Pagi terasa tenang. Makin tentram dengan burung berkicau. Tapi tiba-tiba ketentraman itu pecah. Seorang balita menangis dengan amat kencangnya. Ibu rumah tangga yang sibuk di dalam rumah tergopoh-gopoh berlari menghampirinya. Melihat anaknya menangis dengan posisi mencium aspal, ibu itu itu lantas menggendongnya. Kemudian ibu itu berkata, “Cup cup cup…, siapa yang nakal? Ini tho jalannya nakal. O, jalannya nakal!” kata ibu itu sambil memukul jalan aspal.
Mulanya, si anak tetap menangis. Begitu melihat sang ibu memukul jalan, anak itu pun ikut memukul aspal. Ibu itu terus menenangkan, “Udah, jangan nangis lagi. Jalannya udah ga nakal lagi.” Anak itu pun diam.
Mungkin terasa sederhana saja. Seorang ibu berusaha dengan segala cara untuk membuat tangis anaknya reda. Tapi, kalau dicermati lagi, tindakan ibu tadi memberikan banyak contoh buruk bagi anaknya.
Pertama, anak diajari untuk menimpakan kesalahan pada orang lain. Ibu itu tidak tahu, mengapa anaknya jatuh di jalan aspal. Bisa jadi anaknya tidak hati-hati hingga terpleset dan jatuh. Tapi ibu itu justru menyalahkan jalan aspal, yang mana kita tahu kalau jalan aspal hanya diam dan sama sekali tidak melakukan apa-apa. Dalam hal ini, ibu itu mengajari anaknya untuk mencari kesalahan orang lain, bahkan tidak peduli jika harus menimpakan kesalahan pada orang lain yang sebenarnya sama sekali tidak salah. Padahal, bisa saja reaksi pertama yang muncul ketika melihat anaknya menangis bukan dengan mencari kambing hitam. Bukankah akan lebih bijak, jika ibu itu menasihati untuk lebih hati-hati agar kelak tidak jatuh lagi. Tanpa perlu menyalahkan orang lain atau anaknya sendiri.
Lalu ketika ibu itu akhirnya memukul jalan karena beranggapan jalan lah yang salah. Anak itu melihat kalau ibunya membela dirinya dengan membalas jalan yang nakal. Jalan yang sudah membuatnya sakit dan menangis. Tindakan ini bisa menjadi pembelajaran bagi anak untuk membalas dendam. Ketika tersakiti, balas saja orang yang menyakiti kita. Barangkali itu pelajaran yang ditangkap oleh sang anak.
Lalu ketika akhirnya anak itu berhenti menangis karena sudah ikut-ikutan memukul jalan. Rasa sakitnya sudah tersalurkan dan dia merasa puas. Ini pun bisa menjadi contoh yang buruk. Membuat anak merasa senang ketika kehendak hatinya tersalurkan. Walaupun itu adalah perbuatan yang membuat hati orang lain sakit. Bisa saja anak itu menangkap, tidak apa-apa aku menyakiti orang lain asal aku puas, asal aku senang.
Lebih buruk lagi jika sang ibu merasa masalah selesai ketika anaknya sudah tidak menangis lagi. Lalu ibu itu berlalu dan tidak menggubris lagi. Jikalau begitu, anak justru lebih kasihan lagi. Dia tidak diajari untuk memperbaiki diri. Dia tidak tahu, mengapa dia sampai jatuh dan bagiamana agar kelak dia tidak jatuh lagi. Andai ibu itu bersedia sedikit saja melatih anaknya untuk introspeksi diri, mengingatkan agar lebih berhati-hati, barangkali anak akan bisa belajar untuk memperbaiki dirinya di lain hari.
Jika semua ibu mendiamkan anaknya dengan cara ibu di atas, betapa banyak orang yang akan mudah mendendam. Betapa kelak akan banyak orang yang hanya bisa menyalahkan orang lain, menyakiti orang lain, tidak mau introspeksi dan memperbaiki diri. Seandainya saja sejak awal ibu itu tidak menyalahkan jalan aspal dan membimbing anaknya untuk memperbaiki dirinya, betapa akan banyak generasi tangguh tercipta di hari kelak. Andai saja…
ukht,,tulisannya bagus2..
ReplyDeleteeh anti ikut FLP solo ya ukh?
iya erma, FLP UNS tepatnya..
ReplyDeletesip",, *jadi ibu jg harus banyak belajar ya* kgiatnx pa j mb FLPx? d share jg dunk ^^
ReplyDeletehehe, iya. untuk jadi apapun tetap harus belajar.
ReplyDeletewah, dishare?? hm...
ya pokoknya nulis aja gitu dek
hhe, tulisanx dishare di sini dunk ^^
ReplyDeleteinsya Allah... keasyikan posting di forum sebelah jadi lupa posting di sini. hehe..
ReplyDelete