Follow Us @soratemplates

Monday, 18 July 2011

Andai Sehari Tidak 24 Jam

Harapan bodoh itu terbersit oleh saya malam ini. Ya, andai saja sehari bukan 24 jam. Atau jika ingin dilanjutkan, andai seminggu bukan 7 hari, sebulan bukan 28-31 hari, atau setahun bukan 365 hari. Ya, waktu rasanya cepat sekali berlalu. Rasanya saya baru saja bangun tidur, tapi sekarang jarum jam sudah mendekati angka 12 malam. Rasanya baru kemarin saya diterima menjadi mahasiswa baru. Sekarang sudah ada 2 tingkat mahasiswa yang dikatakan lebih baru. Hm, waktu memang cepat berlalu.

Harapan di atas jelas harapan kosong. Harapan yang sebenarnya tidak ada artinya apa-apa. Bukankah jumlah waktu tetap sama saja? Jam, hari, minggu, bulan, atau tahun hanyalah symbol belaka. Hanya sebuah kesepakatan untuk memudahkan menentukan batas waktu. Seandainya pun diubah, satu hari 30 jam, tetap saja jumlah waktu yang disediakan Allah akan sama.

Permasalahannya, kadang waktu 24 jam itu terasa singkat sekali. Manusia sering kali merasa kalau waktu yang diberikan tidaklah cukup. Barangkali dalam 24 jam, dia belum mampu menyelesaikan segala aktivitasnya yang segudang. Atau justru sebaliknya, karena libur panjang dan menjadi pengangguran, mungkin berharap agar sehari bisa kurang dari 24 jam demi mengusir rasa bosan. Mungkin kah? Tentu saja tidak.

Lalu, bagaimana agar aktivitas segudang kita cukup dalam 24 jam? Tidak ribut karena kekurangan, atau bosan karena kelamaan. Jawabannya mungkin simpel dan semua orang pasti tahu. Ya, cukup memenej waktu dengan baik. Sehari 24 jam jelas waktu yang sangat panjang. Aktivitas segudang bukanlah sebuah alasan. Bisa melakukan semua aktivitas itu, sepertinya itulah yang diharapkan.

Tapi terkadang, waktu yang sudah dimenej dengan baik pun bisa keteteran. Rasanya sudah terjadwal dengan baik rencana kegiatan dalam 24 jam. Tapi, berhubung manusia adalah makhluk biasa, kita sama sekali tidak tahu kalau di tengah 24 jam nanti akan ada sebuah kejutan dari sang Illahi. Bisa jadi, tiba-tiba harus bertambah suatu aktivitas. Jatah waktu dengan aktivitas menjadi tidak bersahabat. Lalu apa yang dilakukan?

Prioritas. Ya, jelas. Jawabnya memang sesimpel itu. Memprioritaskan suatu aktivitas tertentu hingga kepentingannya terpenuhi dalam jatah waktu tertentu. Menggunakan 24 jam pertama untuk aktivitas A, dan membuat aktivitas B mengalah untuk dilakukan di 24 jam kedua. Bisakah? Bisa. Tapi, terkadang semua aktivitas tidak terselesaikan dengan sesimpel itu. Bisa jadi aktivitas A dan B atau semua aktivitas yang ada dalam list kita harus dikerjakan dalam 24 jam yang sama. Lantas bagaimana?

Komitmen. Itu kuncinya. Mau sesibuk apapun, mau sehari berapa jam sekalipun, jika diri kita memiliki komitmen untuk melakukannya, tidak akan ada alasan lagi. Dengan komitmen, semua bisa diupayakan. Waktu 24 jam bukan menjadi halangan. Aktivitas segudang, pasti dengan sendirinya akan diatur bagaimana agar terlaksanakan, tanpa harus membuat aktivitas lain terkorbankan.

Masalahnya, tidak semua orang berani berkomitmen. Rasanya mendengar kata komitmen seperti mendengar bahwa diri ini akan diikat oleh suatu beban berat. Ujung-ujungnya karena tidak berani mengambil komitmen, aktivitas yang seharusnya selesai dalam 24 jam yang sama akan terbengkalai, mundur ke 24 kedua. Prioritas kembali menjadi korban. Akibatnya aktivitas yang ada di 24 jam kedua, makin terkorbankan karena di 24 jam pertama saja belum terselesaikan. Kalau sudah begitu, apakah layak dibilang sudah berhasil memenejemen waktu?

Yah, perkara waktu memang perkara yang sulit. Bahkan waktu yang kita punya hanyalah diukur sedetik sekarang ini saja. Sedetik yang lalu, sudah bukan menjadi milik kita. Sedetik yang akan datang, belum menjadi milik kita. Lantas, dengan detik sekarang, adakah aktivitas kita bisa terselesaikan?

Maka, komitmenlah kawan…


No comments:

Post a Comment