Follow Us @soratemplates

Monday, 5 September 2011

Serupa Belum Tentu Semakna


Dalam bahasa Indonesia, kita sering mengenal istilah sinonim atau persamaan kata, sebuah kata yang memiliki arti sama atau hampir sama. Pada dasarnya, mungkin memang benar beberapa kata itu adalah sama. Tak ada masalah jika satu kata diganti dengan kata sinonimnya. Nyatanya, ketika kata itu diubah sedikit saja, maknanya bisa jadi berbeda.

Saya menemukan makna berbeda itu ketika menjalani tutorial di kampus pagi ini. Seperti biasa, setiap dua kali seminggu, saya dengan teman-teman sekelompok mengikuti tutorial, sebuah diskusi dengan dipandu seorang dosen sebagai tutor untuk membahas suatu skenario kasus penyakit tertentu. Karena sedang di blok THT, kasus kali ini adalah hidung buntu. Salah satu keluhan yang dirasakan pasien di kasus itu adalah hidung tersumbat.

Seperti biasa, teman-teman saling mengutarakan masalah yang sekiranya dijumpai di dalam kasus tersebut. Kami merunut kata demi kata, lalu kalimat demi kalimat agar tidak ada keluhan yang terlewat. Waktu mendekati keluhan hidung tersumbat, saya spontan nyletuk.

“Ini keluhan hidung tersumbat mau disamakan dengan keluhan hidung buntu atau dijadikan masalah tersendiri?” tanya saya waktu itu.

Beberapa teman sedikit ribut. Ada yang berpendapat sama, ada pula yang menganggapnya sebagai masalah yang berbeda. Melihat kami yang berbeda pendapat untuk urusan ini, tutor kami tertawa.

Beliau berkata, “Buntu sama tersumbat, beda atau sama? Kalau jalan buntu dan jalan tersumbat sama atau beda?”

Kami makin kasak kusuk. Kalau buntu dan tersumbat, cenderung sama. Tapi kalau jalan buntu dan jalan tersumbat kan bisa saja berbeda.

Beliau pun melanjutkan, “Betul dan benar itu sama kan, tapi kebetulan dan kebenaran apakah sama?”

Kompak kami menjawab ‘beda’.

Akhirnya beliau menjelaskan, “Hidung buntu dan hidung tersumbat itu beda, meskipun maknanya sekilas sama.”

Hm, bagi saya ini menarik. Rasanya kata-kata itu remeh temeh belaka, nyatanya maknanya bisa jadi telah berbeda. Seperti kasus kata ‘benar’ dan ‘betul’ di atas. Dua-duanya bisa saja diletakkan di tempat yang sama dan saling menggantikan satu sama lain. Tapi meski sama-sama diberi imbuhan ke-an, maknanya sudah sangat berbeda. Tidak mungkin kan semua kebenaran adalah sama dengan semua kebetulan.

Hal ini mengingatkan saya pada diksi. Yah, bagaimanapun diksi itu ternyata penting sekali. Tak hanya untuk menulis puisi atau karya-karya yang membutuhkan pilihan kata yang mengandung estetika, tapi dalam kehidupan sehari-hari pun diksi alias pilihan kata tetap harus melekat dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam bahasa Jawa misalnya. Sama-sama ingin menyebutkan makna makan saja, kita harus memilih padanan kata mana yang lebih tepat, ‘dhahar’, ‘nedha’, atau ‘mangan’. Kalau salah pilih, tentunya tidak pas di telinga. Kalaupun bagi kita pas, bagi orang lain yang paham dikiranya kita tidak menghormati atau tidak paham bahasa yang seharusnya.

Itulah mengapa dalam bahasa Indonesia juga dikenal syarat mutlak untuk berbahasa dengan baik dan benar. Ya, baik dan benar. Tak hanya baik, ataupun hanya benar. Karena bahasa sangat terpengaruh dengan situasi dan kondisi yang ada.

Misalkan ketika kita sedang bercakap-cakap dengan teman akrab kita. Jika kita memintanya untuk datang ke rumah, rasanya kurang baik jika kita berkata, “Silakan Anda berkunjung ke rumah saya.” Ajakan ini sih benar-benar saja. Stuktur kalimatnya benar. Bahasanya justru bahasa baku yang jelas-jelas benar. Tapi tetap saja kurang baik, mengingat hubungan antara kita dengan teman yang diajak bercakap-cakap itu sudah akrab.

Nah, itulah pentingnya pilihan kata dalam bahasa. Jangan sampai hubungan antar sesama rusak hanya karena salah memilih kata dalam berbahas. So, mari pintar-pintar memilih diksi agar setiap kata yang terucap dan tertuang selalu pas di hati.

No comments:

Post a Comment