Wah, apaan nih? Nama rumah sakit yang biasa muncul di sinetron-sinetron? Hm, tidak kawan.
Saya sedang membicarakan sebuah harapan. Kata ‘kita’ sendiri
sebagai penanda bahwa yang berharap ada banyak orang, tidak sekedar diri kita
sendiri. Nah, siapa yang berharap? Keluarga kita.
Ada satu hal menarik yang saya harap di setiap Idul Fitri.
Biasanya keluarga besar saya baik dari bapak maupun ibu akan berkumpul dan
‘sungkem’ bersama. Di sinilah menariknya. Tak jarang kata-kata wejangan dari
para orang tua terasa lebih bermakna. Dan biasanya, kata-kata yang ‘unik’
itulah yang sering saya ingat baik sengaja atau tak sengaja.
Ya, mungkin harapannya bisa standar saja. Mulai dari belajar
yang rajin, jadi anak yang sholeh, membantu bapak ibu, dan lain sebagainya.
Tapi kata-kata itu setidaknya mengingatkan kita. Inilah yang diharapkan orang
lain pada diri kita. Simbah yang berharap agar kita pintar, bapak ibu yang
berharap agar lebih kuat, dan masih banyak lagi.
Bagi saya ini penting sekali. Bukan hal yang salah jika
orang lain mengingkan kita menjadi orang yang begini atau orang yang begitu.
Harapan mereka adalah doa. Dan tak ada salahnya mereka mendoakan yang baik
untuk kita. Nah, dengan harapan yang diutarakan itulah, kita jadi tahu. Oh,
inilah yang harus saya lakukan. Inilah yang seharusnya saya upayakan. Memenuhi
harapan mereka, berusaha menjadi cucu atau anak yang baik dalam sudut pandang
mereka.
Mungkin ada yang mengatakan itu terlalu ribet dan terlalu
dibesar-besarkan. Yah, kita adalah kita. Biarlah kita menjadi apa adanya kita.
Mau kita seperti apa, terserah kita.
Saya sendiri pun mengiyakan sebuah kisah yang saya dengar
dahulu. Kita tak akan selesai jika selalu menuruti keinginan orang lain. Karena
orang lain itu banyak, keinginan orang itu berbeda-beda. Jika kita menuruti
satu, belum tentu sesuai dengan yang lain. Jadi, untuk apa mengikuti harapan
orang lain? Ujung-ujungnya kita justru tak dapat apa-apa.
Ya, bisa dibenarkan juga pandangan itu. Tapi, dalam batasan
tertentu. Pandangan itu benar sebatas untuk membentengi diri agar tidak mudah
menuruti keinginan orang. Bagaimana pun kita tetap punya prinsip untuk menjadi
diri sendiri. Jadi, harapan orang lain bisa jadi tetap dilakukan. Tapi dengan
melihat harapan itu sendiri. Tak semua harapan harus dikabulkan. Jika itu benar
dan sesuai dengan jati diri, barulah boleh untuk dilaksanakan.
Di lain sisi, harapan pun bukan semata-mata untuk diabaikan.
Jika kita selalu mengabaikan pandangan orang lain, bisa jadi hidup kita hanya
mengikuti arah angin saja. Apa-apa terserah. Tak ada prinsip, tak ada arah
tujuan, tak ada harapan yang ingin diupayakan. Tentu bukan demikian juga.
Maka, kuncinya ada pada jati diri. Berusaha tetap menjadi
diri senidir. Syukurlah kalau diri kita itulah yang sesuai dengan harapan orang
banyak. Kalau jati diri kita sudah terbentuk, prinsip kita mantap, mau sebanyak
apapun harapan yang disodorkan pada kita, kita tetap bisa memilihnya. Mana
harapan yang nyata, dan mana harapan yang musykil dan tak ada guna. Hingga kita
tak sekedar mendapatkan sesuatu yang sia-sia belaka, melainkan mendapatkan
pribadi yang terus berkembang untuk menjadi lebih baik. Insya Allah…
No comments:
Post a Comment