Ada sebuah percakapan menarik antara saya dan kawan saya
tadi siang. Waktu itu kami sedang sama-sama galau mencari tema untuk sebuah
karya tulis. Meski berbeda tim, saya asal nimbrung saja. Melihat saya
enak-enakan dan malah asyik nimbrung, teman saya berkomentar.
“Pasti karya tulisnya udah selesai.”
Saya hanya menjawab, “Belum kok, masih ngambang di
permukaan.”
Teman saya yang lain berkomentar, “Lha kita malah masih
tenggelam.”
Saya nyeletuk, “Ya bagus no. Berarti kan mengendap. Ilmunya
udah benar-benar mengendap di otak.”
Teman saya tak mau kalah, “Lha dirimu malah udah ngambang.
Berarti habis mengendap, ilmunya udah siap di permukaan.”
Selanjutnya, kami pun hanya saling bersilat lidah untuk
menentukan mana yang lebih baik antara mengambang dan tenggelam.
Karena obrolan kami ‘tak jelas’, teman saya pun berkomentar,
“Yang lebih baik adalah mentas.”
Saya langsung membantah, “Kalau dalam hal mengatasi masalah,
mentas justru terkesan melarikan diri
dari masalah,” Hm…, panjang sudah urusannya.
Oke, saya hanya akan menguatkan argumen saya saja. Tentang
mengambang, tenggelam, dan mentas jika dilihat dari sudut pandang masalah.
Jika kita berguru pada teori fisika (duh, sejatinya saya lupa rumusnya) , pada awalnya suatu benda akan
mengambang di permukaan. Begitu berat jenisnya lebih berat, dia akan tenggelam.
Tetapi suatu waktu, dia akan kembali ke permukaan.
Begitu juga dalam hal menghadapi masalah. Pada awalnya,
masalah datang dan mengambang di pikiran kita. Entah itu berupa perasaan galau,
atau sekedar kita tidak ingin terlalu memikirkannya. Lama-kelamaan, bukan tak
mungkin masalah yang sekiranya dianggap sepele itu akan menjadi hal yang berat.
Mau tak mau, kita pun akan mengendapkan masalah tersebut.
Mengendap di sini bisa memiliki dua makna. Mengendap bisa
dalam arti kita benar-benar memikirkan masalah tersebut. Segala aspek kita
pikirkan hingga otak dan hati kita benar-benar tercurah untuk menemukan
solusinya. Tetapi mengendap bisa dalam arti kita menguburnya dalam-dalam. Menyembunyikannya dalam lapisan tanah terdalam sehingga masalah tersebut tak
lagi Nampak di permukaan.
Jika mengendap dalam arti mengubur, habis sudah perkara.
Masalah ‘selesai’. Selesai dalam arti tak terselesaikan. Tapi jika mengendap
tadi adalah dalam rangka memfokuskan diri untuk mencari solusi, maka suatu saat
kita akan kembali muncul ke permukaan. Untuk apa? Untuk menawarkan solusi kita,
untuk benar-benar menyelesaikan masalah kita.
Kalau sudah di permukaan dalam rangka menyelesaikan perkara,
selanjutnya bisa saja kita mentas
dari samudra masalah. Kita akan melenggang dengan bahagia keluar dari
permasalahan yang mendera. Di sini adalah mentas
dalam konotasi yang baik. Tapi, mentas
juga bisa berarti buruk. Misalnya ketika kita tak menemukan solusi, lalu
memilih untuk mentas saja dari
samudra masalah. Di sini yang ada justru kesan melarikan diri.
Hm, ini sekedar iseng saja memaparkan bagaimana sikap manusia ketika harus mengarungi samudra
masalah. Apakah tidak menggubrisnya dengan tidak mau terjun alias tetap di
permukaan, memilih terjun dan menemukan solusi, memendamnya untuk mengakhiri,
kembali ke permukaan untuk menyelesaikan, atau justru lari tanpa solusi. Apapun
itu, yang pasti masalah akan tetap datang dan harus dihadapi. Mau menghadapi
dengan cara apa, itu terserah Anda.
No comments:
Post a Comment