Follow Us @soratemplates

Saturday 15 October 2022

Menguak Salah Satu Innerchild




Kali ini saya ingin sedikit menorehkan jejak ala-ala menulis diary. Wow, sebuah keberanian tersendiri bagi saya untuk menguploadnya di blog ini. Seringkali tulisan-tulisan ala diary hanya teronggok pasrah memenuhi drive, atau kadang tertuang dengan tak sengaja di lembaran kertas yang kemudian tidak diketahui bagaimana nasibnya. But, it is okay to share with you.


Tadi pagi saya mengikuti salah satu event yang diadakan oleh Ibu Profesional Soloraya. Agenda utama adalah launching buku NBB2, tentu saja tidak ada nama saya di sana karena saya belum bergabung dengan IP waktu itu. Tema buku yang diangkat adalah tentang innerchild. Dalam rangka launching itulah, ada semacam kuliah zoom tentang mengelola innerchild demi menumbuhkan fitrah ayah dan bunda.


Sejujurnya, tema ini bukan makanan baru bagi saya. Agaknya saya pertama kali mengenal istilah ini ketika ikut kelas online dari ummamy bubby. Waktu itu Kak A masih batita, sudah lama kan berarti. Tapi nyatanya, saya tetap menemukan insight baru dari kulzoom tadi. Salah satu poin yang menarik dan memang dihighlight oleh pembicara adalah bahwa masa lalu apapun itu adalah hadiah terbaik dari Sang Pencipta. Masya Allah...


Nah, di sesi tadi kami diminta untuk menulis bebas atau istilahnya free writing. Kami diminta untuk menuangkan apapun yang terlintas di kepala, pun dengan melibatkan emosi jika ada. Sejujurnya saya tidak menuliskan apapun tadi, namun saya tertarik dengan salah satu tulisan yang secara sukarela dibacakan oleh salah satu peserta. Dia meminta maaf kepada anak pertamanya karena menuntut suatu hal, mungkin karena orang tuanya dulu melakukan hal yang sama.


Saya pun seolah berkaca pada diri saya sendiri. Kebetulan sekali, akhir-akhir ini saya memang sedang mengurai kondisi hati saya terkait Kak A. Lelah fisik, lelah psikis, ekspektasi dan harapan yang dihadapkan pada kenyataan kadang membuat sisi tersembunyi dalam diri muncul tanpa dibendung. Kalau dipikir-pikir, kenapa juga saya harus merasa geram ketika Kak A keliru mengaji? Kenapa pula saya harus senewen mendengar suara keras Kak A? Saya sadar dan saya benar-benar bertanya. Dan saya seolah diingatkan di sesi kulzoom tadi pagi. Jangan-jangan karena innerchild saya terluka di kedua poin ini.


Saya mendadak teringat, waktu kecil dulu seringkali saya bermain ke rumah tetangga. Yah, layaknya anak-anak kecil, pasti kami bermain dengan asyik, saling tertawa, saling teriak. Tapi waktu itu, si empunya rumah berkata, "Weh Dik Avi suarane banter banget" (Wah, Dik Avi suaranya kencang sekali) Refleks tentu saja saya akan mengerem volume suara saya. Tapi kejadian itu tidak terjadi sekali, di lain waktu saya mengalaminya lagi.


Waktu itu ada rasa malu. Ibaratnya seperti anak perempuan main ke rumah orang kok suaranya kenceng banget. Sekalipun saya masih anak-anak waktu itu, tapi tidak dipungkiri ada rasa malu, tidak enak hati, merasa bersalah, dan semacamnya. Boleh jadi, rasa itu bercokol dalam diri saya hingga saya dewasa dan berdampak pada saya saat membersamai Kak A.


Kebetulan beberapa terakhir ini setiap pulang sekolah Kak A langsung bermain dengan tetangga. Mainnya di rumah sebenarnya, dan saya tak ada masalah dengan itu. Tapi ketika di suatu hari mereka bermain di jalan depan rumah, saya meradang. Kenapa? Karena Kak A berbicara dengan suara sangat kencang.


Besoknya, terjadi lagi. Mereka main bola di jalan sampai sore. Asyiknya main bola pasti bisa dibayangkan dong. Tentu saja Kak A dan teman-temannya berteriak kencang. Dan bisa diduga, saya meradang. Saya menghardik Kak A karena suara lantangnya.


Setelah dipikir-pikir, volume suara Kak A memang keras. Tapi, kenapa ketika main di rumah (tentunya dengan suara tak jauh berbeda) saya biasa saja, tetapi ketika di luar rumah saya menjadi tak tahan dan ingin marah? Ketika saya telisik, jangan-jangan ada faktor innerchild yang bermain di sini. Jangan-jangan saya marah pada Kak A karena saya merasa terluka ketika dulu bersuara lantang dan dikomentari oleh tetangga. Mungkin saya akan merasa sakit lagi ketika Kak A bersuara keras di luar rumah dan membuat tetangga ikut mengeluarkan komentar juga. Na'udzubillah...


Ini baru satu poin, dan saya sadar tentang hal itu. Dari sini saya jadi tahu bahwa kondisi yang terjadi saat ini bukan serta merta langsung diatasi. Namun, seandainya bisa dikaji dulu penyebabnya, tentu akan lebih baik lagi untuk bisa diterima dan direlease lagi.


Bismillah, semangat menyelami diri lagi dan lagi. Semoga terurai apa-apa yang masih menjadi PR di dalam diri. Aamiin...

No comments:

Post a Comment