Follow Us @soratemplates

Sunday 21 August 2011

Mengintip Pernikahan

Sebuah pernikahan agaknya menjadi sebuah bahasan yang menarik dan sering diperbincangkan. Mulai dari mereka yang belum menikah, baru saja menikah, bahkan sampai yang sudah senior dalam hal menikah. Apa yang diperbincangkan? Banyak. Salah satunya perhelatan acara pernikahan itu sendiri.

Ceritanya, tadi malam saya menemani ibu datang ke sebuah resepsi pernikahan. Agak mengejutkan juga, malam-malan bulan Ramadhan kok ada yang mengadakan resepsi? Nah kan, belum-belum sudah dikomentari tentang waktu pelaksanaannya itu sendiri. Begitu saya sampai di tempat pernikahan dengan ibu, komentar-komentar itu tetap saja berlanjut. Tidak hanya dari mulut saya atau ibu, tapi begitu juga orang-orang yang duduk di sekitar kami.

Mulai dari acaranya yang bernuansa modern. Mempelai menggunakan setelan jas dan gaun terbuka. Dari sini sudah muncul komentar baru. Lalu saat acara ‘sungkem’, karena mempelai wanita menggunakan gaun yang mengembang, tidak mungkin dia untuk bersujud. Maka, kedua orang tualah yang bangkit dari tempat duduk. Dari sini, orang yang duduk di sekitar saya makin berkomentar. “tradisi Jawanya hilang”. Berlanjut ke menu, iringan musik, dan lain sebagainya. Tak ada yang luput untuk dikomentari.

Itu untuk pernikahan gaya modern. Pernikahan gaya lain pun tak luput untuk dikomentari. Pernikahan kakak sahabat karib yang full adat jawa pun dikomentari. Niatnya mengangkat budaya jawa dengan tarian-tarian, tapi para tamu menganggap itu hanya membuat makin lama saja. Begitu juga pernikahan kawan lama saya yang full nuansa muslim tanpa ada iringan musik, para tamu menganggap itu sebagai pernikahan yang sepi dan banyak komentar lain. Pernikahan tetangga saya yang lebih moderat dengan nuansa muslimnya pun tak luput dikritisi karena para tamu ‘amburadul’ ketika dipisah oleh hijab. Hm, komentarnya aneh-aneh memang.

Saya jadi teringat sebuah statement yang saya dapat di sebuah buku. Acara pernikahan itu adalah representasi dari kehidupan sosial tuan rumah. Kalau tuan rumahnya memang bernuansa modern dengan lingkungan orang yang ‘modern’, wajar kiranya jika konsep ini yang mereka ambil. Demikian juga dengan keluarga yang masih bergitu lekat dengan budaya jawa, meski ritual-ritual jawa untuk pernikahan sudah terkikis, tetap saja akan dilaksanakan. Mulai dari siraman, hingga pakain pengantin yang benar-benar terasa kental nuansa Jawa-nya. Begitu pula kawan yang hidup dengan nuansa islami atau bergaul dengan orang-orang yang menjunjung nilai Islami, bukan tak mungkin semua tetek bengek pernikahan benar-benar Islami.

Yang jadi ‘masalah’ adalah setiap orang memiliki kehidupan pribadi dan sosial yang berbeda. Ketika tuan rumah menggelar nuansa modern, tamu undangan yang masih menjunjung nilai adat Jawa akan merasa ‘risih’. Sebaliknya ketika tuan rumah menggelar nuansa Jawa, belum tentu semua orang setuju dengan rentetan ritual acara yang memakan waktu cukup lama.

Lalu, harus bagaimana? Apa harus mensurvei kehendak para tamu? Hm…, tentu tidak kan. Dengan begitu banyak tamu, tak mungkin kita ‘melayani’ mereka satu persatu. Lalu, apa yang diubah? Yang diubah adalah diri kita sendiri.

Ya, kita lah yang harus diubah. Diubah untuk tidak ‘berkomentar’ macam-macam mengenai perhelatan acara tuan rumah. Bagaimanapun, acara ini adalah acara milik tuan rumah. Tentunya sangat wajar jika tuan rumah mengusung konsep keluarganya masing-masing. Mau modern, adat, islami, terserah yang menggelar acara kan?

Yup, karena setiap orang memiliki kecenderungan berbeda. Diri kitalah yang harus membuka luas toleransi dan kemakluman atas perbedaan itu. Maklum kalau acaranya modern, toh tuan rumah juga modern. Maklum kalau tuan rumah menggelar segala macam adat, toh mereka jarang menyelenggarakan pernikahan. Biarlah mereka memanfaatkan waktu yang jarang itu untuk mengusung konsep hidup mereka. Konsep yang mereka yakini, konsep yang ingin mereka tunjukkan. Bukankah kelak jika kita punya acara sendiri, kita juga ingin mengaturnya sesuai diri kita sendiri dan tak mungkin menanyai semua tamu undangan satu persatu kan?

So, shut up! Tutup mulut dan hormati. Biarlah tuan rumah menjamu dengan cara mereka sendiri.




2 comments:

  1. siph mbak, se7, komentar di blog yg isix kek gini aja.. yg memicu sisi positif,, hhe ^^

    hmm, namax orang mbak.. *berharap kelak bisa nikah dg suasana islami, aamiin*

    ReplyDelete