Follow Us @soratemplates

Thursday, 4 August 2011

Mengubah 50%

Ada hal menarik yang lagi-lagi saya dapat dari film korea beberapa waktu lalu, yaitu tentang menentukan sebuah pilihan. Di sebuah adegan, tokoh wanita dihadapkan pada pilihan untuk pindah ke Amerika atau tetap mengejar mimpi di Korea. Ketika ditanya, dia menjawab 50% memilih Amerika dan 50% memilih Korea. Lalu, seorang tokoh pria menyanggahnya. Dia mengatakan kalau 50% itu bukan sebuah pilihan. 50% harus diubah menjadi 0% atau 100%. Barulah itu dikatakan sebagai sebuah pilihan.

Hm, benar juga. Memilih fifty-fifty, sebenarnya memang bukan sebuah pilihan. Karena dengan fifty-fifty itu, kita belum bisa menentukan mana yang akan kita ambil. Mau pilihan A atau pilihan B. Tapi jika kita mengubah 50% A menjadi 0% dan mengubah 50% B menjadi 100%, barulah kita bisa menentukan apa yang akan kita lakukan. Di sinilah pilihan. Memilih B yang sudah jelas 100%.

Masalahnya, menentukan mana 0% dan mana yang 100% memang gampang-gampang susah. Barangkali ada yang sering mengalami dan mengeluh, “Duh, aku terjebak di antara dua pilihan.” Hm, itu baru dua pilihan saja. Belum jika harus memilih di antara sekian pilihan. Pasti lebih sulit lagi jadinya.

Ya, memilih memang hal sulit. Mengapa? Karena ada konsekuensi yang harus diambil dari pilihan itu. Jika kita memilih A, kita akan mengorbankan kebaikan B. Kita juga harus siap menerima kekurangan A, yang bisa jadi itu semua dipenuhi oleh B. Begitu juga sebaliknya. Berat melepaskan B yang walaupun memiliki kekurangan tapi tetap memiliki kelebihan tertentu.

Mungkin, itulah sebabnya mengapa orang sulit untuk memilih. Kita masih cenderung sulit untuk menghadapi konsekuensi yang harus terjadi. Konsekuensi jika melepas kebaikan B dan menerima kekurangan A. Akibatnya, kita jadi masih belum berani menyatakan hitam atau putih, dan cenderung berada di zona abu-abu.

Padahal kalau dipikir-pikir, zona abu-abu pun memiliki konsekuensi. Bisa jadi, konsekuensi yang harus dihadapi justru lebih buruk. Yang terburuk adalah kita justru tidak mendapatkan apa-apa. Kebaikan dari A hilang, kebaikan B pun luput. Mengapa? Karena kita masih ragu-ragu. Padahal kita tahu, sebuah keragu-raguan hendaknya ditinggalkan. Nah, kalo begini, apa mau terus-terusan meninggalkan semua pilihan? Hanya karena tak berani mengambil keputusan di setiap pilihan yang ada. Berarti ujung-ujungnya tak pernah merasakan kebaikan, karena di setiap pilihan pasti akan ada sebuah kebaikan.

Padahal banyak orang bilang kalau hidup adalah sebuah pilihan. Semua hal di hidup ini muncul dari sebuah pilihan. Coba cari, mana yang bukan sebuah pilihan? Mulai dari hal prinsip, seperti memeluk agama, mencari ilmu, mencari kerja. Semua adalah pilihan. Bahkan sampai hal kecil misalnya memilih menu makan saat jajan di luar.

Sayangnya, belum semua mau memilih. Dalam hal makan misalnya. Kalau diajak makan di luar lalu ditanya mau makan apa, terkadang spontan menjawab “terserah”. Ini contoh simpel saja untuk kasus abu-abu. Untungnya ini masih perkara ringan. Kalau tidak berani memilih, paling parah tidak jadi makan. Atau kalau akhirnya hanya ngikut dan tidak sesuai selera, paling buruk hanya mendapat makanan yang kurang sedap saja. Toh begitu sampai di perut sudah tak terasa. Habis perkara.

Tapi, bagaimana jika itu terbiasa hingga berdampak saat harus menghadapi perkara besar? Misalnya ketika harus memilih jodoh. Apa iya, akan tetap menjawab terserah? Dalam hal keyakinan juga misalnya. Apa mau terserah juga? Lantas jika dianalogikan dengan kasus makan tadi. Jika tidak jadi makan karena tak berani memilih, apa lantas tak jadi beriman karena tidak berani memilih juga. Lalu jika asal makan saja sekedar coba-coba, apa lantas juga asal pilih keyakinan saja sekedar coba-coba. Tentu tidak.

Maka, sebuah pilihan memang harus dilakukan. Sebuah konsekuensi memang harus dihadapi. Karena hidup adalah pilihan.


No comments:

Post a Comment