Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak. Peribahasa itu sepertinya sudah banyak yang tahu. Kurang lebih maknanya adalah kebaikan orang yang jauh akan tampak begitu besar dan bermakna. Di sisi lain, kebaikan orang terdekat seringkali justru tidak dianggap dan diremehkan begitu saja.
Saya teringat dengan peribahasa tersebut ketika pergi ke rumah simbah pekan lalu. Simbah memiliki empat orang putri. Ibu sebagai anak pertama sudah tiada, tinggal tiga orang bulik. Ada satu bulik yang tinggalnya tak jauh dari rumah simbah. Sedangkan dua bulik yang lain tinggal di luar kota.
Akhir pekan lalu kami menginap di rumah Simbah. Ada satu bulik juga yang dari luar kota ikut menginap. Kami memang biasa bergiliran menginap di sana menemani Simbah. Tak jarang kami justru janjian untuk bisa berkumpul bersama, di luar waktu lebaran tentunya.
Pagi itu Simbah yang memang sudah sepuh dan demensia sedikit menjadi tantangan bagi anak-anaknya. Bulik kedua yang tinggal di dekat rumah Simbah sudah menyiapkan beras dalam magic com untuk dimasak. Ternyata oleh Simbah beras itu diambil.
Selang beberapa lama, bulik mencoba memasak nasi lagi untuk kami sarapan bersama. Apa daya diambil lagi oleh Simbah. Hingga akhirnya terdengar suara keras dari mulut Simbah yang membuat bulik tidak tahan.
Akhirnya urusan masak nasi pagi itu diambil alih oleh bulik ketiga. Tentunya setelah dengan sedikit jeda waktu dan memberi pengertian cukup panjang pada simbah. Alhamdulillah nasi bisa matang.
Siangnya, hal itu terjadi lagi. Perkara mau mandi sore dan butuh merebus air untuk mandi, tiba-tiba kompor mati karena gas habis. Simbah pun mulai berkomentar ini itu, "Gimana gasnya habis" dan semacamnya. Termasuk bingung ke mana mau membeli gas.
Bulik pertama mencoba pergi ke toko yang paling dekat dari rumah. Ternyata kosong. Beberapa meter di dekatnya, toko yang lain malah tutup. Pulang dengan tangan kosong membuat Simbah tak henti-hentinya meracau. Bulik pun pergi ke toko yang lain yang agak jauh. Ternyata kosong juga.
Karena mulai rame, akhirnya lagi-lagi urusan ini diambil alih oleh bulik ketiga. Bulik dan om keluar ke jalan besar mencari toko yang lebih besar. Alhamdulillah pulang dengan berhasil membawa tabung gas baru.
Kejadian seperti hari itu bukan terjadi satu atau dua kali saja. Ini sudah menjadi makanan sehari-hari yang biasa kami temui. Dari situ saya teringat bahwa bulik kedua yang setiap hari menemani Simbah akan tampak selalu tak sempurna. Seolah banyak kesalahan, seakan tak sabar untuk menghadapi keadaan. Dibandingkan bulik lainnya yang hanya datang saat weekend, dengan energi yang lebih fresh, tidak penat karena menjadi situasi harian, tentu treatment dari bulik lain akan terasa lebih baik.
Padahal apa yang dilakukan bulik pertama jelas amat sangat besar dan tak tergantikan. Meskipun saya tahu bahwa kami memiliki porsi sendiri-sendiri. Barangkali bulik yang lain memang tidak bisa selalu ada, namun selalu sedia jika harus mengantar Simbah ke mana-mana misalnya. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan porsinya masing-masing.
Kalau dilanjutkan pembahasannya, ini bisa menjadi hal yang lebih runyam kalau menyerempet tetang Pondok Mertua Indah atau Pondok Orang Tua Indah. Yah, kalau akur-akur saja dan sudah menjadi kesepakatan bersama insya Allah akan menjadi pondok yang benar-benar indah. Tapi kalau justru menjadi gajah di pelupuk mata yang tak tampak, apa masih bersedia?
Di sini memang butuh hati yang seluas samudra. Tidak ada tepi dan batasan untuk mengabdi. Semua hanya berharap bisa memberikan sebenar-benar bakti.
No comments:
Post a Comment