Ada yang menarik ketika membaca buku Catatan Seorang Ukhti. Di situ dikatakan cinta laki-laki itu sebesar gunung, sedangkan cinta perempuan hanya seujung kuku. Wah, perbandingan yang sangat jauh. Tapi setelah dipaparkan, ternyata ada benarnya.
Cinta laki-laki itu sebesar gunung. Terlihat sejak awal,
hingga akhir. Tapi ya hanya sebesar gunung itu. Konstan, tidak bertambah.
Bahkan, yang sangat disayangkan, gunung itu bisa meletus dan hancur
berkeping-keping. Musnah. Layaknya cinta membara yang tiba-tiba padam seketika,
tak ada sisa.
Berbeda dengan perempuan. Cintanya memang hanya seujung
kuku. Tapi kuku itu terus tumbuh. Meski dipotong sekalipun, atau meski kuku
terluka dan kena borok sekalipun. Kuku akan tetap tumbuh. Layaknya cinta yang
meski tersakiti tapi tetap tumbuh dalam jiwa.
Kalau di buku tersebut, diberikan contoh orang tua dari
teman penulis yang berpisah karena sang ayah selingkuh. Meski ayahnya pergi,
sang ibu tetap menerima dengan lapang hati. Ketika ayah itu kembali dan
mengakui salahnya, dengan mudahnya ibu itu memaafkan dan kembali membina rumah
tangga. Hm, rasanya kok mudah saja.
Saya jadi teringat salah satu perkataan guru sejarah saya
waktu SMP. Guru saya berkata, “Keutuhan rumah tangga itu tergantung pada istri.
Kalau istrinya baik, rumah tangganya juga baik. Kalau istrinya buruk, rumah
tangga juga buruk.” Awalnya, saya tidak percaya. Bagaimana bisa rumah tangga
tergantung pada istri. Bukankah bagaimanapun seorang suami adalah imam? Kalau
imamnya saja buruk, tentu rumah tangga akan buruk kan. Kalau imamnya baik,
rumah tangga juga akan baik. Dulu, saya pikir begitu.
Tapi, saat ini saya mengakui perkataan guru SMP saya itu
seratus persen benar. Realitanya memang banyak saya temui di kehidupan sekitar
saya. Ketika sang suami terbelit masalah, bisa saja sang istri menuntut cerai.
Banyak kasus begitu. Rumah tangga bubar karena istri merasa suami tidak memberi
nafkah dan justru membawa masalah. Lain halnya dengan istri yang sabar. Meski
tak ada nafkah dan yang ada hanya masalah, sang istri tetap bertahan. Dan
karena bertahan itulah, rumah tangga pun terselamatkan.
Yah, memang. Tak jarang rumah tangga di sekitar saya hancur
karena andil istrinya. Memang, awalnya bisa jadi karena ulah suaminya. Tapi
perkaranya adalah apakah sang istri mau bertahan. Karena bagaimanapun perasaan
rentan memang cenderung ada pada istri. Suami sakit dan bikin repot, istri tak
tahan lantas pergi. Suami di PHK dan terlilit hutang, istri kelimpungan lantas
pergi. Dan masih banyak kasus lain.
Di lain sisi, meski suami nakalnya seperti apapun, kalau
istrinya baik, rumah tangga akan kembali utuh. Seperti contoh kasus tadi. Meski
suami selingkuh, istri tetap setia menunggu di rumah.
Saya jadi teringat salah satu forum diskusi di internet.
Waktu itu saya iseng-iseng saja baca tentang pendapat para suami istri mengenai
selingkuh dan menikah lagi alias poligami. Beberapa suami memang mengakui ada
kecenderungan tertarik dengan wanita lain dan terpikir untuk menikah lagi, atau
parahnya selingkuh. Tapi, saya ingat
betul pendapat salah satu suami. Dia berkata, “Saya tertarik pada satu wanita,
hampir kejadian saya selingkuh. Tapi urung terjadi. Gara-garanya, ketika di
rumah, saya tak tega melihat istri saya. Melihat istri saya bangun malam dan
sholat dengan khusyu, dilanjutkan dengan doa panjangnya, mana saya tega untuk
main-main dengan wanita lain.” Hm, menarik juga.
Yup, begitulah. Cinta perempuan yang seujung kuku ini hanya
dimiliki oleh perempuan-perempuan yang baik. Kalau bukan perempuan yang baik,
tak ada bedanya dia dengan cinta segunung yang kemudian meletus dan hancur
berkeping-keping. Cinta yang hanya seujung kuku ini pun menjadi bukti bahwa
cintanya tak semata-mata hanya untuk suaminya. Ada cinta yang lebih utama yaitu
cinta pada Allah dan Rasulnya. Justru dengan adanya porsi cinta yang lebih
besar pada Allah inilah yang menjadikannya sebagai perempuan yang baik dan
sempurna.
Jadi berbahagialah jika cinta ini hanya seujung kuku.
Bukannya tidak ingin mengerahkan sepenuh cinta yang dimiliki. Tapi, kecenderungan
meski sedikiti tapi tulus dan tak pernah mati, itulah yang lebih berharga.
Jadi, jangan salahkan kami jika hanya memiliki cinta seujung kuku. Bukankah
lebih baik begitu?
kayaknya sang penulis sudah g sabar kepengin membuktikannya?????
ReplyDelete