Bersama indah mentari
Kulalui hari ini
Dengan hati berseri
(Damai by Wayang)
Ada yang tahu lagi di atas? Yup, itu memang lagu lama. Bisa dibilang saya suka dengan lagu ini. Biasanya saya secara refleks akan menyenandungkan lagu ini jika di pagi hari suasana begitu indah, langit begitu cerah, udara begitu segar. Benar-benar damai dan membuat hati menjadi berseri.
Nah, di sini saya tidak bermaksud akan bercerita tentang damainya pagi. Justru sebaliknya, saya ingin bercerita tentang tidak damainya suatu pagi. Pagi itu adalah suatu pagi beberapa hari yang lalu. Seperti biasa, saya akan keluar dari rumah untuk menyapu jalan di pagi hari. Berhubung Ramadhan (ups, seharusnya tidak boleh dijadikan alasan), saya menyapu agak kesiangan. Sudah hampir setengah tujuh pagi ketika saya membuka pintu gerbang saat itu. Begitu saya keluar, saya terbatuk-batuk. Udara pagi ini sangat tidak bersahabat. Apa gerangan?
Sepagi itu, sudah ada kepulan asap yang membumbung ke angkasa. Sisa-sisa hasil pembakaran serasa merajai udara. Rupanya ada seorang tetangga saya yang membakar sampah sepagi itu. Selama proses menyapu, saya hanya terbatuk-batuk sambil mencoba menutup hidung dengan ujung kerudung. Sejujurnya, dalam hati saya kesal sekali.
Lantas saya berpikir. Hm, hanya karena tidak bisa menghirup udara segar seperti biasanya saja saya sudah rewelnya minta ampun. Bagaimana kalau saya tidak bisa menghirup udara sama sekali? Yang tercemar tak bisa, apalagi yang segar. Bagaimana kalau itu terjadi?
Saya jadi teringat tugas yang diberikan oleh bapak saya. Bapak meminta saya untuk mencari sumber tentang biaya untuk hidup manusia. Bukan biaya hidup dalam arti sandang, pangan, atau papan. Tapi, biaya yang sekiranya harus kita bayar seandainya hidup kita ini tidak gratis. Salah satu biaya itu adalah hirupan nafas kita.
Sekali bernafas, umumnya setiap manusia memerlukan 0,5 liter udara. Padahal dalam satu menit, manusia normalnya bernafas sekitar 20 kali. Berarti udara yang dibutuhkan sebanyak 10 liter/menit dan dalam sehari setiap manusia akan memerlukan 14.400 liter udara/hari.
Udara itu sendiri adalah suatu komponen yang kompleks. Ada oksigen, ada nitrogen, dan gas-gas lainnya. Perbandingan oksigen dan nitrogen di udara kurang lebih 20% dan 79%. Kalau kita anggap dalam satu hirupan nafas kita sehari tadi perbandingan oksigen dan nitrogen sama, berarti kita menghirup 2880 liter oksigen per hari, dan nitrogen 11.376 liter per hari. Padahal harga oksigen per liternya Rp25.000,00 dan harga nitrogen per liternya Rp9.950,00. Lalu berapa kita harus bayar? Rp176.652.165,00 dalam sehari. Seratus tujuh puluh enam juta, kawan. Dari mana kita bisa membayar itu setiap harinya?
Hm, untunglah udara masih menjadi hal yang gratis. Entah, saya tak bisa membayangkan jika untuk bernafas saja kita harus membayar. Sungguh, Allah benar-benar maha Pemurah. Dia telah memberikan segalanya pada kita. Kita sudah diberikan udara dengan Cuma-Cuma. Tak perlu membayar ratusan juta tiap harinya. Bukankah Allah sungguh maha Pemurah?
Lalu, apa yang kita lakukan? Sayangnya tak banyak yang menyadari itu. Hidup masih menjadi hal yang sia-sia. Tak menyadari kemurahan yang telah Allah berikan. Bahkan tak jarang, manusia tak tahu diri menuntut ini itu pada-Nya. Menggugat ini itu jika pintanya tak terkabulkan. Etis kah?
Sungguh, harusnya kita malu pada-Nya. Malu dengan kemurahan-Nya yang kita balas dengan pembangkangan kita. Sudah sepantasnya kita bersyukur, sudah sepantasnya kita beribadah pada-Nya. Semoga segala nikmat yang ada ini tidak menjadi sia-sia.
*terima kasih pada tetanggaku yang telah membakar sampah pagi-pagi hingga membuatku menyadari akan hal ini
No comments:
Post a Comment