Follow Us @soratemplates

Wednesday, 31 August 2011

Malam Lebaran


Malam lebaran, bulan di atas kuburan.

Itulah bait puisi milik Sitor Situmorang. Salah satu puisi yang saya ingat betul karena sangat unik. Puisi ini menjadi tugas saat saya kelas 3 SMA dulu. Sebuah tugas bahasa Indonesia untuk libur lebaran. Yup, tugas untuk membuat paraphrase. Mengubah puisi menjadi pargaraf.

Tugas ini cukup unik, puisinya pun tak kalah unik. Cuma satu baris. Cuma satu bait. Waktu itu pun saya merasa kalau makna puisi ini pun unik.

Kata guru saya, puisi ini diciptakan Sitor Situmorang tepat di malam lebaran. Saat itu, Sitor Situmorang sedang dalam perjalanan. Dia melihat rembulan. Dan rembulan itu tepat di atas kuburan. Hm, menarik.
Kebetulan saja, rumah saya berada di samping kuburan. Dulu, saat mengerjakan tugas itu, saya pun melihat di sekitar kuburan. Hm, tak ada rembulan. Malam ini pun, saya iseng melakukannya lagi. Coba-coba mengintip rembulan di sela-sela kuburan. Tapi, tak ada sama sekali.

Coba pikir, malam lebaran biasanya orang-orang akan ribut untuk melihat rembulan. Bahkan gara-gara bulan, sering ada perbadaan menentukan waktu lebaran. Tapi ini dengan jelas sekali Sitor Situmorang bisa melihatnya. Lalu, apa maknanya? Apakah ini tersurat atau tersirat?

Dulu, waktu SMA, saya menafsirkan ini sebagai sebuah perenungan. Ya, perenungan menjelang lebaran.
Di malam lebaran, biasanya orang saling bersuka cita. Menggemakan takbir di mana-mana. Kegembiraan pun mungkin makin kentara karena akan menyambut hari bahagia. Saat semua umat muslim berbondong-bondong merayakan kemenangan. Ya, idul fitri. Tak jarang disebut-sebut sebagai hari kemenangan. Menang, bukankah bahagia?

Ya, bagi saya, rembulan diibaratkan dengan kebahagiaan itu. Tapi, mengapa di atas kuburan?

Di sinilah ironinya. Ketika kebanyakan orang sedang bersuka cita, mereka yang di alam kubur tak merasakannya. Kita tak tahu apa yang ada di benak mereka. Apakah mereka juga bahagia, ikut merasakan kemeriahan malam lebaran? Ataukah mereka bermuram durja karena ditinggal kedamaian Ramadhan?

Ada yang bilang, di bulan Ramadhan, kubur mereka menjadi lebih lapang. Siksaan untuk mereka sementara dihentikan. Lantas, jika ramadhan usai, apakah siksaan mereka dimulai kembali?

Ah, saya juga tidak tahu. Saya tak tahu apa yang akan saya pikirkan jika kelak saya yang mengalami itu. Tapi, satu hal yang bisa kita lakukan adalah, mempersiapkan kematian itu sendiri.

Ya, meski diliputi kebahagian menyambut lebaran, jangan pernah terlupakan untuk mengingat kematian. Belum tentu kita akan menjumpai kebahagiaan itu lagi. Bahkan bisa jadi, kita selayaknya tak bersuka cita seperti itu. Barangkali mengingat mati itu justru lebih utama. Ketika hawa ibadah yang seindah Ramadhan akan berakhir, apakah kita masih akan dengan mudah dan ringan hati melakukan ibadah di bulan-bulan selanjutnya? Kalau dikhawatirkan tidak, mau jadi apa diri kita nanti.

Ya, layaknya kita tetap mengingat mati. Bahkan saat kita bersuka hati.

Selamat menyambut kebahagiaan di hari fitri, selamat mengingat hari mati.


No comments:

Post a Comment