Follow Us @soratemplates

Sunday 23 August 2020

Menyelami Diri

22:47 0 Comments


Alhamdulillah sudah masuk minggu ke empat kelas pra bunda sayang. Kami tidak hanya diajak semakin jauh ke tengah, tetapi juga diajak untuk menyelam ke dasar laut. Apalagi kalau bukan menyelami diri kami sendiri.

Seperti apakah diri kami? Seperti apakah kami setelah di IP?

Untuk bisa menjawabnya, kami dibekali infografis tentang piramida ibu profesional. Titik puncak piramida itu adalah meraih akhlak mulia. Di bagian sudut lain berupa output yang diharapkan akan muncul.



Bagaimana diri saya? Saya melihat bahwa diri saya dalam proses untuk menuju output tersebut. 


Saya sedang dalam upaya terus mengembangkan diri, salah satunya dengan mengikuti kelas bunda sayang ini. Begitu juga dengan output mampu mendidik dan mengembangkan anak, serta hebat mengelola keluarga juga sedang dalam proses untuk dilakukan. Sedangkan tentang output percaya diri, saya merasa cukup mendapat pencerahan sejak matrikulasi sehingga mantap dan percaya diri dengan pilihan peran yang akan saya jalani.


Ke depannya saya akan terus memperjuangkan nilai-nilai output tersebut. Khususnya dalam hal mengelola keluarga dan anak, karena ini sifatnya terus-menerus dan tidak akan pernah berhenti.


Ini sejalan pula dengan prioritas ilmu yang ingin saya kejar. Maka, bergabung di IP menjadi sebuah kesamaan visi dan misi bagi saya pribadi untuk menggali ilmu tentang peran sebagai seorang ibu dan istri.


Bismillah, semoga Allah mudahkan

Wednesday 12 August 2020

Wakeboarding, Melambung di Udara, Menggapai Ilmu

17:59 0 Comments
Wakeboarding


Wahana bermain kelas pra bunda sayang semakin jauh ke tengah laut. Artinya makin jauh pula kami diajak untuk berkontemplasi, memetakan apa yang akan kami lakukan di wahana ini. Di minggu ketiga ini, kami diajak untuk memahami core value dan karakter moral diri ibu profesional.


Salah satu core value yang dikupas tuntas adalah tentang semangat belajar. Ya, seorang ibu profesional memang harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Rasa ini yang akan mendorongnya untuk terus belajar dengan penuh semangat. Tapi pertanyaannya, ilmu apa yang akan dipelajari?


Jika ditanya begitu, saya jadi teringat dengan tugas NHW saat matrikulasi dulu. Sejak kelas itu sebenarnya kami sudah diarahkan untuk memetakan peran diri, dan dengan peran diri itulah kami juga diarahkan ilmu apa yang mendukung peran tersebut. Waktu itu saya menulis bahwa peran saya adalah seorang istri dan ibu yang mengambil peran publik sebagai dokter dan penulis. Artinya untuk menjadi seorang ibu profesional di semua peran saya, saya harus menguasai ilmu-ilmu terkait peran saya tersebut.


Biidznillah sejauh ini saya merasa sudah berada di jalan yang benar. Beberapa komunitas atau organisasi yang saya ikuti sejauh ini mengerucutkan saya untuk fokus pada peran-peran tersebut. Begitu pula dengan ilmu yang secara tidak langsung saya dapatkan, sedikit demi sedikit menunjang kompetensi saya untuk makin profesional menjalani peran yang saya pilih.


Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa godaan ilmu di luar sana amat sangat banyak sekali. Wajar, karena ilmu Allah memang sangat luas. Ketika kita bertemu satu ilmu rasanya seperti hal baru dan ingin terus didalami hingga benar-benar tahu. Hanya saja, apakah semua ilmu akan diperlakukan begitu?


Saya jadi teringat dengan skala prioritas ilmu yang disampaikan oleh Ustadz Nuzul Dzikri dalam sebuah kajiannya. Bagi seorang wanita, ada prioritas ilmu yang harus diutamakannya. Pertama jelas ilmu agama karena itu bekal dia untuk mati. Kedua adalah ilmu untuk menjadi istri dan ibu karena itu adalah amanah utama yang tidak main-main pertanggungjawabannya. Beliau berpesan untuk mengutamakan ilmu itu dulu, di samping mungkin ingin mempelajari ilmu lain.


