Follow Us @soratemplates

Friday, 12 August 2011

Balada Seorang Imam

Bagi kami para wanita, selalu saja ada keributan kecil ketika akan sholat berjama’ah. Keributan apakah gerangan? Keributan untuk menentukan siapa yang akan menjadi imam. Sepele sepertinya. Tapi nyatanya, sejak saya SD sampai segedhe ini, keributan ini tetap saja sering terjadi. Entah mengapa, rata-rata dari kami agak susah jika diminta menjadi imam.

Waktu kecil, urusan ini bisa diselesaikan dengan mudah saja. Kami akan hompimpa, mengundi siapa yang kalah. Kalau kalah, suka atau tidak suka, dia harus menjadi imam. Habis perkara. Tapi di usia ‘setua’ ini, plus tahu tak bolehnya mengundi nasib macam hompimpa, urusan ini menjadi perkara yang tak bisa segera reda.

Kejadian ini paling sering saya alami ketika saya main ke salah satu kos teman saya. Di sana ada beberapa teman satu angkatan saya. Di awal-awal kebiasaan saya main ke sana, entah mengapa teman-teman kos saya itu punya aturan unik. Seorang tamu mendapat kehormatan menjadi imam. Hah, ada-ada saja. Awalnya saya nurut, tapi lama-lama saya jadi ikut-ikutan berdebat tak mau jadi imam.

Lalu ada peraturan baru. Siapa yang paling akhir wudhu akan menjadi imam. Soalnya setiap selesai wudhu, mereka akan berebut ‘ngetag’ tempat mulai dari masing-masing ujung kiri dan kanan. Mau tak mau, siapa yang paling akhir wudhu akan mendapat posisi di tengah. Dan yang paling tengah, itulah yang menjadi imam. Mau menolak seperti apa, yang lain tak mau menggubris. Toh, mereka semua sudah mendapat tempat strategis untuk menjadi makmum. Salah sendiri tidak segera wudhu, begitu kata mereka. Hm, penyelesaian yang agak menyebalkan memang.

Tapi, trik ini ternyata tidak serta merta berhasil. Kami yang sudah terbiasa memakai trik ‘isi ujung dulu’, ternyata kalah dengan trik baru. Trik ini dipraktikkan oleh teman saya saat kami bertiga main ke Jember dulu.

Waktu itu, sebenarnya kami sudah membuat keputusan bijak biar tidak ada urusan rebutan tidak mau jadi imam. Kami akan giliran jadi imam. Tiap kesempatan jama’ah bertiga, kami harus rela bergiliran untuk menjadi imam. Entah mengapa, kebetulan saja saya selalu kebagian jatah menjadi imam di saat sholat Dhuhur atau Ashar yang tidak perlu mengerasakan bacaan. Kedua teman saya sedikit ngambek karena itu.

Lalu, satu kasus muncul. Waktu itu sholat Subuh dan bukan giliran saya yang jadi imam. Sholat kali ini teman kedua saya yang bertugas menjadi imam. Karena teman pertama saya sedang tidur dan susah dibangunkan, jadinya kami jama’ah berdua saja. Belum lama kami selesai sholat, tiba-tiba masjid di dekat hotel mengumandangkan adzan. Kami bingung, ternyata suara-suara dari masjid di awal tadi adalah dzikir-dzikir saja dan belum masuk waktu Shubuh.

Jadilah, kami harus mengulang sholat kami. Tapi berhubung teman kedua saya itu tidak mau jadi imam lagi dan urutan selanjutnya bukan saya, teman kedua saya itu membangunkan teman saya yang pertama. Teman pertama saya jelas tidak terima ketika bangun-bangun langsung disuruh jadi imam. Sesuai perhitungan, dia akan jadi imam waktu Dhuhur atau Ashar nanti. Akhirnya terjadilah keributan di antara mereka berdua.

Teman pertama langsung langsung buru-buru wudhu dan berniat memakai trik ‘isi ujung dulu’. Dia langsung menempatkan diri di ujung kiri, sedangkan saya dari tadi tidak beranjak dari ujung kanan. Melihat kami yang sudah stand by, teman kedua saya tetap tidak mau jadi imam. Adu mulutlah antara teman saya yang pertama dan kedua. Tapi, teman kedua saya tiba-tiba meluncurkan trik cerdas.

Meski dia belum menempatkan diri di tengah-tengah kami, dengan santainya dia bersuara, “Allahuakbar allahuakbar asyhadu alla ila haillalah.” What? Teman saya mengumandangkan iqamah. Saya dan teman pertama saya jelas kaget. Apalagi teman saya. Wajahnya kusut, merasa kalah trik. Mau tidak mau, teman saya yang pertama tadi tak punya alasan untuk mengelak lagi.

Beberapa waktu sholat berlalu, kejadian itu berulang lagi. Lagi-lagi, bukan giliran saya dan yang bermasalah adalah giliran dari kedua teman saya. Biar teman saya tidak kalah lagi saat adu mulut, saya pun langsung meledek, “Cepetan iqamah!”. Dan teman pertama saya lebih sigap kali ini, hingga akhirnya teman kedua saya kena batunya. Kalah oleh triknya sendiri.

Memang kalau dipikir-pikir, sangat kekanak-kanakan sekali. Apalagi kalau mau dilihat ke tuntunan Rasulullah. Pasti tidak ada cerita begitu. Padahal dalam syariat sudah jelas. Dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Qur’annya [3]. Kalau dalam Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang ajaran Sunnah. Kalau dalam sunnah juga sama, dipilih yang lebih dahulu berhijrah [4]. Kalau dalam berhijrah juga sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “… yang paling tua usianya… [5]” “Janganlah, seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasaannya [6], dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa seizinnya [7].”

Nah lo, sudah jelas kan. Tapi, tetap saja ada alasan. Tetap saja masih suka berbantah-bantahan. Bahkan tak jarang dijadikan sebagai candaan. “Aku kan ga mungkin jadi Imam. Mungkin jadi istrinya Imam?” Gubrak…

Hm, mudah-mudahan lain kali tak terjadi lagi. Mudah-mudahan lain kali penetapan menjadi imam bisa lebih syar’i. Aamiin...

*special untuk teman-temanku yang suka rebutan tidak mau jadi imam. Kangen sholat jama’ah dengan kalian…





No comments:

Post a Comment