Saya mendapat sebuah pelajaran beberapa waktu lalu, mengenai
pentingnya suatu bentuk pelupaan atas sesuatu. Waktu saya seorang penulis
berkata, “Jangan berkespektasi terlalu tinggi. Tulis karya dan lupakan. Muat
atau tidak dimuat biarlah karya itu yang mencari jalannya sendiri.”
Ada dua hal yang bisa digarisbawahi di atas, tapi untuk saat
ini saya memilih hanya membahas kata ‘lupakan’. Ya, lupakan.
Di lihat dari sisi positif, melupakan bisa menjadi suatu
motivasi tersendiri. Melupakan bisa menjadi obat mujarab jika suatu karya kita
ternyata tidak layat muat. Berhubung lupa, kita tak perlu terlalu sakit hati.
Dan berhubung tidak terlalu sakit hati, kita tetap akan menulis lagi.
Melupakan juga bisa menjadi pemicu untuk mengembangkan diri.
Misalkan kita menulis dan memenangkan suatu lomba. Jika kita melupakan, maka
kita lupa bahwa kita pernah menang. Bagi orang yang cepat berpuas diri, ini
bisa menjauhkan dirinya dari tindakan berhenti berkarya karena merasa sudah
menjadi juara. Karena lupa, dia akan tetap mengejar kepuasannya. Karena terus
mengejar kepuasannya, dia tak akan berhenti berkarya.
Ya, melupakan terkadang memang ada baiknya. Memang, dengan
mengingat dan senantiasa berharap juga tidak ada salahnya. Misalkan sedang
mengikuti lomba, lalu mengingat-ingat sepanjang waktu sambil terus berdoa
mengharap agar karyanya menjadi juara. Tak salah. Karena senantiasa berharap
juga baik. Apalagi berharap pada Allah SWT. Bukankah Allah suka pada hamba-Nya
yang senantiasa meminta? Barangkali karena Allah menyukai cara kita lantas kita
dijadikannya sebagai juara.
Tapi, satu yang harus dipersiapkan. Sebuah mental kuat untuk
menerima kekalahan. Bisa jadi karena berharap terlalu tinggi dan ternyata tak
lolos, rasa sakit yang mendera justru makin terasa.
Inti di sini adalah agar tidak berhenti berkarya. Perkara
melupakan atau tidak, mungkin memang tergantung individunya.
Jika kita termasuk orang yang mudah puas diri, mungkin lebih
baik lupakan saja. Apalagi jika berharap terlalu tinggi justru membuatnya berhenti.
Mungkin karena dia menyangka karyanya akan lolos, dia akan bersantai sejenak
dan justru tidak menciptakan karya lagi. Di sini letak salahnya. Berhenti
karena berharap terlalu tinggi. Belum lagi kalau karyanya tidak lolos.
Bisa-bisa dia benar-benar berhenti karena merasa karyanya yang dari sudut
pandangnya sudah bagus kok tidak diterima juga. Jadi, lebih baik lupakan saja.
Tapi bagi orang yang justru makin terlecut semangatnya jika
mengingat, tak masalah jika senantiasa mengenang pahit manis karyanya. Misakan
ketika dia kalah, mungkin dia bisa mengingat di mana letak kesalahannya. Atau
dia mengingat bagaimana tidak enaknya perasaan ketika mengetahui kekalahan.
Barangkali dengan perasaan tidak enak itu justru memotivasi dirinya untuk maju.
Kalau sudah begitu, lebih baik tetap ingat saja.
Ya, intinya adalah jangan berhenti berkarya. Jangan cepat
puas, jangan mudah kecewa. Mau melupakan? Itu terserah Anda.
No comments:
Post a Comment