Maka di sinilah saya saat ini, mencoba meningkatkan kapasitas saya sebagai seorang istri dan ibu. Berhubung wahana yang saya pilih adalah dengan bergabung dalam Institut Ibu Profesional, maka saya memilih untuk mengikuti alur yang sudah digariskan dari tim.


Secara tidak sadar ternyata alur perkuliahan di IIP pun sejalan dengan prioritas ilmu yang dibutuhkan oleh saya. Pertama dengan kelas bunda sayang, saya dimantapkan dengan peran saya sebagai seorang ibu. Dilanjut dengan kelas bunda cekatan, di mana saya diharapkan mampu mengelola rumah tangga dengan lebih piawai. Ketika urusan domestik ini sudah dikuasai, maka saatnya saya berkiprah ke ranah yang lebih luas dengan mendalami ilmu bunda produktif. Dan harapannya agar makin banyak manfaat yang bisa disebarkan, makin menjuruslah ilmu yang dipelajari dengan mengikuti kelas bunda shaliha.


Tentu saja untuk belajar menjadi seorang ibu dan istri tidak harus hanya melalui ibu profesional. Terlebih di era media yang serba terbuka, informasi di luar sana seakan begitu mudah diakses. Dengan dalih semangat belajar, boleh jadi kita akan kewalahan karena ingin menguasai ilmu menjadi istri dan ibu sebanyak-banyaknya. Di sinilah perlunya karakter moral diri. Bagaimana kita bisa berkata tegas "itu menarik, tapi saya tidak tertarik."


Meskipun masih tertatih, saya mencoba pula untuk menerapkan pedoman itu. Dalam hal ilmu pendidikan anak misalnya. Ada ilmu montessori di luar sana yang tampaknya sangat menarik, tapi saya berusaha untuk mengatakan tidak tertarik. Saya merasa bukan di situ arah pendidikan anak saya. Begitu pula ilmu read aloud misalnya, menarik tapi saya tidak tertarik. Saya lebih mengimbangi ilmu parenting saya dari kacamata fitrah based education dengan merapat di kelas-kelas dan komunitas Ustadz Harry Santosa dibandingkan mengambil jalan ilmu yang lain.


Lagi-lagi ini tentang pilihan, dan saya merasa inilah pilihan peta perjalanan mencari ilmu saya untuk menguasai peran ibu dan istri. Dalam ilmu lain misalnya, saya tertarik dengan ilmu berbenah di komunitas gemar rapi karena bagi saya itu mendukung peran saya menata rumah dengan lebih baik. Saya tergabung juga dengan kelas-kelas literasi keuangan di mommenkeu dengan harapan saya memantapkan peran saya sebagai istri yang bertugas menjadi menteri keuangan dalam keluarga.


Lalu bagaimana dengan ilmu terkait peran publik saya sebagai dokter dan penulis?


Balik lagi seperti nasihat Ustadz Nuzul. Saya memilih skala prioritas. Saya mencukupkan diri dengan belajar literasi dan bergabung di Forum Lingkar Pena saat kuliah dulu. Saat ini sementara saya memilih untuk bergabung di komunitas Ibu-ibu Doyang Nulis saja, tanpa tergiur dengan komunitas baca tulis lainnya. Meski ada ilmu-ilmu menulis yang baru seperti content writing dll, tapi saya menganggap itu bukan prioritas saya untuk saat ini.


Begitu pula dengan peran saya sebagai dokter. Sekarang bukan saatnya saya untuk 'belajar' lagi. Keinginan untuk studi lanjut sengaja saya redam untuk menguatkan peran domestik saya terlebih dahulu.


Sesuai dengan karakter moral diri yang disampaikan di materi kemarin, dengan menentukan prioritas ini maka saya akan selamat dari tenggelam di tsunami informasi. Saya bisa mengupayakan untuk always on time saat menuntut ilmu. Karena fokus dengan ilmu yang dipilih, harapannya saya juga bisa running the mission alive dan percaya bahwa I know I can be better. Pun dengan konsentrasi penuh itu pula saya berharap bisa lebih maksimal untuk mempraktikkan ilmu dan lebih tulus dalam menularkan ilmu layaknya karakter diri sharing is caring.


Tantangannya adalah ketika melirik perempuan di luar sana yang mungkin mantap dengan pilihan ilmunya juga. Godaan untuk mempelajari ilmu tersebut boleh jadi akan datang menghampiri. Tapi, bukankah dari dulu rumput tetangga selalu tampak jauh lebih hijau? Belum tentu jurusan ilmu yang dipilihnya sesuai dengan ilmu yang mendukung peran kita. Maka lagi-lagi perkuat karakter diri dengan mantap berkata, "Menarik, tapi saya tidak tertarik."

