Saya mendapat tema wajib untuk menuliskan tentang keluarga. Pertama kali membaca tema yang ditentukan itu, mendadak saya berubah menjadi skeptis. Jika orang lain mungkin menggambarkan tentang keindahan sebuah keluarga, atau tentang bagaimana menciptakan keluarga yang bahagia, saya justru mempertanyakan apa itu sebenarnya keluarga. Lebih lanjut saya kembali menanyakan, siapa sebenarnya yang dianggap sebagai keluarga.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada empat arti dari keluarga. Pertama, ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah. Kedua, orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih. Ketiga, kaum, sanak saudara; kaum kerabat. Yang terakhir, keluarga yaitu satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Dari pengertian pertama, ada beberapa sudut pandang yang bisa diambil. Jika menjadi ibu dan bapak, keluarga berarti adalah anak. Tapi nyatanya anak tak menjadi milik kita selamanya. Bukankah sudah tidak asing lagi istilah bahwa anak hanyalah titipan. Ketika akhirnya anak-anak menjadi dewasa dan menemukan pasangan hidupnya, mereka pun berpisah begitu saja. Lantas rumah pun tanpa anak-anak lagi. Maka, keluarga hanyalah menjadi sepasang bapak dan ibu saja.
Jadi, keluarga yang utama adalah sosok bapak dan ibu itukah? Tapi nyatanya, hubungan mereka pun terbentuk karena sebuah ikatan perkawinan. Yang mana sebuah ikatan bisa saja akan terurai, beda halnya jika itu ada darah yang mengalir dalam daging karena ikatan keturunan. Memang benar, menjadi anak tak bisa memilih siapa orang tuanya, dan suami atau istrilah satu-satunya sosok yang kita pilih dalam hidup kita. Tapi karena ikatan yang terjadi itulah ketika tercerai maka kembali lagi ke definisi semula. Tak sedikit pasangan yang bercerai kemudian berazzam, “Tak apa, aku akan hidup fokus bersama anak-anakku”. Padahal kembali lagi ke kasus pertama, ketika anak dewasa toh akan pergi juga.
Atau mungkin, jika dilihat dari sudut pandang anak, keluarga yang sejati adalah orang tuanya? Bagaimana tidak, dia bisa terlahir ke dunia pastinya karena peran orang tuanya. Maka, orang tua lah sosok keluarga yang abadi untuknya. Mungkin ini sejalan dengan hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa meskipun seorang lelaki telah menikah, tetap saja yang utama adalah ibunya. Yah, bisa jadi memang orang tua sosok keluarga itu.
Ini berkorelasi dengan definisi kedua dari KBBI yang menyatakan bahwa keluarga adalah sosok yang menjadi tanggungan. Terlepas dari anak-anak yang memang belum bisa menghasilkan, nyatanya orang tua tetap menjadi sosok yang akan ditanggung anaknya. Bukan karena sandwich generation, tapi agaknya sangat jarang di masa sekarang ketika seorang anak bersikap acuh dan tak menanggung orang tuanya. Ah, tentu saja masih ada. Mungkin saking sibuknya dan gila harta, dia asyik menimbun pundi-pundinya sendiri dan mengabaikan orang tua yang sebenarnya masih menjadi tanggungannya. Kalau begitu, gugur sudah definisi kedua.
Pengertian ketiga dan keempat justru lebih menarik. Bukankah tidak sedikit orang yang lebih percaya pada rekan dekatnya atau tetangga ketimbang ayah ibu atau anaknya. Ketika ada masalah, dia lari pada koleganya. Durasi waktunya pun lebih banyak dihabiskan dengan mereka ketimbang sosok di definisi pertama atau kedua. Mungkin pantas kiranya mereka memang disebut sebagai keluarga.
Sayangnya, mereka mungkin tak punya ikatan apa-apa. Tak ada darah yang mengalir sama, ataupun catatan sipil yang terdaftar di negara. Artinya ikatan ini pun tak akan berlangsung selamanya. Insidental dan seperlunya saja. Jika pindah kerja, maka sudah tidak ada komunikasi intens lagi. Begitu seterusnya. Maka, ini pun tak kekal juga.
Jadi, siapa sebenarnya keluarga? Ah, ini hanya keisengan bertanya-tanya saja.
No comments:
Post a Comment