Ada sebuah pelajaran hidup menarik yang saya dapati tadi malam. Semalam, saya menginap di kamar kos teman saya untuk mengerjakan suatu proyek. Ketika saya datang, ternyata teman saya sedang asyik browsing mencari sesuatu. Apa yang dia cari? Tentang cara pesawat jet menghindari radar. Ada beberapa cara bagaimana pesawat jet mampu menghindari pantauan radar. Mulai dari permukaan yang dibuat tidak lurus, panjang api yang diperpendek, dan cara terbang yang diusahakan serendah mungkin.
Cara terakhir ini yang menarik. Pesawat jet yang terbang
serendah mungkin ternyata mampu mengecoh radar. Mengapa? Karena pantulan radar
dari pesawat yang terbang rendah sulit dibedakan dengan gedung-gedung yang
menjulang tinggi. Jadi penangkanp radar akan bingung. Ini pesawat atau gedung.
Karena bingung itulah, otomatis pesawat jet pun akan lolos dari pantauan radar.
Bagi saya yang tak pernah terpikirkan hal tersebut,
informasi ini keren sekali. Dalam sudut pandang saya pun, teman saya ini juga
keren sekali karena di sela-sela proyek yang waktunya mepet bisa refreshing
dengan mendapat informasi yang menarik. Dan lebih kerennya lagi, teman saya ini
bisa membuat analogi yang lagi-lagi belum terpikir oleh diri saya sendiri.
Dia menganalogikan pesawat yang terbang rendah untuk
menghindari radar dengan seseorang yang sengaja merendah untuk menghindari
radar pula. Maksudnya begini. Orang tersebut sengaja merendahkan dirinya
sendiri untuk menghindari radar dari musuh maupun kawannya. Dari musuhnya,
dalam arti untuk menghindari dari ‘cing’
alias perasaan dimusuhi. Dari kawannya, untuk menghindari ‘cim’ alias ditandai untuk digadang-gadang dalam tujuan tertentu.
Saya pernah mengalaminya. Waktu SMA dulu, secara tidak sadar
saya ibarat pesawat jet yang terbang terlalu tinggi. Pada saat yang bersamaan,
saya dicim sekaligus dicing. Yang mengecim saya adalah kakak kelas yang memiliki visi dan misi yang
sama dalam organisasi. Bagi mereka, saya termasuk orang yang mereka cari-cari
untuk meneruskan kaderisasi. Yang mengecing saya adalah teman-teman satu
organisasi, di luar organisasi, bahkan guru-guru yang tidak suka dengan apa
yang kami lakukan. Mereka lah yang menjauhi, memusuhi, bahkan mencoba membatasi
setiap langkah yang akan kami lalui.
Hm, rasanya memang tidak menyenangkan. Ketika sang kakak
kelas berapi-api menyelipkan dogma-dogma untuk ini itu. Membuat kami terbakar
dan akhirnya terbang makin tinggi. Di satu sisi, teman-teman lain mulai
menjauhi, bahkan guru-guru tak suka sampai-sampai ada guru yang mengurangi nilai
segala.
Analogi yang disampaikan teman saya sepertinya ada benarnya.
Orang yang terbang terlalu tinggi tentunya akan lebih mudah untuk dipantau.
Bagaimana tidak. Dia dengan sendirinya sudah berada di atas permukaan. Tanpa
mencari pun, dia sudah terlihat dengan sendirinya. Sedangkan orang yang terbang
rendah, memang cenderung aman. Dia terlindung di balik ratusan orang yang lain.
Sehingga orang tidak mudah menemukan jika tidak benar-benar mencari dengan
teliti.
Dari analogi ini, maupun dari pengalaman saya sendiri, ada
sesuatu yang menyadarkan saya. Sejatinya, dalam hidup ini kita selalu diintai
oleh dua mata, terlepas dari mata Allah yang memang Maha Melihat. Mata pertama
adalah mata yang akan membumbung kita. Melihat kita dari kaca mata positif. Mungkin
inilah kaca mata orang yang mengagumi kita. Mata kedua adalah mata yang mencari
kejelekan kita. Selalu mencari dan melihat keburukan kita.
Apakah karena mata pertama mencari kebaikan dan mata kedua
mencari keburukan maka mata pertama baik dan mata kedua buruk? Bagi saya, tidak
juga.
Mata pertama juga buruk karena dia memandang terlalu tinggi.
Mata ini cenderung buruk karena dia mengharap kesempurnaan dari pesawat jet
yang diintainya, tanpa mau tahu kelemahan dan keburukan yang mungkin ada.
Parahnya, ketika ada kelemahan bukan tak mungkin dia akan mencampakkan pesawat
jet itu dan mencari pesawat jet lain yang bisa mengusung visi misi lebih
tinggi.
Mata kedua juga bisa baik mapun buruk. Buruk jika dia
mencari kesalahan demi menjatuhkan. Berusaha agar pesawat jet yang terbang
tinggi itu terlihat begitu banyak kekurangan dan turun dengan sendirinya. Tapi
jika dilihat sisi positifnya, mata ini juga bisa menjadi bibit yang baik. Dari
kacamata pesawat jet, apa yang terlihat buruk bisa menjadi modal untuk terus
memperbaiki diri.
Satu yang pasti. Mata memiliki keterbatasan. Dia banyak
salah memandang. Sesuatu yang baik belum tentu semuanya baik. Sesuatu yang
buruk, tidak selamanya murni buruk. Maka, mari bersifat objektif. Tak perlu
terlalu mengagumi, tak perlu terlalu membenci.
No comments:
Post a Comment