Wednesday 5 August 2020

Berselancar di Komunitas

10:50 0 Comments


Alhamdulillah sudah memasuki minggu kedua kelas pra bunda sayang Ibu Profesional. Di minggu ini kami membicarakan tentang prinsip berkomunitas dan code of conduct. Apa itu?

Seperti kata peribahasa, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, di manapun kita berada pasti akan ada aturan yang berlaku. Begitu pula dengan Ibu Profesional. Di sini istilah aturan tersebut dikenal dengan nama code of conduct dan prinsip berkomunitas.

Ketika membicarakan prinsip berkomunitas, saya teringat pengalaman kurang lebih setahun yang lalu saat sekretaris regional menanyakan tentang makna komunitas IP dan kontribusi berkomunitas pada seluruh member IP Soloraya. Waktu itu saya menjawab, bahwa berorganisasi dan berkomunitas adalah hobi saya sejak kecil. Berhubung ini adalah hobi, maka saya justru berbinar-binar ketika terjun di komunitas.

Tentunya komunitas yang dimaksud adalah komunitas yang sesuai dengan minat dan bakat saya. Persis seperti kata Bune Yani di materi kemarin. Burung yang berkicau sama akan hinggap di dahan yang sama. Dan saya merasakan hal itu di Ibu Profesional. Saya merasa sefrekuensi dengan member-member IP soloraya dan itu membuat saya betah untuk bertahan di sana.

Karena ini adalah hobi, maka berorganisasi atau berkomunitas di IP bukan menjadi beban bagi saya. Sebaliknya, justru menjadi ajang me time dan wahana saya untuk merasa bahagia. Dengan sudut pandang inilah maka prinsip berkomunitas yang diminta untuk selalu aktif dan tidak pasif menjadi poin pertama yang InsyaAllah selalu berusaha dipenuhi. Bukan karena sekedar mematuhi peraturan, melainkan karena saya pribadi butuh untuk mendapatkan kebahagiaan.

Setelah itu, salah satu tahap lanjutannya adalah dengan memberikan kontribusi. Saya akui bahwa IP ibarat gudang ilmu yang seolah tak ada habisnya. Kalau saya mau serakah, bisa saja saya mengeruk ilmu itu sepuas-puasnya. Tapi, apa itu membahagiakan?

Bagi saya, seseorang tak akan pernah mendapat kebahagiaan ketika dia hanya menuntut untuk selalu diberi tanpa pernah memberi. Justru kebahagiaan hakiki itu muncul saat kita mampu memberi meski hanya sedikit dari yang kita miliki. Di sinilah makna kontribusi. Maka, meski usia saya masih seumur jagung di IP, selagi saya mampu, sekecil apapun saya akan berusaha untuk bisa memberikan kontribusi.

Kaitannya dengan proses menimba ilmu, saya mendapat insight baru dari materi CoC yang disampaikan Biyung Ratna kemarin. Di era semua serba ingin show off, rasanya semua ilmu atau info ingin segera dishare. Saya pernah merasa risih dengan hal ini. Apa iya semua ilmu atau bahkan catatan mentah materinya dipublish begitu saja?

Ternyata saya mendapat jawabannya kemarin. Tidak semua materi langsung dishare. Pelajari dulu, terapkan dulu, lalu share lah materi itu dengan pengalaman yang sudah dilakukan. Berikan pula nilai-nilai menurut sudut pandang pribadi agar benar-benar menjadi jurnal yang pas untuk diri kita sendiri.

Bagi saya poin CoC di atas menarik. Karena prinsip di IP adalah semua guru semua murid. Dengan memberikan jurnal versi diri sendiri maka diri kita yang semula murid dari materi itu akan beranjak menjadi guru. Pun ini terkait dengan adab terhadap ilmu, bahwa ilmu tak hanya dicari, tapi juga diamalkan lalu dibagikan.

