Follow Us @soratemplates

Saturday 3 September 2011

Cinta Segunung dan Seujung Kuku


Ada yang menarik ketika membaca buku Catatan Seorang Ukhti. Di situ dikatakan cinta laki-laki itu sebesar gunung, sedangkan cinta perempuan hanya seujung kuku. Wah, perbandingan yang sangat jauh. Tapi setelah dipaparkan, ternyata ada benarnya.

Cinta laki-laki itu sebesar gunung. Terlihat sejak awal, hingga akhir. Tapi ya hanya sebesar gunung itu. Konstan, tidak bertambah. Bahkan, yang sangat disayangkan, gunung itu bisa meletus dan hancur berkeping-keping. Musnah. Layaknya cinta membara yang tiba-tiba padam seketika, tak ada sisa.

Berbeda dengan perempuan. Cintanya memang hanya seujung kuku. Tapi kuku itu terus tumbuh. Meski dipotong sekalipun, atau meski kuku terluka dan kena borok sekalipun. Kuku akan tetap tumbuh. Layaknya cinta yang meski tersakiti tapi tetap tumbuh dalam jiwa.

Kalau di buku tersebut, diberikan contoh orang tua dari teman penulis yang berpisah karena sang ayah selingkuh. Meski ayahnya pergi, sang ibu tetap menerima dengan lapang hati. Ketika ayah itu kembali dan mengakui salahnya, dengan mudahnya ibu itu memaafkan dan kembali membina rumah tangga. Hm, rasanya kok mudah saja.

Saya jadi teringat salah satu perkataan guru sejarah saya waktu SMP. Guru saya berkata, “Keutuhan rumah tangga itu tergantung pada istri. Kalau istrinya baik, rumah tangganya juga baik. Kalau istrinya buruk, rumah tangga juga buruk.” Awalnya, saya tidak percaya. Bagaimana bisa rumah tangga tergantung pada istri. Bukankah bagaimanapun seorang suami adalah imam? Kalau imamnya saja buruk, tentu rumah tangga akan buruk kan. Kalau imamnya baik, rumah tangga juga akan baik. Dulu, saya pikir begitu.

Tapi, saat ini saya mengakui perkataan guru SMP saya itu seratus persen benar. Realitanya memang banyak saya temui di kehidupan sekitar saya. Ketika sang suami terbelit masalah, bisa saja sang istri menuntut cerai. Banyak kasus begitu. Rumah tangga bubar karena istri merasa suami tidak memberi nafkah dan justru membawa masalah. Lain halnya dengan istri yang sabar. Meski tak ada nafkah dan yang ada hanya masalah, sang istri tetap bertahan. Dan karena bertahan itulah, rumah tangga pun terselamatkan.

Yah, memang. Tak jarang rumah tangga di sekitar saya hancur karena andil istrinya. Memang, awalnya bisa jadi karena ulah suaminya. Tapi perkaranya adalah apakah sang istri mau bertahan. Karena bagaimanapun perasaan rentan memang cenderung ada pada istri. Suami sakit dan bikin repot, istri tak tahan lantas pergi. Suami di PHK dan terlilit hutang, istri kelimpungan lantas pergi. Dan masih banyak kasus lain.
Di lain sisi, meski suami nakalnya seperti apapun, kalau istrinya baik, rumah tangga akan kembali utuh. Seperti contoh kasus tadi. Meski suami selingkuh, istri tetap setia menunggu di rumah.

Saya jadi teringat salah satu forum diskusi di internet. Waktu itu saya iseng-iseng saja baca tentang pendapat para suami istri mengenai selingkuh dan menikah lagi alias poligami. Beberapa suami memang mengakui ada kecenderungan tertarik dengan wanita lain dan terpikir untuk menikah lagi, atau  parahnya selingkuh. Tapi, saya ingat betul pendapat salah satu suami. Dia berkata, “Saya tertarik pada satu wanita, hampir kejadian saya selingkuh. Tapi urung terjadi. Gara-garanya, ketika di rumah, saya tak tega melihat istri saya. Melihat istri saya bangun malam dan sholat dengan khusyu, dilanjutkan dengan doa panjangnya, mana saya tega untuk main-main dengan wanita lain.” Hm, menarik juga.

Yup, begitulah. Cinta perempuan yang seujung kuku ini hanya dimiliki oleh perempuan-perempuan yang baik. Kalau bukan perempuan yang baik, tak ada bedanya dia dengan cinta segunung yang kemudian meletus dan hancur berkeping-keping. Cinta yang hanya seujung kuku ini pun menjadi bukti bahwa cintanya tak semata-mata hanya untuk suaminya. Ada cinta yang lebih utama yaitu cinta pada Allah dan Rasulnya. Justru dengan adanya porsi cinta yang lebih besar pada Allah inilah yang menjadikannya sebagai perempuan yang baik dan sempurna.

Jadi berbahagialah jika cinta ini hanya seujung kuku. Bukannya tidak ingin mengerahkan sepenuh cinta yang dimiliki. Tapi, kecenderungan meski sedikiti tapi tulus dan tak pernah mati, itulah yang lebih berharga. Jadi, jangan salahkan kami jika hanya memiliki cinta seujung kuku. Bukankah lebih baik begitu?

1 comment:

  1. kayaknya sang penulis sudah g sabar kepengin membuktikannya?????

    ReplyDelete