Follow Us @soratemplates

Thursday 18 August 2011

Antara Duka dan Bahagia

Kehidupan manusia tak ubahnya seperti permen nano-nano. Rame rasanya. Begitu banyak rasa di dunia ini sering kali menyapa kehidupan insan manusia. Sekali waktu dia merasa bahagia, suatu kali pula dia dirundung duka. Tak jarang muncul rasa cemas, gelisah, galau. Mungkin juga terbersit rasa marah, dendam, benci. Ya, begitu ramai rasa yang mewarnai kehidupan kita.

Beberapa perasaan itu terkadang saling bertolak belakang. Sedih bertolak belakang dengan senang. Benci berkebalikan dengan cinta. Puas berlawanan dengan kecewa. Hampir semuanya memiliki lawan kata, membuat rasa itu semakin kompleks, semakin memberi warna.

Ada seorang teman saya yang berkata, “Aku takut bahagia”. Bagi saya itu ironis sekali. Mengapa? Bukakah semua orang menginginkan hidup bahagia? Tak ada orang yang berharap hidupnya selalu dirundung duka. Suatu kali dia pasti ingin berbahagia. Ketika menikah, orang-orang mendoakan semoga menjadi pasangan yang berbahagia. Ketika ada suatu perayaan, orang-orang juga mendoakan agar kita mendapat kebahagiaan. Bahkan, kita juga dituntun untuk berdoa agar mendapat kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Lalu, mengapa teman saya tak mau bahagia? Alasannya ternyata sepele saja. Karena dia tak mau merasakan sedih. Menurut pengalamannya, ketika dalam satu hari dia merasa sangat bahagia, maka di hari yang sama pula dia akan merasakan sedih yang tak kalah menohoknya. Maka dia tak mau bahagia.

Saya rasa hal ini wajar saja. Ketika kita sedang merasa bahagia, hati kita akan melambung tinggi. Maka, ketika kita mendapat kesedihan, yang tentunya berada di jurang kebahagiaan, rasa bahagia akan merosot tajam. Hingga kita menganggap ini adalah pukulan telak. Penjungkir-balikan perasaan yang terasa sangat keterlaluan.

Contoh lain misalnya ketika kita mengikuti suatu perlombaan. Di awal lomba, wajar saja jika kita hanya membawa pulang kekalahan. Tetapi begitu merasakan suatu kemenangan, hati kita akan melambung. Ketika setelahnya mengikuti lomba lagi dan harus dihadapkan pada kekalahan, belum tentu kita akan siap. Bisa jadi kita akan merasa sangat sedih. Merasa jatuh terperosok amat dalam.

Satu yang harus kita akui. Hidup ini berjalan bukan atas kendali diri kita sendiri. Terkadang perasaan tak mengenakkan itu datang dengan sendirinya. Tentu mana ada orang yang dengan suka rela mempersilakan rasa tak nyaman itu menguasai kita. Tapi, apa kita akan diam saja? Membiarkan hati kita jungkir balik dengan segala rasa yang mendera?

Tidak. Harusnya tidak. Bagaimana pun kita harus mengendalikan hati kita. Caranya? Menjaganya. Menjaga kadar rasa yang menyapa hati kita. Ketika kita bahagia, kita harus menjaga hati kita. Menjaga agar rasa bahagia itu tidak keterlaluan, yang memungkinkan timbul rasa puas berlebihan, atau rasa bangga yang menjadi-jadi, yang bisa saja menjadi sebuah peremehan terhadap hal lain.

Ketika hati kita sedih, kita juga harus menjaganya. Menjaga agar rasa sedih itu tidak menjadi sebuah ratapan menyayat hati, yang memungkinkan timbul rasa menyalahkan terhadap takdir Allah, atau rasa berputus asa yag berlebihan, yang bisa saja mematikan rasa percaya diri untuk berjuang lebih baik lagi.

Begitu juga untuk rasa-rasa lainnya. Ketika hati benci, kita juga harus menjaganya. Menjaga agar rasa benci itu tidak menjadi sebuah bahan untuk ghibah atau adu domba, yang ujung-ujungnya akan membahayakan diri kita juga. Ketika hati cinta, kita juga harus menjaganya. Menjaga agar cinta itu tidak menjadi cinta buta, yang terombang-ambing oleh nafsu semata.

Ya, semua rasa yang menyapa jiwa harus kita jaga. Karena kita tahu, Allah maha membolak-balikkan hati. Jika kita tak teguh menjaga hati, betapa terombang-ambing hati kita di lautan kehidupan yang ganas ini. Maka, mari menjaga hati dengan mengelola setiap rasa setiap saat siap menyapa.








No comments:

Post a Comment