Follow Us @soratemplates

Thursday, 1 September 2011

Harapan Kita


Wah, apaan nih? Nama rumah sakit yang biasa muncul di sinetron-sinetron? Hm, tidak kawan.
Saya sedang membicarakan sebuah harapan. Kata ‘kita’ sendiri sebagai penanda bahwa yang berharap ada banyak orang, tidak sekedar diri kita sendiri. Nah, siapa yang berharap? Keluarga kita.

Ada satu hal menarik yang saya harap di setiap Idul Fitri. Biasanya keluarga besar saya baik dari bapak maupun ibu akan berkumpul dan ‘sungkem’ bersama. Di sinilah menariknya. Tak jarang kata-kata wejangan dari para orang tua terasa lebih bermakna. Dan biasanya, kata-kata yang ‘unik’ itulah yang sering saya ingat baik sengaja atau tak sengaja.

Ya, mungkin harapannya bisa standar saja. Mulai dari belajar yang rajin, jadi anak yang sholeh, membantu bapak ibu, dan lain sebagainya. Tapi kata-kata itu setidaknya mengingatkan kita. Inilah yang diharapkan orang lain pada diri kita. Simbah yang berharap agar kita pintar, bapak ibu yang berharap agar lebih kuat, dan masih banyak lagi.

Bagi saya ini penting sekali. Bukan hal yang salah jika orang lain mengingkan kita menjadi orang yang begini atau orang yang begitu. Harapan mereka adalah doa. Dan tak ada salahnya mereka mendoakan yang baik untuk kita. Nah, dengan harapan yang diutarakan itulah, kita jadi tahu. Oh, inilah yang harus saya lakukan. Inilah yang seharusnya saya upayakan. Memenuhi harapan mereka, berusaha menjadi cucu atau anak yang baik dalam sudut pandang mereka.

Mungkin ada yang mengatakan itu terlalu ribet dan terlalu dibesar-besarkan. Yah, kita adalah kita. Biarlah kita menjadi apa adanya kita. Mau kita seperti apa, terserah kita.

Saya sendiri pun mengiyakan sebuah kisah yang saya dengar dahulu. Kita tak akan selesai jika selalu menuruti keinginan orang lain. Karena orang lain itu banyak, keinginan orang itu berbeda-beda. Jika kita menuruti satu, belum tentu sesuai dengan yang lain. Jadi, untuk apa mengikuti harapan orang lain? Ujung-ujungnya kita justru tak dapat apa-apa.

Ya, bisa dibenarkan juga pandangan itu. Tapi, dalam batasan tertentu. Pandangan itu benar sebatas untuk membentengi diri agar tidak mudah menuruti keinginan orang. Bagaimana pun kita tetap punya prinsip untuk menjadi diri sendiri. Jadi, harapan orang lain bisa jadi tetap dilakukan. Tapi dengan melihat harapan itu sendiri. Tak semua harapan harus dikabulkan. Jika itu benar dan sesuai dengan jati diri, barulah boleh untuk dilaksanakan.

Di lain sisi, harapan pun bukan semata-mata untuk diabaikan. Jika kita selalu mengabaikan pandangan orang lain, bisa jadi hidup kita hanya mengikuti arah angin saja. Apa-apa terserah. Tak ada prinsip, tak ada arah tujuan, tak ada harapan yang ingin diupayakan. Tentu bukan demikian juga.

Maka, kuncinya ada pada jati diri. Berusaha tetap menjadi diri senidir. Syukurlah kalau diri kita itulah yang sesuai dengan harapan orang banyak. Kalau jati diri kita sudah terbentuk, prinsip kita mantap, mau sebanyak apapun harapan yang disodorkan pada kita, kita tetap bisa memilihnya. Mana harapan yang nyata, dan mana harapan yang musykil dan tak ada guna. Hingga kita tak sekedar mendapatkan sesuatu yang sia-sia belaka, melainkan mendapatkan pribadi yang terus berkembang untuk menjadi lebih baik. Insya Allah…


No comments:

Post a Comment