Apa yang terbayang ketika mendengar kata kuli? Barangkali yang ada di awang-awang adalah orang yang kerja keras ke sana ke mari mengusung barang-barang. Rasanya kata kuli memang identik dengan pekerjaan yang berat. Benar-benar kerja kasar. Nah, kalau kuli tinta? Apakah seberat dan sekasar itu juga?
Saya merasakannya. Sebenarnya saya sudah pernah menjadi
reporter waktu SD dan SMP. Waktu SD didaulat sebagai wartawan cilik sekolah.
Tugasnya masih ringan saja, malah cenderung menyenangkan. Setiap anak-anak SD
mengadakan kegiatan, baik itu kelas berapapun dan kunjungan ke manapun, saya
dan teman saya yang jadi reporter pasti diajak. Kami jadi sering jalan-jalan.
Tapi tugas kami masih sederhana. Cukup membuat laporan kegiatannya saja, atau
sediki wawancara dengan guru yang bertugas sebagai pendamping acaranya. Tentu
saja mudah. Toh guru sendiri, kalau salah bisa diedit oleh guru sendiri.
Waktu SMP pun begitu. Saya kepepet jadi reporter bulletin
dakwah di salah satu organisasi islam. Tugasnya juga masih ringan saja,
mengikuti kegiatan yang ada, menanyai komentar pesertanya, bertanya sedikit
pada penyelenggara. Berhubung penyelenggara dan pesertanya juga teman
seorganisasi sendiri, wawancara pun menjadi hal yang biasa saja.
Nah, kali ini agar berbeda. Saya mulai sedikit merasakan
bagaimana repotnya jadi reporter. Kali ini harus mencari target sendiri, harus
menemui sendiri, dan berhubung bukan orang-orang terdekat, kesan wawancaranya
pun jadi sedikit berbeda. Belum lagi jika target yang diincar tidak ada, repot
mencari target selanjutnya. Cara bertanya pun juga harus diperhatikan, karena
tak bisa seenak perut seperti pengalaman sebelumnya. Kalau pertanyaan tak
mendalam, info tak teraih. Belum tentu bisa tanya-tanya secara informal untuk
melengkapi informasi yang ada. Nah, repot kan.
Tapi sebenarnya kerepotan ini adalah suatu hal yang memang
harus dilakukan. Istilahnya adalah perjuangan. Kalau tidak mau repot, pasti
infonya yang didapat hanya sedikit. Kalau tidak mau berjuang, jangan
menyalahkan jika hasil yang didapat tidak memuaskan.
Bagi saya pribadi, seorang reporter yang repot tak
semata-mata hanya terpatri pada diri para kuli tinta majalah, surat kabar, atau
berbagai media. Seorang dokter pun sejatinya adalah seorang reporter. Mengapa?
Karena hal pertama yang dilakukan seorang dokter ketika pasien datang adalah
melakukan anamnesis, sebuah wawancara untuk mengetahui keluhan pasiennya. Kalau
dokter tidak mau repot, informasi keluhan belum tentu bisa diketahui semua.
Dampaknya, bisa jadi dokter itu salah mendiagnosis. Ujung-ujungnya salah
memberikan terapi. Padahal, anamnesis sudah menentukan 70% diagnosis. Nah lo…
Ketrampilan mengorek informasi memang suatu hal yang
penting. Sebagai manusia pembelajar pun ketrampilan ini sebaiknya dimiliki.
Ketika menerima sebuah ilmu, orang yang cenderung ingin mengorek informasi akan
mengejar dengan terus bertanya. Kalaupun tak bisa, ia akan semangat untuk
browsing demi memuaskan rasa ingin tahunya. Hm, tak ada bedanya dengan reporter
yang repot itu kan.
Begitulah. Rasanya menjadi seorang pengejar informasi atau
pengejar ilmu tetap harus melalui proses repot. Ini semata-mata untuk
menyempurnakan informasi dan ilmu yang ia peroleh. So, menjadi reporter yang
repot(er)? Tak masalah…
No comments:
Post a Comment