Follow Us @soratemplates

Sunday, 4 September 2011

Cumlaude atau Kemelut


Sebagai mahasiswa, tak jarang meributkan masalah IP dan IPK. Siapa sih yang tidak mau dapat IP cumlaude? Pasti semua mau.

Memang, IP cenderung dinyatakan sebagai barometer keberhasilan belajar seorang mahasiswa. Orang dengan IP tinggi memang cenderung sukses belajarnya. Tapi, saya pribadi sebenarnya tidak setuju.
Saya tertarik waktu membaca artikel di blog teman saya. Dia menceritakan ketika dia ujian praktek ada dosen yang mengomentarinya sebagai ‘dokter penghafal’. Lulus sih lulus, sesuai teori sih sesuai teori. Tapi persis sama dan benar-benar terlihat seperti menghafal. Nah, di sini yang saya tidak setuju. Jikalau keberhasilan suatu ujian atau IP tinggi hanya didapat dengan cara menghafal, rasanya kok dangkal sekali.

Saya jadi teringat film 3 idiot. Si silencer yang penghafal saklek nyatanya tetap kalah dengan Rancho yang aplikatif sejati. Bahkan tabiat silencer yang menggunakan prinsip yang penting hafal, nyatanya justru menjadi aib karena tidak memahami apa yang dihafalkannya. Sungguh berbeda jika kita bisa memahaminya. Meski redaksi katanya tidak sama, makna yang ingin disampaikan tetap akan bisa diterima.

Maka, bagi saya IPK cumlaude belum menjadi sebuah jaminan. Bagi para aktivis organisasi, tak jarang mereka menggembor-gemborkan tentang pentingnya soft skills dibandingkan semata-mata hard skills. Daripada belajar melulu tanpa tahu dunia luar, lebih enak melihat indahnya dunia asal tetap tanggung jawab pada belajarnya.

Saya juga teringat dengan komentar kakak tingkat saya. Dia adalah orang yang hidupnya tak semata-mata fokus pada kuliah saja. Organisasi tetap jalan, aktivitas ilmiah tetap enjoy, andil asisten pun dia lakoni. IP-nya tidak cumlaude. Tapi nyatanya dia diakui. Berbeda dengan seseorang yang IPK-nya sempurna. Sampai-sampai dilirik untuk menjadi dosen selepas sarjana. Tapi, ternyata banyak kendalanya. Dia tak pandai menjelaskan. Tak pandai berkomunikasi dan membagi ilmunya dengan orang sekitar. Hm, kalau begini jadi terkesan pintar untuk dirinya sendiri.

Saya sendiri sering heran dengan teman-teman saya. Beberapa teman yang IP-nya cumlaude justru lebih rewel dibandingkan teman lainnya. IP segitu bagi mereka masih buruk. Saya juga sering takjub melihat teman saya yang hidupnya begitu terpaku pada kuliah. Sehari-hari mengejar kesempurnaan nilai ujian. Begitu remidi, frustasinya bukan kepalang. Tak ada cumlaude, mendadak jadi kemelut. Hm, lha wong saya yang IP sedang-sedang saja, dan kadang ikut mendapat kehormatan remidi tetap tenang-tenang saja.

Memang, definisi keberhasilan belajar tiap orang berbeda-beda. Semua tergantung paradigmanya. Belum lagi jika terpengaruh dengan sudut pandang orang tuanya. Misalkan orang tua menganggap nilai atau IP merupakan ukuran kecerdasan anaknya, bukan tak mungkin anak akan mengejar nilai mati-matian. Nah, kalau semata-mata nilai inilah, bisa-bisa segala cara dihalalkan. Asal nilai bagus, kebut semalam tak masalah, contek kiri kanan tak masalah, dan lain sebagainya.

Jarang sekali yang memiliki paradigma ujian benar-benar untuk menguji proses belajarnya. Sehingga dia akan belajar sungguh-sungguh untuk memahami ilmunya. Lalu mengikuti ujian untuk mengetahui apakah pemahamannya sudah sesuai standar dan layak dikatakan menguasai ilmu tersebut. Kalau nilainya bagus, berarti dia memang benar-benar paham. Kalau nilainya buruk, berarti ada hal lain yang harus dia kuasai. Bukankah lebih enak begitu?

Sayangnya, sudut pandang ini memang sulit. Mungkin bagi teman-teman yang begitu semangat belajar, cara berpikir ini terkesan santai dan tidak gigih belajar. Menurut saya tidak juga. Justru karena paradigmanya adalah ingin menguasai ilmu dan tidak semata-mata mencari nilai, maka dia akan rutin belajar. Tak akan memiliki rasa lelah untuk belajar, akan selalu mencari jawaban dari segala rasa ingin tahunya. Meski perlahan dan lama, tapi dia akan tetap sabar untuk memenuhi rasa haus akan keingintahuannya. Bukankah ini lebih baik daripada sekedar menadah setiap perkataan dosen atau teori di buku lantas menghafalnya persis sama agar jawaban di ujian juga benar-benar sama?

Yah, itu bagi saya. Seperti di film 3 idiot. Manusia bukanlah robot penghafal, dan dunia di luar sana tidak butuh robot. Dunia butuh manusia, yang mau belajar dan bisa mengaplikasikan ilmunya. Buat apa lulusan cumlaude tapi tak punya skills. Persis seperti yang dikhawatirkan salah satu pakar pendidikan di bukunya. Universitas hanyalah pencetak orang-orang berpendidikan tanpa ketrampilan. Sungguh disayangkan. Mengapa? Karena mayoritas terpaku pada nilai semata, tanpa ada fokus pada ilmu dan pengembangannya. Akan begitukah seterusnya?

Tentu saja tidak. Semoga tidak. Maka, marilah sedikit kita ubah paradigma. Seberapapun IP-nya asal menguasai ilmu dan bisa mengaplikasikannya, itu lebih baik. Jadi, mau cumlaude atau tidak, asal ilmu dipahami dan diamalkan tak akan ada lagi istilah kemelut. Insya Allah…

2 comments:

  1. Bung...itulah sebabnya dipisahkan antara IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosional). Cum Laude berarti pencapaian kecerdasan intelektual yang tinggi dan kemampuan bersosialisasi yang tinggi berarti cerdas secara emosi. Gabungan keduanya akan membuat individu tersebut menjadi orang sukses. Dimanakah posisi anda?

    ReplyDelete
  2. Bismillah semoga bisa mengintegrasikan IQ, EQ, dan SQ

    ReplyDelete