Sebagai mahasiswa, tak jarang meributkan masalah IP dan IPK. Siapa sih yang tidak mau dapat IP cumlaude? Pasti semua mau.
Memang, IP cenderung dinyatakan sebagai barometer
keberhasilan belajar seorang mahasiswa. Orang dengan IP tinggi memang cenderung
sukses belajarnya. Tapi, saya pribadi sebenarnya tidak setuju.
Saya tertarik waktu membaca artikel di blog teman saya. Dia
menceritakan ketika dia ujian praktek ada dosen yang mengomentarinya sebagai ‘dokter
penghafal’. Lulus sih lulus, sesuai teori sih sesuai teori. Tapi persis sama
dan benar-benar terlihat seperti menghafal. Nah, di sini yang saya tidak
setuju. Jikalau keberhasilan suatu ujian atau IP tinggi hanya didapat dengan
cara menghafal, rasanya kok dangkal sekali.
Saya jadi teringat film 3 idiot. Si silencer yang penghafal
saklek nyatanya tetap kalah dengan Rancho yang aplikatif sejati. Bahkan tabiat
silencer yang menggunakan prinsip yang penting hafal, nyatanya justru menjadi
aib karena tidak memahami apa yang dihafalkannya. Sungguh berbeda jika kita
bisa memahaminya. Meski redaksi katanya tidak sama, makna yang ingin
disampaikan tetap akan bisa diterima.
Maka, bagi saya IPK cumlaude belum menjadi sebuah jaminan.
Bagi para aktivis organisasi, tak jarang mereka menggembor-gemborkan tentang
pentingnya soft skills dibandingkan semata-mata hard skills. Daripada belajar
melulu tanpa tahu dunia luar, lebih enak melihat indahnya dunia asal tetap
tanggung jawab pada belajarnya.
Saya juga teringat dengan komentar kakak tingkat saya. Dia
adalah orang yang hidupnya tak semata-mata fokus pada kuliah saja. Organisasi
tetap jalan, aktivitas ilmiah tetap enjoy, andil asisten pun dia lakoni. IP-nya
tidak cumlaude. Tapi nyatanya dia diakui. Berbeda dengan seseorang yang IPK-nya
sempurna. Sampai-sampai dilirik untuk menjadi dosen selepas sarjana. Tapi,
ternyata banyak kendalanya. Dia tak pandai menjelaskan. Tak pandai
berkomunikasi dan membagi ilmunya dengan orang sekitar. Hm, kalau begini jadi
terkesan pintar untuk dirinya sendiri.
Saya sendiri sering heran dengan teman-teman saya. Beberapa
teman yang IP-nya cumlaude justru lebih rewel dibandingkan teman lainnya. IP
segitu bagi mereka masih buruk. Saya juga sering takjub melihat teman saya yang
hidupnya begitu terpaku pada kuliah. Sehari-hari mengejar kesempurnaan nilai
ujian. Begitu remidi, frustasinya bukan kepalang. Tak ada cumlaude, mendadak
jadi kemelut. Hm, lha wong saya yang IP sedang-sedang saja, dan kadang ikut
mendapat kehormatan remidi tetap tenang-tenang saja.
Memang, definisi keberhasilan belajar tiap orang
berbeda-beda. Semua tergantung paradigmanya. Belum lagi jika terpengaruh dengan
sudut pandang orang tuanya. Misalkan orang tua menganggap nilai atau IP
merupakan ukuran kecerdasan anaknya, bukan tak mungkin anak akan mengejar nilai
mati-matian. Nah, kalau semata-mata nilai inilah, bisa-bisa segala cara
dihalalkan. Asal nilai bagus, kebut semalam tak masalah, contek kiri kanan tak
masalah, dan lain sebagainya.
Jarang sekali yang memiliki paradigma ujian benar-benar
untuk menguji proses belajarnya. Sehingga dia akan belajar sungguh-sungguh
untuk memahami ilmunya. Lalu mengikuti ujian untuk mengetahui apakah
pemahamannya sudah sesuai standar dan layak dikatakan menguasai ilmu tersebut.
Kalau nilainya bagus, berarti dia memang benar-benar paham. Kalau nilainya
buruk, berarti ada hal lain yang harus dia kuasai. Bukankah lebih enak begitu?
Sayangnya, sudut pandang ini memang sulit. Mungkin bagi
teman-teman yang begitu semangat belajar, cara berpikir ini terkesan santai dan
tidak gigih belajar. Menurut saya tidak juga. Justru karena paradigmanya adalah
ingin menguasai ilmu dan tidak semata-mata mencari nilai, maka dia akan rutin
belajar. Tak akan memiliki rasa lelah untuk belajar, akan selalu mencari
jawaban dari segala rasa ingin tahunya. Meski perlahan dan lama, tapi dia akan
tetap sabar untuk memenuhi rasa haus akan keingintahuannya. Bukankah ini lebih
baik daripada sekedar menadah setiap perkataan dosen atau teori di buku lantas
menghafalnya persis sama agar jawaban di ujian juga benar-benar sama?
Yah, itu bagi saya.
Seperti di film 3 idiot. Manusia bukanlah robot penghafal, dan dunia di luar
sana tidak butuh robot. Dunia butuh manusia, yang mau belajar dan bisa
mengaplikasikan ilmunya. Buat apa lulusan cumlaude tapi tak punya skills. Persis
seperti yang dikhawatirkan salah satu pakar pendidikan di bukunya. Universitas
hanyalah pencetak orang-orang berpendidikan tanpa ketrampilan. Sungguh
disayangkan. Mengapa? Karena mayoritas terpaku pada nilai semata, tanpa ada
fokus pada ilmu dan pengembangannya. Akan begitukah seterusnya?
Tentu saja tidak. Semoga tidak. Maka, marilah sedikit kita
ubah paradigma. Seberapapun IP-nya asal menguasai ilmu dan bisa mengaplikasikannya,
itu lebih baik. Jadi, mau cumlaude atau tidak, asal ilmu dipahami dan diamalkan
tak akan ada lagi istilah kemelut. Insya Allah…
Bung...itulah sebabnya dipisahkan antara IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosional). Cum Laude berarti pencapaian kecerdasan intelektual yang tinggi dan kemampuan bersosialisasi yang tinggi berarti cerdas secara emosi. Gabungan keduanya akan membuat individu tersebut menjadi orang sukses. Dimanakah posisi anda?
ReplyDeleteBismillah semoga bisa mengintegrasikan IQ, EQ, dan SQ
ReplyDelete