Dalam bahasa Indonesia, kita sering mengenal istilah sinonim atau persamaan kata, sebuah kata yang memiliki arti sama atau hampir sama. Pada dasarnya, mungkin memang benar beberapa kata itu adalah sama. Tak ada masalah jika satu kata diganti dengan kata sinonimnya. Nyatanya, ketika kata itu diubah sedikit saja, maknanya bisa jadi berbeda.
Saya menemukan makna berbeda itu ketika menjalani tutorial
di kampus pagi ini. Seperti biasa, setiap dua kali seminggu, saya dengan
teman-teman sekelompok mengikuti tutorial, sebuah diskusi dengan dipandu
seorang dosen sebagai tutor untuk membahas suatu skenario kasus penyakit
tertentu. Karena sedang di blok THT, kasus kali ini adalah hidung buntu. Salah
satu keluhan yang dirasakan pasien di kasus itu adalah hidung tersumbat.
Seperti biasa, teman-teman saling mengutarakan masalah yang
sekiranya dijumpai di dalam kasus tersebut. Kami merunut kata demi kata, lalu
kalimat demi kalimat agar tidak ada keluhan yang terlewat. Waktu mendekati
keluhan hidung tersumbat, saya spontan nyletuk.
“Ini keluhan hidung tersumbat mau disamakan dengan keluhan
hidung buntu atau dijadikan masalah tersendiri?” tanya saya waktu itu.
Beberapa teman sedikit ribut. Ada yang berpendapat sama, ada
pula yang menganggapnya sebagai masalah yang berbeda. Melihat kami yang berbeda
pendapat untuk urusan ini, tutor kami tertawa.
Beliau berkata, “Buntu sama tersumbat, beda atau sama? Kalau
jalan buntu dan jalan tersumbat sama atau beda?”
Kami makin kasak kusuk. Kalau buntu dan tersumbat, cenderung
sama. Tapi kalau jalan buntu dan jalan tersumbat kan bisa saja berbeda.
Beliau pun melanjutkan, “Betul dan benar itu sama kan, tapi
kebetulan dan kebenaran apakah sama?”
Kompak kami menjawab ‘beda’.
Akhirnya beliau menjelaskan, “Hidung buntu dan hidung
tersumbat itu beda, meskipun maknanya sekilas sama.”
Hm, bagi saya ini menarik. Rasanya kata-kata itu remeh temeh
belaka, nyatanya maknanya bisa jadi telah berbeda. Seperti kasus kata ‘benar’
dan ‘betul’ di atas. Dua-duanya bisa saja diletakkan di tempat yang sama dan
saling menggantikan satu sama lain. Tapi meski sama-sama diberi imbuhan ke-an,
maknanya sudah sangat berbeda. Tidak mungkin kan semua kebenaran adalah sama
dengan semua kebetulan.
Hal ini mengingatkan saya pada diksi. Yah, bagaimanapun
diksi itu ternyata penting sekali. Tak hanya untuk menulis puisi atau
karya-karya yang membutuhkan pilihan kata yang mengandung estetika, tapi dalam
kehidupan sehari-hari pun diksi alias pilihan kata tetap harus melekat dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam bahasa Jawa misalnya. Sama-sama ingin menyebutkan
makna makan saja, kita harus memilih padanan kata mana yang lebih tepat,
‘dhahar’, ‘nedha’, atau ‘mangan’. Kalau salah pilih, tentunya tidak pas di
telinga. Kalaupun bagi kita pas, bagi orang lain yang paham dikiranya kita
tidak menghormati atau tidak paham bahasa yang seharusnya.
Itulah mengapa dalam bahasa Indonesia juga dikenal syarat
mutlak untuk berbahasa dengan baik dan benar. Ya, baik dan benar. Tak hanya
baik, ataupun hanya benar. Karena bahasa sangat terpengaruh dengan situasi dan
kondisi yang ada.
Misalkan ketika kita sedang bercakap-cakap dengan teman
akrab kita. Jika kita memintanya untuk datang ke rumah, rasanya kurang baik
jika kita berkata, “Silakan Anda berkunjung ke rumah saya.” Ajakan ini sih
benar-benar saja. Stuktur kalimatnya benar. Bahasanya justru bahasa baku yang
jelas-jelas benar. Tapi tetap saja kurang baik, mengingat hubungan antara kita
dengan teman yang diajak bercakap-cakap itu sudah akrab.
Nah, itulah pentingnya pilihan kata dalam bahasa. Jangan
sampai hubungan antar sesama rusak hanya karena salah memilih kata dalam
berbahas. So, mari pintar-pintar memilih diksi agar setiap kata yang terucap
dan tertuang selalu pas di hati.
No comments:
Post a Comment