Follow Us @soratemplates

Tuesday, 6 September 2011

Reporter Repoter



Apa yang terbayang ketika mendengar kata kuli? Barangkali yang ada di awang-awang adalah orang yang kerja keras ke sana ke mari mengusung barang-barang. Rasanya kata kuli memang identik dengan pekerjaan yang berat. Benar-benar kerja kasar. Nah, kalau kuli tinta? Apakah seberat dan sekasar itu juga?

Saya merasakannya. Sebenarnya saya sudah pernah menjadi reporter waktu SD dan SMP. Waktu SD didaulat sebagai wartawan cilik sekolah. Tugasnya masih ringan saja, malah cenderung menyenangkan. Setiap anak-anak SD mengadakan kegiatan, baik itu kelas berapapun dan kunjungan ke manapun, saya dan teman saya yang jadi reporter pasti diajak. Kami jadi sering jalan-jalan. Tapi tugas kami masih sederhana. Cukup membuat laporan kegiatannya saja, atau sediki wawancara dengan guru yang bertugas sebagai pendamping acaranya. Tentu saja mudah. Toh guru sendiri, kalau salah bisa diedit oleh guru sendiri.

Waktu SMP pun begitu. Saya kepepet jadi reporter bulletin dakwah di salah satu organisasi islam. Tugasnya juga masih ringan saja, mengikuti kegiatan yang ada, menanyai komentar pesertanya, bertanya sedikit pada penyelenggara. Berhubung penyelenggara dan pesertanya juga teman seorganisasi sendiri, wawancara pun menjadi hal yang biasa saja.

Nah, kali ini agar berbeda. Saya mulai sedikit merasakan bagaimana repotnya jadi reporter. Kali ini harus mencari target sendiri, harus menemui sendiri, dan berhubung bukan orang-orang terdekat, kesan wawancaranya pun jadi sedikit berbeda. Belum lagi jika target yang diincar tidak ada, repot mencari target selanjutnya. Cara bertanya pun juga harus diperhatikan, karena tak bisa seenak perut seperti pengalaman sebelumnya. Kalau pertanyaan tak mendalam, info tak teraih. Belum tentu bisa tanya-tanya secara informal untuk melengkapi informasi yang ada. Nah, repot kan.

Tapi sebenarnya kerepotan ini adalah suatu hal yang memang harus dilakukan. Istilahnya adalah perjuangan. Kalau tidak mau repot, pasti infonya yang didapat hanya sedikit. Kalau tidak mau berjuang, jangan menyalahkan jika hasil yang didapat tidak memuaskan.

Bagi saya pribadi, seorang reporter yang repot tak semata-mata hanya terpatri pada diri para kuli tinta majalah, surat kabar, atau berbagai media. Seorang dokter pun sejatinya adalah seorang reporter. Mengapa? Karena hal pertama yang dilakukan seorang dokter ketika pasien datang adalah melakukan anamnesis, sebuah wawancara untuk mengetahui keluhan pasiennya. Kalau dokter tidak mau repot, informasi keluhan belum tentu bisa diketahui semua. Dampaknya, bisa jadi dokter itu salah mendiagnosis. Ujung-ujungnya salah memberikan terapi. Padahal, anamnesis sudah menentukan 70% diagnosis. Nah lo…

Ketrampilan mengorek informasi memang suatu hal yang penting. Sebagai manusia pembelajar pun ketrampilan ini sebaiknya dimiliki. Ketika menerima sebuah ilmu, orang yang cenderung ingin mengorek informasi akan mengejar dengan terus bertanya. Kalaupun tak bisa, ia akan semangat untuk browsing demi memuaskan rasa ingin tahunya. Hm, tak ada bedanya dengan reporter yang repot itu kan.

Begitulah. Rasanya menjadi seorang pengejar informasi atau pengejar ilmu tetap harus melalui proses repot. Ini semata-mata untuk menyempurnakan informasi dan ilmu yang ia peroleh. So, menjadi reporter yang repot(er)? Tak masalah…

No comments:

Post a Comment