitian. Penelitian itu benar-benar murni hasil pemikirannya. Bahkan, menurut beliau, penelitian tersebut merupakan hal baru di Indonesia. Ketika penelitian itu selesai dan akan didaftarkan untuk publikasi jurnal ilmiah internasional, dosen saya dicap sebagai plagiat. Mengapa? Karena beberapa waktu sebelum dosen saya mendaftar, ada peneliti lain dengan metode dan ide yang sama telah mendaftarkan hasil penelitiannya.

Bayangkan! Penelitian sepuluh tahun tertolak hanya karena kalah cepat publikasi. Dan hanya karena kalah cepat, penelitian kita dianggap sebagai plagiat. Hm, rasanya kejam sekali definisi plagiat dalam hal ini.
Diakui atau tidak, mencari ide yang benar-benar murni terkadang merupakan hal yang sulit. Mungkin diperlukan keahlian tingkat dewa untuk menjadi seorang penemu, benar-benar yang pertama meneliti hal itu. Kalaupun kita merasa telah menjadi penggagas utama, jangan-jangan ternyata ada orang di luar sana yang memiliki pemikiran yang sama dan lebih dulu mengungkapkan gagasannya.

Ya, manusia di dunia ini begitu banyak. Masing-masing otak bisa memikirkan berbagai hal. Bukan sesuatu yang mustahil jika perkara yang kita anggap baru ternyata juga dipikirkan oleh orang lain di muka bumi ini. Contoh kasusnya saat saya dan teman-teman mencari ide untuk karya tulis beberapa waktu lalu. Kami merasa bahwa inovasi A untuk mencegah penyakit B merupakan hal baru. Tapi begitu kami mencari sumber jurnal, ternyata begitu banyak jurnal yang menyatakan itu. Dan kalau kami murni mengangkat itu, bisa-bisa kami dicap plagiat pula karena mencuri pemikiran mereka. Di sini letak susahnya.

Tapi sebenarnya bisa dijadikan hal yang mudah. Jika kita bukan dalam tingkat penemu, setidaknya bisa menjadi penguat atau pengecek. Misalkan inovasi A untuk mencegah penyakit B. Bisa saja kita mencari penyakit C yang memiliki mekanisme perjalanan penyakit hampir sama dengan penyakit B. Atau misalkan efektifitas zat A untuk organ B, bisa diubah menjadi organ C. Atau tindakan A di daerah B yang notabene adalah luar negeri, bisa diubah menjadi di daerah C alias Indonesia. Siapa tahu karena berbeda daerah lantas memiliki faktor risiko berbeda atau dipengaruhi iklim, gen, dan ras tertentu.

Sepertinya terkesan simpel. Ya, memang simpel. Tapi ketika sebuah pertanyaan “Inovasi dari karya tulismu apa?” atau “Apa bedanya dengan penelitian sebelumnya?” dan nyatanya kita tidak bisa menjawabnya, patut dipertanyakan apakah kita telah melakukan plagiat?

 Ini baru sebatas ide atau metode penelitiannya saja. Belum lagi perkara mengutip referensi dari sumber tertentu. Asal mengutip tanpa pengolahan diksi dari diri kita sendiri, bisa menjadi sebuah plagiat tersendiri. Lebih parah lagi jika mengutip sebuah kalimat saja dari suatu sumber tanpa mencantumkan daftar pustaka, seakan-akan itu adalah kalimat ciptaannya sendiri.

Hm, repot! Mungkin memang terkesan begitu. Barangkali ada yang menggerutu, mengapa harus seribet itu?
Jawabnya, karena karya adalah sebuah karya. Yang diciptakan melalui proses pemikiran dan perwujudan yang barangkali tidak mudah. Sungguh wajar jika suatu karya yang telah diperjuangkan patut untuk dihargai dan diakui. Bayangkan saja jika kita telah capek-capek membuat sesuatu lantas orang lain mengaku-aku bahwa bukan kita yang membuat itu. Rasanya semua perjuangan seakan tak ada harganya.

Maka, jika kita ingin karya kita juga dihargai, cobalah untuk menghargai karya yang telah ada. Karena karya memang sebuah karya, yang butuh suatu apresiasi. Meskipun itu sekedar mengakui bahwa karya itu bukan milik kita pribadi.


No comments:

Post a Comment