Beberapa hari terakhir ini saya sedang menonton drama korea Yumi's Cells. Eh, drakor lagi? Haha iya. Telat? Hehe iya juga. Maklum saja, saya bukan drakor addict, yang selalu update dengan drama-drama baru lalu konsisten menuis reviewnya. Bahkan pernah suatu waktu saya mengikuti sebuah drama yang baru on going. Waktu itu saya justru merasa bosan. Sepertinya akan lebih menarik ketika drama itu sudah selesai, lalu saya menyimak secara marathon. Haha, ini karena selera saja.
Begitu juga dengan Yumi's Cells ini. Sejujurnya, saya pun tidak menyimak drakor ini sebelumnya. Saya tahu drama ini karena bertanya pada salah seorang adik kesayangan. Pasalnya waktu itu saya sedang begitu penat dan ingin punya sweet escape sejenak. Tiba-tiba saja langsung terbayang untuk menyimak sebuah drama. Lalu muncullah nama drakor ini sebagai salah satu rekomendasinya.
Meski sekedar sweet escape, ternyata saya sangat menikmatinya. Bahkan drakor yang sudah sampai season dua ini pun dengan rela hati saya simak dari season pertama. Buang-buang waktu? Tidak. Saya menyukainya. Buktinya saya sampai menuliskan kesan saya terhadap drama ini di sini. Bukankah kalau tidak ada kesan maka akan lewat begitu saja?
Kenapa saya begitu terkesan?
Pertama menonton thrillernya, saya cukup bingung. Apa sih ini kok ada gambar-gambar kartunnya segala. Tapi, begitu menonton episode pertama, saya langsun berbinar. Wow, ini sel-sel dalam pikiran yang sedang berbicara ya? Bukankah ini berarti sebuah self talk. Seketika saya pun bersemangat menyimaknya.
Kebetulan sekali beberapa bulan belakangan ini saya memang sedang tertarik dengan tema self talk. Hal-hal yang ada kaitannya dengan pengelolaan pikiran dan semacamnya menjadi concern saya hampir setahun ini. Nah, ketika menemukan drama korea yang berbau self talk, rasanya seperti menemukan cinta sejati. Ah, ini nih drama yang aku mau.
Yang bikin betah bahkan beberapa kali saya tergelak adalah pengemasan self talk ini dibuat dengan animasi. Sel-sel dalam pikiran itu lucu sekali menyampaikan apa yang ingin mereka utarakan. Jika dipikir-pikir rasanya memang serumit itu ketika kita akan memikirkan atau mengucapkan sesuatu. Tapi bisa jadi juga memang selucu itu ketika kita menikmati apa saja yang melintas dalam pikiran kita.
Lalu yang membuat saya semakin relate dengan drama ini adalah di season kedua Yumi mendadak keluar dari kerja dan ingin menjadi penulis. Wow, ini mirip sekali dengan kondisi saya saat ini. Sudah enam bulan ini saya berhenti bekerja. Lalu menjadi pengangguran luntang-luntung seharian di rumah. Yah, meskipun alasan mendasarnya karena ada adik baby, tapi sedikit banyak planning yang ingin saya kerjakan hampir sama dengan Yumi. Saya ingin di rumah dan mulai menulis. Sama persis kan?
Di salah satu scene ketika Yumi meratapi nasibnya kenapa harus keluar kerja dan mulai belajar menulis di usia 33 tahun, saya pun kembali tersenyum simpul. Helow ini mirip sekali dengan saya yang juga tidak menjadi pegawai di usi 32 tahun. Pun ketika Yumi mulai membandingkan kondisinya yang semula digaji tiap bulan dengan keadaannya sekarang yang tanpa penghasilan, sedikit banyak saya pun merasakannya. Yah, tidak memungkiri kalau mendapat penghasilan tetap itu cukup membuat nyaman. Haha
Tapi akhirnya Yumi mendapat debutnya menulis novel. Di poin ini agak sedikit berbeda. Bukankah sebenarnya saya sudah memulai debut saya bahkan sepuluh tahun yang lalu? Tapi, ketika Yumi berada di performa maksimalnya, bagaimana dengan saya yang sudah sepuluh tahun tapi ternyata tidak berprogres signifikan?
Di sini saya justru mendapat booster tersendiri. Yah, mau bagimana lagi. Maksud hati melipir sejenak untuk bersenang-senang, apa daya justru mendapat suntikan semangat untuk kembali berlari kencang.
Haha, bismillah saja. Fighting!
No comments:
Post a Comment