Ada satu rubrik menarik di majalah langganan ibu minggu kemarin. Menu utamanya membahas tentang lebaran. Apa yang menarik? Majalah itu menyoroti satu fenomena yang sering terjadi di masyarakat akhir-akhir ini. Agenda lebaran dewasa ini justru dialokasikan untuk liburan. Hm, sebenarnya lebaran atau liburan?
Sejak kecil, ketika mendengar kata lebaran, yang terbayang
adalah jalan-jalan mengunjungi rumah simbah dan sanak saudara. Sampai sekarang
pun tetap dilaksanakan. Tapi, ada satu agenda yang kini selalu dilakukan, yaitu
liburan.
Dua tahun lalu, saya dengan sepupu-sepupu perempuan dari
keluarga bapak pergi ke Waduk Gajah Mungkur dan Taman Jurug. Sedangkan
sepupu-sepupu yang laki-laki main ke pantai Jogja. Tahun lalu, saya dengan
keluarga dari ibu pergi ke pantai Pacitan. Malam ini pun, setelah serangkaian
acara, sepupu-sepupu mulai ribut menentukan mau libur ke mana.
Hm, liburan!
Ini masih mending. Setelah silaturahmi selesai, baru
liburan. Kalau penuturan di majalah ibu saya lebih parah lagi. Mereka tak lagi
melakukan silaturahmi. Orang-orang yang tua telah tiada, generasi-generasi muda
sudah malas untuk berkumpul bersama. Yang ada, waktu luang yang mungkin jarang
ditemukan mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk liburan bersama keluarga
kecilnya.
Ya, agak miris memang. Silaturahmi tak lagi menjadi sebuah
kebutuhan. Generasi muda jaman sekarang lebih fokus pada keluarga kecil mereka.
Jujur, saya saja tak bisa menyebutkan tiga generasi di atas saya. Kalau kumpul
keluarga trah, saya tak tahu namanya. Asal tahu itu keluarga saja, rumahnya
yang di sekitar itu saja.
Kalau pun keluarga jauh yang menjadi dekat, itu pun harus
ada historinya. Entah karena saya karya wisata ke Bali lalu dijenguk saudara di
hotel. Atau karena saya awam merantau di Depok lalu dibantu saudara. Sebatas
itu saja. Kalau tak ada momen itu, mungkin saya tak merasakan ikatan saudara
itu. Hm, parah!
Yah, padahal silaturahmi itu penting. Begitu banyak manfaat
yang bisa kita peroleh dari silaturahmi. Sayang, manusia tak banyak tahu, atau
tak mau tahu.
Silaturahmi akan memperpanjang usia. Yah, kita tahu jatah
usia kita memang tak akan bertambah atau berkurang. Tapi barangkali makna
panjang usia itulah yang kita peroleh. Ketika kita bertemu orang lain, bisa
jadi hati kita bahagia. Bisa saling bersuka cita, saling bercanda, penuh senyum
tawa. Nah, inilah yang maknanya bisa memperpanjang usia kita. Ketika kita
tersenyum dan bahagia, hormon-hormon dan sel-sel di dalam tubuh kita pun akan
‘merasa bahagia’. Keadaan inilah yang penting bagi kesehatan kita. Dengan sehat
inilah, usia kita terasa lebih panjang.
Silaturahmi akan membuka pintu rizqi. Haha, bagi anak kecil
hal ini jelas sangat terbukti. Siapa yang makin rajin mengunjungi rumah-rumah,
makin banyak pula fitrah yang diterima. Nah kan, silaturahmi membuka pintu
rejeki. Memang bisa dibenarkan. Dengan saling berjumpa, bisa jadi terbuka
peluang rejeki di depan mata. Yang pengusaha, bisa jadi ini dijadikan peluang
untuk membuka mitra kerja. Yang saudagar, bisa jadi ini dijadikan peluang untuk
menjajakan dagangannya. Banyak lagi. Semuanya bisa jadi peluang untuk membuka
jalan mengais rizqi.
Persis seperti yang tercantum dalam salah satu hadits. “Barangsiapa yang suka rezekinya dilapangkan,
atau usianya dipanjangkan, hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR.
Al-Bukhari, bab Orang yang suka dilapangkan resekinya).
Nah, ingin lapang rezeki dan panjang usia kan? So, ayo
silaturahmi.
No comments:
Post a Comment