Malam lebaran, bulan di atas kuburan.
Itulah bait puisi milik Sitor Situmorang. Salah satu puisi
yang saya ingat betul karena sangat unik. Puisi ini menjadi tugas saat saya
kelas 3 SMA dulu. Sebuah tugas bahasa Indonesia untuk libur lebaran. Yup, tugas
untuk membuat paraphrase. Mengubah puisi menjadi pargaraf.
Tugas ini cukup unik, puisinya pun tak kalah unik. Cuma satu
baris. Cuma satu bait. Waktu itu pun saya merasa kalau makna puisi ini pun
unik.
Kata guru saya, puisi ini diciptakan Sitor Situmorang tepat
di malam lebaran. Saat itu, Sitor Situmorang sedang dalam perjalanan. Dia
melihat rembulan. Dan rembulan itu tepat di atas kuburan. Hm, menarik.
Kebetulan saja, rumah saya berada di samping kuburan. Dulu,
saat mengerjakan tugas itu, saya pun melihat di sekitar kuburan. Hm, tak ada
rembulan. Malam ini pun, saya iseng melakukannya lagi. Coba-coba mengintip
rembulan di sela-sela kuburan. Tapi, tak ada sama sekali.
Coba pikir, malam lebaran biasanya orang-orang akan ribut
untuk melihat rembulan. Bahkan gara-gara bulan, sering ada perbadaan menentukan
waktu lebaran. Tapi ini dengan jelas sekali Sitor Situmorang bisa melihatnya.
Lalu, apa maknanya? Apakah ini tersurat atau tersirat?
Dulu, waktu SMA, saya menafsirkan ini sebagai sebuah
perenungan. Ya, perenungan menjelang lebaran.
Di malam lebaran, biasanya orang saling bersuka cita.
Menggemakan takbir di mana-mana. Kegembiraan pun mungkin makin kentara karena
akan menyambut hari bahagia. Saat semua umat muslim berbondong-bondong
merayakan kemenangan. Ya, idul fitri. Tak jarang disebut-sebut sebagai hari
kemenangan. Menang, bukankah bahagia?
Ya, bagi saya, rembulan diibaratkan dengan kebahagiaan itu.
Tapi, mengapa di atas kuburan?
Di sinilah ironinya. Ketika kebanyakan orang sedang bersuka
cita, mereka yang di alam kubur tak merasakannya. Kita tak tahu apa yang ada di
benak mereka. Apakah mereka juga bahagia, ikut merasakan kemeriahan malam
lebaran? Ataukah mereka bermuram durja karena ditinggal kedamaian Ramadhan?
Ada yang bilang, di bulan Ramadhan, kubur mereka menjadi
lebih lapang. Siksaan untuk mereka sementara dihentikan. Lantas, jika ramadhan
usai, apakah siksaan mereka dimulai kembali?
Ah, saya juga tidak tahu. Saya tak tahu apa yang akan saya
pikirkan jika kelak saya yang mengalami itu. Tapi, satu hal yang bisa kita
lakukan adalah, mempersiapkan kematian itu sendiri.
Ya, meski diliputi kebahagian menyambut lebaran, jangan
pernah terlupakan untuk mengingat kematian. Belum tentu kita akan menjumpai
kebahagiaan itu lagi. Bahkan bisa jadi, kita selayaknya tak bersuka cita
seperti itu. Barangkali mengingat mati itu justru lebih utama. Ketika hawa
ibadah yang seindah Ramadhan akan berakhir, apakah kita masih akan dengan mudah
dan ringan hati melakukan ibadah di bulan-bulan selanjutnya? Kalau dikhawatirkan
tidak, mau jadi apa diri kita nanti.
Ya, layaknya kita tetap mengingat mati. Bahkan saat kita
bersuka hati.
Selamat menyambut kebahagiaan di hari fitri, selamat
mengingat hari mati.
No comments:
Post a Comment