Follow Us @soratemplates

Saturday, 2 July 2011

The Power of Kepekso

Kepekso alias terpaksa ternyata mampu menjadi sebuah power untuk mewujudkan sesuatu. Mungkin mayoritas orang akan mengeluh, “Ah, mana enak dipaksa”. Yup, memang dipaksa itu menyebalkan. Guru SMA saya saja menyamakan pemaksaan dengan pemerkosaan. Siswa diperkosa untuk belajar, siswa diperkosa untuk sekolah. Wah, penyangatan yang terlalu menyakitkan untuk kata terpaksa. Padahal, kata terpaksa justru menjadi mula untuk sebuah budaya.

Dalam buku Myelin karya Prof.Rhenald Kasali terdapat 5 rumus unik untuk menciptakan sebuah budaya. Dipaksa – Terpaksa – Bisa – Biasa – Budaya. Nah, memang begitulah adanya. Sekarang, kita contohkan dengan sebuah aktivitas yang belum menjadi budaya untuk semua orang, yaitu menulis.

Banyak teman saya yang berkata pada saya, “ah, saya tidak bisa menulis blog panjang-panjang begitu”. Hm, apakah tulisan saya selalu tulisan yang panjang-panjang? Tidak juga. Awalnya saya pun hanya menulis satu dua paragraph saja. Kalau memang mau membudayakan menulis, misalnya menulis blog, maka kita harus dipaksa untuk melakukannya. Saya pun mengalami proses ini. Dipaksa oleh tuntutan pribadi saya sendiri untuk bisa membuat blog saya hidup. So, carilah suatu hal yang akan terus memaksa Anda untuk melakukan sesuatu.

Tahapan yang kedua adalah terpaksa. Kalau paksaan pada tahap pertama sangat kuat, kita akan terus dipaksa untuk melakukan aktivitas itu. Kalau paksaan itu ibarat sebuah rayuan, tentu kita merasa melambung dan melaksanakannya tanpa beban. Tapi seandainya sekali waktu keadaan untuk melakukan aktivitas itu sangat sulit, kita akan merasakan suatu tahap yang dinamakan terpaksa. Mau bagaimanapun situasinya, tuntutan dari pihak pemaksa tak mau tahu. Pokoknya tak ada alasan lagi untuk lari dari tanggung jawab aktivitas itu. Kalau Anda lari pada saat ini, Anda seorang pecundang. Tapi jika Anda bertahan walau terpaksa melakukannya, bersiaplah merasakan kenikmatan di masa yang akan datang.

Kenikmatan yang saya maksudkan adalah step selanjutnya, yaitu bisa. Kita akan menyadari bahwa ternyata kita bisa melakukan aktivitas itu walaupun hati terasa berat luar biasa. Kalau sudah begini, rasa terpaksa akan mulai hilang selapis demi selapis. Lama kelamaan, kita pun memasuki tahap keempat yaitu biasa. Kita sudah biasa untuk melakukan aktivitas itu. Entah dengan terpaksa atau tidak, entah dalam situasi sulit atau mudah.

Tahap terakhir adalah budaya. Suatu kebiasaan yang dilakukan terus-menerus akan menjadi sebuah budaya. Tanpa perlu dipaksa, kita akan reflex melakukannya. Bahkan bisa jadi, kita akan merasa kurang bila tidak melakukan aktivitas tersebut.

Hm, lihatlah. Sebuah paksaan ternyata mampu menjadi sebuah budaya. Tidak percaya dengan ulasan di atas? Saya paksa Anda untuk membuktikannya.


2 comments:

  1. hahaha...ketoke aku ngerti sing ngomong ui sopo...hha

    ReplyDelete
  2. hehe...maap nit. tapi ada beberapa yang bilang gitu kok. :P

    ReplyDelete