Follow Us @soratemplates

Wednesday 13 July 2011

Good Refleks

Adakah yang mengamati sebuah iklan syrup akhir-akhir ini? Sebuah iklan yang dibuat dengan model cerita bersambung. Saya tidak akan membahas mengenai iklannya atau produk yang diiklankan, tapi saya tertarik dengan salah satu adegan di iklan-iklan tersebut. Pada edisi pertama, seorang cucu yang menolak diajak kakeknya berlatih pencak silat tergoda untuk minum syrup. Ketika si cucu hendak meraih satu-satunya gelas yang tersisa di meja, sang kakek menggebrak meja dan menangkap gelas tersebut sehingga si cucu hanya bisa melongo. Pada serial selanjutnya, si cucu menunjukkan kemahirannya bermain botol bekas syrup. Lalu ketika ibunya akan membawa gelas dan syrup, nampan yang beliau bawa tersenggol oleh salah seorang murid pencak silat. Terlempar lah gelas dan botol syrup ke udara. Tapi sang kakek berhasil menangkap gelasnya dan si cucu berhasil menyelamatkan botol syrupnya. Apa yang menarik? Reflexnya. Ya, good reflex.

Menurut saya, reflex adalah suatu hal yang penting, bahkan reflex bisa menjadi salah satu kunci kesuksesan. Dalam hal apapun, dengan profesi apapun. Saya ingat betul teguran dari seorang dosen saya. Waktu itu kelompok saya akan bimbingan skills lab. Karena kami kelompok sepuluh, ruang kelompok kami berada di paling pojok. Mungkin karena terletak paling pojok, ruang kelompok kami ini kurang terawat dibandingkan ruangan yang lain. Karpet yang menutupi lantai agak berdebu di sudut-sudutnya. Beberapa taplak meja atau selimut yang menutupi manekin diletakkan asal-asalan saja. Tapi saat itu, kami semua tidak menyadarinya karena kami disibukkan dengan laporan praktikum yang harus dikumpulkan hari itu juga. Ketika kami asyik saling contek laporan sana sini, dosen pembimbing kami datang. Melihat kami yang tak karuan, dosen kami berkata, “Apa kalian tidak risih dengan ruangan ini? Bagaimana kalian mau jadi dokter yang baik kalau ruangan kotor begini kalian tidak peka dan biasa-biasa saja? Kenapa refleknya ga jalan untuk inisiatif membersihkan?” Saya cukup tertohok saat itu. Sebagai hukuman, kami disuruh membersihkan ruangan itu setelah bimbingan.

Kata-kata dosen saya itu ada benarnya. Bagaimana mau jadi dokter yang baik kalau tidak peka? Saya teringat sebuah film serial berjudul dr.House. Dalam salah satu seri, ada seorang pasien yang datang ke rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan sesuai prosedur, dr.House tidak menemukan adanya kelainan pada pasien tersebut. Beliau meminta agar pasien itu pulang saja. Ketika dr.House mulai meninggalkan pasien tersebut, orang tua dari pasien itu bersikeras kalau anaknya sakit dan sangat terganggu. Perawat pun mencoba bernegosiasi dengan dr.House. Dengan ekspresi malas, dr.House menanggapi keluhan perawat itu. Tiba-tiba secara tak sengaja, dr.House melihat lutut pasien itu reflex bergerak dengan sendirinya. Dr.House yang mulanya tak peduli, lantas mengamatinya. Dan hiperefleks lutut itu terjadi lagi. Ternyata benar, pasien itu memang ‘sakit’. Dan siapa sangka kalau itu justru berkaitan dengan sarafnya. Hm, coba bayangkan. Kalau saja dr.House tidak memiliki instinct dan reflex yang bagus, mana mungkin beliau bisa mendiagnosis kasus pasien tersebut. So, bukankah reflex itu sangat penting.

Ini tidak hanya berlaku untuk dunia medis saja. Untuk seorang penulis, reflex pun cukup berperan. Ketika melihat atau mendengar sesuatu, secara reflex seorang penulis yang peka bisa menjadikannya sebagai sebuah ide untuk membuat tulisan. Profesi lain pun akan lebih bermakna jika reflex ikut dimainkan. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, reflex yang baik juga memiliki dampak yang baik. Misalnya, bisa segera membantu orang lain, bisa cepat tanggap mengatasi risiko, dan masih banyak lagi.

Kenyataannya, tidak semua orang bisa begitu. Banyak orang yang menurut saya kurang terasah refleksnya. Contoh nyata ketika kawan dekat saya jatuh. Saat itu dia sedang memarkir motor. Karena tanahnya agak landai, motornya jatuh dan secara domino menyebabkan motor di sampingnya jatuh. Waktu itu, saya berjarak 2 meter dari teman saya. Saya berlari ke sana. Seorang kakak tingkat yang berada di depan ruang kelas yang berjarak 5 meter dari tempat parkir itu ikut berlari menghampiri teman saya. Anehnya, beberapa teman satu angkatan yang hanya berjarak 2 meter juga tapi dari arah mata angin yang berbeda justru adem-adem saja. Hm…, apakah karena merasa sudah ada yang membantu atau karena memang tidak terusik refleksnya? Saya tidak tahu.

Yah, apapun itu, tak ada salahnya jika kita mengasah reflex kita. Seperti yang saya katakan di awal tadi, reflex bisa jadi merupakan kunci untuk menuju kesuksesan. Jika reflex terasah, setiap peluang akan ditanggapi dengan cepat. Setiap ada kesempatan, orang yang reflexnya terasah akan lebih cepat bertindak. Bisa jadi rejeki dari kesempatan itu jatuh ke orang yang memiliki reflex bagus tadi. Sedangkan orang yang lamban, hanya bisa gigit jari. Ya, karena manusia memang diperintahkan untuk bersegera. Tapi, bagaimana bisa segera jika reflex tumpul dan lamban-lamban saja. Jangan sampai rejeki kita kalah dipatuk ayam, hanya karena reflex kita yang lamban. So, mari kita asah reflex kita.




4 comments:

  1. tapi mba Avi, gmn kalo ada orang yang refleksnya merenung, jd kalo ada kejadian, dia gk segera tanggap, tp malah merenung,
    hehehe...

    ReplyDelete
  2. sebenarnya tergantung kondisinya zah. kalau kondisi secara global, bisa jadi refleks untuk merenung dalam arti mencari hikmah juga baik kok.

    ReplyDelete
  3. oya mbak, about refleks ni ya.. refleks (baca:gerak refleks) bisa menunjukkan kek apa orang itu, contoh ya, kalau refleks dikerjain teman dengan kaki kita dijegal, orang yang kurang baik mungkin akan mengeluarkan nama" hewan d bonbin, pi orang yg insyaAllah baik akan mengucapak suatu yg baik kek inna lillahi gt..

    hhe

    ReplyDelete
  4. ah, ya. betul banget dek.. ^^

    ReplyDelete