Karena prinsipnya, adab dulu sebelum ilmu. Utamakan dulu adab menuntut ilmu yang baik, dibanding sekedar mengeruk ilmu sebanyak-banyaknya namun lepas semua entah ke mana. Semoga dengan menjaga adab dengan CoC ini ilmu menjadi lebin berkah dan bermanfaat untuk kita semua. Aamiin

Sunday 2 August 2020

Istana Pasir Ibu Profesional

23:49 0 Comments
ibu profesional, bunda sayang, pra bunsay


Ibu profesional?
Frase itu menjadi bahan pemikiran saya hampir satu minggu belakangan ini. Tepatnya setelah resmi mengikuti kelas pra bunda sayang IP Profesional. Materi critical thinking menjadi pemantik bagi saya untuk memikirkan ulang, apakah ini baik, benar, dan bermanfaat untuk saya? Ditambah materi tentang makna ibu profesional yang mengigatkan, bahwa ini bukan untuk mencetak Ibu Septi kedua, ketiga, dst, tapi ini tentang mencetak ibu profesional kebanggaan keluarga masing-masing.


Lalu, apa makna ibu profesional?

Bagi saya, ibu profesional adalah seorang wanita yang bisa menjalankan peran sebagai seorang ibu dengan bersungguh-sungguh. Namun tentunya dia hidup di dunia bukan hanya untuk menjadi ibu. Tujuan penciptaannya di muka bumi tidak sebatas itu. Maka dia perlu memahami perannya terlebih dahulu, lalu bersikap profesional atau sungguh-sungguh dengan peran yang diambilnya.

Untuk saya sendiri, selain berada di ranah domestik, saya pun mengambil peran publik sebagai seorang dokter dan penulis. Maka, ketika menjalani peran tersebut pun saya harus tetap bersikap profesional. Tentulah saya tak akan dicap profesional jika hanya fokus dengan domestik namun abai dan tidak sungguh-sungguh ketika di ranah publik.

Maka, ibu profesional versi saya adalah ketika saya bisa menjalani setiap peran yang saya pilih dengan komitmen tinggi, dimana saya bisa menunjukkan kesungguhan memberikan manfaat tanpa menyebabkan kedzaliman bagi siapapun.


Bagaimana peta untuk bisa mewujudkannya?

Dalam materi matrikulasi dulu, ada sebuah insight yang cukup membekas yaitu "bersungguh-sungguhlah di dalam, maka kamu akan keluar pula dengan kesungguhan". Artinya untuk bisa menjadi profesional di ranah domestik dan publik, fase pertama memang haruslah saya bersunggguh-sungguh di dalam terlebih dahulu.

Poin ini sejalan dengan tahap-tahapan belajar di Institut Ibu Profesional, mulai bunda sayang, bunda cekatan, bunda produktif, hingga bunda saleha. Maka, tahapan saya untuk mencapai predikat profesional adalah dimulai dengan menguasai bunda sayang terlebih dahulu, yaitu ketika saya bisa totalitas mendidik anak dengan penuh kasih sayang.

Untuk fase berikutnya, saya mengikuti ritme yang difasilitasi oleh IIP. Namun di luar itu, saya tetap berusaha memantaskan diri menjalankan semua peran yang sudah diambil dengan baik, dengan cara menambah jam terbang sesuai dengan pemetaan waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Jadi, seperti apa icon ibu profesional menurut saya?

Berhubung kami sedang belajar di wahana pasir di tepi pantai, ketika membayangkan icon ibu profesional yang terbayang dalam benak saya adalah air. Mengapa air?

Air adalah unsur yang dibutuhkan setiap makhluk hidup. Dia penting, bermanfaat. Begitu pula sosok ibu, dia juga memiliki peran penting dan crusial dalam rumah tangga dan pendidikan anaknya.

Air bersifat fleksibel, dia berubah-ubah mengikuti bentuk tempatnya. Begitu pula seorang ibu profesional. Dia juga bisa adaptatif dengan peran yang dipilihnya. Ketika berada di ranah domestik, dia seorang ibu yang penuh cinta kasih. Ketika di ranah publik, dia bisa bersikap sesuai dengan tupoksinya.

Air juga selalu mengalir, dari hulu menuju hilir. Begitu juga dengan ibu profesional di IIP ini. Dia mengalir mencari ilmu sejak matrikulasi, bunda sayang, bunda cekatan, bunda produktif, hingga bunda saleha.

Sayangnya, meski air bermanfaat, dia tetap bisa memberi kemudharatan jika berada di tempat yang tidak tepat dan jumlah yang overload. Begitu pula dengan seorang ibu. Bisa saja dia sok-sokan mengambil banyak peran di luar sana, tapi apakah banyaknya peran itu justru bermanfaat atau justru menjadi madharat ibarat banjir bandang?

Namun, air juga sebuah amal jariyah yang tak akan putus nilai pahalanya. Maka semoga begitu pula seorang ibu yang bersungguh-sungguh menebar manfaat dalam setiap perannya. InsyaAllah