Follow Us @soratemplates

Wednesday, 12 August 2020

Wakeboarding, Melambung di Udara, Menggapai Ilmu

Wakeboarding


Wahana bermain kelas pra bunda sayang semakin jauh ke tengah laut. Artinya makin jauh pula kami diajak untuk berkontemplasi, memetakan apa yang akan kami lakukan di wahana ini. Di minggu ketiga ini, kami diajak untuk memahami core value dan karakter moral diri ibu profesional.


Salah satu core value yang dikupas tuntas adalah tentang semangat belajar. Ya, seorang ibu profesional memang harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Rasa ini yang akan mendorongnya untuk terus belajar dengan penuh semangat. Tapi pertanyaannya, ilmu apa yang akan dipelajari?


Jika ditanya begitu, saya jadi teringat dengan tugas NHW saat matrikulasi dulu. Sejak kelas itu sebenarnya kami sudah diarahkan untuk memetakan peran diri, dan dengan peran diri itulah kami juga diarahkan ilmu apa yang mendukung peran tersebut. Waktu itu saya menulis bahwa peran saya adalah seorang istri dan ibu yang mengambil peran publik sebagai dokter dan penulis. Artinya untuk menjadi seorang ibu profesional di semua peran saya, saya harus menguasai ilmu-ilmu terkait peran saya tersebut.


Biidznillah sejauh ini saya merasa sudah berada di jalan yang benar. Beberapa komunitas atau organisasi yang saya ikuti sejauh ini mengerucutkan saya untuk fokus pada peran-peran tersebut. Begitu pula dengan ilmu yang secara tidak langsung saya dapatkan, sedikit demi sedikit menunjang kompetensi saya untuk makin profesional menjalani peran yang saya pilih.


Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa godaan ilmu di luar sana amat sangat banyak sekali. Wajar, karena ilmu Allah memang sangat luas. Ketika kita bertemu satu ilmu rasanya seperti hal baru dan ingin terus didalami hingga benar-benar tahu. Hanya saja, apakah semua ilmu akan diperlakukan begitu?


Saya jadi teringat dengan skala prioritas ilmu yang disampaikan oleh Ustadz Nuzul Dzikri dalam sebuah kajiannya. Bagi seorang wanita, ada prioritas ilmu yang harus diutamakannya. Pertama jelas ilmu agama karena itu bekal dia untuk mati. Kedua adalah ilmu untuk menjadi istri dan ibu karena itu adalah amanah utama yang tidak main-main pertanggungjawabannya. Beliau berpesan untuk mengutamakan ilmu itu dulu, di samping mungkin ingin mempelajari ilmu lain.


Maka di sinilah saya saat ini, mencoba meningkatkan kapasitas saya sebagai seorang istri dan ibu. Berhubung wahana yang saya pilih adalah dengan bergabung dalam Institut Ibu Profesional, maka saya memilih untuk mengikuti alur yang sudah digariskan dari tim.


Secara tidak sadar ternyata alur perkuliahan di IIP pun sejalan dengan prioritas ilmu yang dibutuhkan oleh saya. Pertama dengan kelas bunda sayang, saya dimantapkan dengan peran saya sebagai seorang ibu. Dilanjut dengan kelas bunda cekatan, di mana saya diharapkan mampu mengelola rumah tangga dengan lebih piawai. Ketika urusan domestik ini sudah dikuasai, maka saatnya saya berkiprah ke ranah yang lebih luas dengan mendalami ilmu bunda produktif. Dan harapannya agar makin banyak manfaat yang bisa disebarkan, makin menjuruslah ilmu yang dipelajari dengan mengikuti kelas bunda shaliha.


Tentu saja untuk belajar menjadi seorang ibu dan istri tidak harus hanya melalui ibu profesional. Terlebih di era media yang serba terbuka, informasi di luar sana seakan begitu mudah diakses. Dengan dalih semangat belajar, boleh jadi kita akan kewalahan karena ingin menguasai ilmu menjadi istri dan ibu sebanyak-banyaknya. Di sinilah perlunya karakter moral diri. Bagaimana kita bisa berkata tegas "itu menarik, tapi saya tidak tertarik."


Meskipun masih tertatih, saya mencoba pula untuk menerapkan pedoman itu. Dalam hal ilmu pendidikan anak misalnya. Ada ilmu montessori di luar sana yang tampaknya sangat menarik, tapi saya berusaha untuk mengatakan tidak tertarik. Saya merasa bukan di situ arah pendidikan anak saya. Begitu pula ilmu read aloud misalnya, menarik tapi saya tidak tertarik. Saya lebih mengimbangi ilmu parenting saya dari kacamata fitrah based education dengan merapat di kelas-kelas dan komunitas Ustadz Harry Santosa dibandingkan mengambil jalan ilmu yang lain.


Lagi-lagi ini tentang pilihan, dan saya merasa inilah pilihan peta perjalanan mencari ilmu saya untuk menguasai peran ibu dan istri. Dalam ilmu lain misalnya, saya tertarik dengan ilmu berbenah di komunitas gemar rapi karena bagi saya itu mendukung peran saya menata rumah dengan lebih baik. Saya tergabung juga dengan kelas-kelas literasi keuangan di mommenkeu dengan harapan saya memantapkan peran saya sebagai istri yang bertugas menjadi menteri keuangan dalam keluarga.


Lalu bagaimana dengan ilmu terkait peran publik saya sebagai dokter dan penulis?


Balik lagi seperti nasihat Ustadz Nuzul. Saya memilih skala prioritas. Saya mencukupkan diri dengan belajar literasi dan bergabung di Forum Lingkar Pena saat kuliah dulu. Saat ini sementara saya memilih untuk bergabung di komunitas Ibu-ibu Doyang Nulis saja, tanpa tergiur dengan komunitas baca tulis lainnya. Meski ada ilmu-ilmu menulis yang baru seperti content writing dll, tapi saya menganggap itu bukan prioritas saya untuk saat ini.


Begitu pula dengan peran saya sebagai dokter. Sekarang bukan saatnya saya untuk 'belajar' lagi. Keinginan untuk studi lanjut sengaja saya redam untuk menguatkan peran domestik saya terlebih dahulu.


Sesuai dengan karakter moral diri yang disampaikan di materi kemarin, dengan menentukan prioritas ini maka saya akan selamat dari tenggelam di tsunami informasi. Saya bisa mengupayakan untuk always on time saat menuntut ilmu. Karena fokus dengan ilmu yang dipilih, harapannya saya juga bisa running the mission alive dan percaya bahwa I know I can be better. Pun dengan konsentrasi penuh itu pula saya berharap bisa lebih maksimal untuk mempraktikkan ilmu dan lebih tulus dalam menularkan ilmu layaknya karakter diri sharing is caring.


Tantangannya adalah ketika melirik perempuan di luar sana yang mungkin mantap dengan pilihan ilmunya juga. Godaan untuk mempelajari ilmu tersebut boleh jadi akan datang menghampiri. Tapi, bukankah dari dulu rumput tetangga selalu tampak jauh lebih hijau? Belum tentu jurusan ilmu yang dipilihnya sesuai dengan ilmu yang mendukung peran kita. Maka lagi-lagi perkuat karakter diri dengan mantap berkata, "Menarik, tapi saya tidak tertarik."

No comments:

Post a Comment